Lebih dari 14 abad lalu, dalam peristiwa Fatkhu Makkah, Nabi Muhammad terlebih dahulu menyerukan pesan damai sebelum benar-benar “manaklukkan” kota Mekah. Beliau melafalkan surat al-Hujurat ayat 13. Dalam ayat tersebut menyiratkan tentang perbedaan di antara manusia yang terdiri dari beragam suku bangsa, ras, hingga agama. Perbedaan tersebut diciptakan agar manusia bisa saling mengenal satu sama lain.
Selain itu, dalam penaklukkan yang berlangsung di bulan Ramadhan tersebut, Nabi Muhammad juga memberikan instruksi kepada masyarakat Qurays untuk menyerah secara damai. Beliau menjamin keselamatan kepada siapa saja yang berada di dalam rumah masing-masing, berada di rumah Abu Sufyan, serta mereka yang berada di dalam Masjid al-Haram.
Kedua perilaku mulia Nabi Muhammad tersebut menunjukkan bahwa Islam ialah agama yang lebih mengedepankan pesan perdamaian. Nabi Muhammad sangat menjunjung tinggi perbedaan di antara umatnya. Tidak mendiskriminasi minoritas, tidak pula mengistimewakan mayoritas. Terlebih lagi peristiwa itu berlangsung ketika bulan Ramadhan tiba. Momentum yang dipercaya oleh umat Islam sebagai bulan yang penuh rahmat, dan haram dicederai dengan aksi kekerasan.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan apa yang terjadi sekarang. Kesucian bulan Ramadhan ternodai dengan aksi terorisme yang dilakukan oleh sebagian umat Islam yang mengklaim bahwa kelompoknyalah yang paling benar.
Seperti yang terjadi di Kota Maute, Kepulauan Mindanao, Filiphina baru-baru ini. Berbagai media nasional memberitakan, sampai hari ini kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS masih menduduki satu-satunya kota muslim di Filiphina tersebut. Mereka seakan tidak peduli dengan hadirnya bulan Ramadhan yang harusnya disambut dengan suka cita.
Kelompok tersebut justru beranggapan bahwa inilah waktu yang tepat untuk memanen pahala. Dengan cara berjihad, melakukan kekerasan fisik, hingga mati syahid di medan pertempuran. Memerangi orang-orang yang mereka anggap kafir, kekerasan fisik sudah menjadi hal biasa demi menegakkan kebenaran Islam versi mereka.
Maraknya Kekerasan Simbolik
Tidak hanya kekerasan fisik, di era virtual seperti sekarang ini juga marak dijumpai kekerasan simbolik. Pada dasarnya, kekerasan macam ini menimbulkan dampak yang mampu merusak rasa kebhinnekaan yang selama ini tertanam kuat dalam keyakinan bangsa Indonesia.
Seperti halnya kasus ujaran kebencian yang marak terjadi selama hampir satu tahun terakhir. Para pengguna media sosial saling ejek, membela dan membenarkan kelompoknya sendiri. Bangsa ini seakan dibawa kembali menuju zaman penjajahan di mana rakyat diadu domba demi kepentingan kelompok tertentu. Hanya saja menggunakan media yang berbeda.
Sepanjang tahun 2016 saja, Kepolisian Republik Indonesia mencatat ribuan akun Facebook yang terindikasi menyebarkan ujaran kebencian. Ironisnya, persebaran ujaran kebencian tersebut tetap berlangsung meskipun tengah memasuki bulan Ramadhan. Umat Muslim seakan lupa dengan pesan perdamaian yang disampaikan Nabi Muhammad dalam penaklukkan kota mekah pada bulan Ramadhan 14 abad silam.
Kehadiran bulan Ramadhan dimaknai sebatas ajang untuk menahan lapar dan dahaga. Selebihnya, bulan Ramadhan hanya dijadikan sebagai momentum untuk mencari kebutuhan-kebutuhan tersier yang didiskon secara besar-besaran.
Serukan Kembali Pesan Perdamaian
Sebagai generasi Islam sekaligus generasi Pancasila yang cinta akan perdamaian, sudah menjadi kewajiban kita untuk ikut andil menjaga kedaulatan dan kedamaian negeri ini. Salah satu upayanya ialah dengan menyerukan kembali semangat kebhinnekaan untuk membendung aliran paham transnasional yang semakin meresahkan. Salah satu pesan perdamaian itu disampaikan oleh presiden Joko Widodo, menjelang peringatan Hari Lahir Pancasila, 01 Juni 2017 kemarin.
Melalui sebuah video singkat, Presiden Joko Widodo mengajak segenap rakyat Indonesia untuk mengenang kembali perumusan dasar negara Pancasila oleh para pendiri bangsa. Tindakan Presiden Jokowi tersebut sangat tepat, mengingat penghargaan terhadap kebhinnekaan rakyat mulai terancam dengan ideologi-ideologi radikal.
Apa yang disampaikan oleh presiden RI ketujuh tersebut, dalam waktu singkat menjadi trending topic nasional di Twitter. Puluhan ribu akun media sosial mengikuti apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Mereka beramai-ramai menggunakan tanda pagar #pekanpancasila dan #sayaindonesiasayapancasila di akun media sosial masing-masing. Menunjukkan bahwa masih banyak rakyat yang menjunjung tinggi perbedaan di antara mereka.
Kalau boleh membandingkan, apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi tersebut memiliki kemiripan dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam peristwa penaklukkan kota Mekah. Keduanya sama-sama menyerukan pesan perdamaian untuk melawan kemunkaran. Kedua pemimpin tersebut juga memberi penghargaan tinggi terhadap kebhinnekaan rakyatnya.
Lebih penting dari itu, tentu kita berharap agar seruan perdamaian tersebut tidak hanya berhenti pada momentum Hari Lahir Pancasila atau bulan Ramadhan saja. Pesan perdamaian tersebut harus kita serukan setiap waktu baik secara langsung atau pun melalui media sosial. Demi keutuhan dan kedaulatan negeri Pancasila yang sudah mulai menua ini.
Sudahkah kita serukan pesan perdamaian hari ini? [Ali Nasokha]
KOMENTAR