
Hari ini, sejak jam 07.00 pagi, saya menyiapkan diri untuk bergegas pergi ke Bandara Halim Perdana Kusuma. Saya punya jadwal penerbangan ke Semarang pada pukul 08.40. KTP segera saya persiapkan dan tidak lupa mengecek aplikasi pembelian tiket pesawat.
Sekitar 30 menit sebelum take off, sampailah saya di Bandara Halim diantar ibu dan bapak. Karena waktu mepet, kurang lebih 20 menit lagi pesawat take off, saya langsung masuk ke dalam ruang check in. Hal aneh pun terjadi. Barisan untuk check in pesawatku sudah sepi. Saya seketika panik. Hal yang saya pikirkan saat itu, entah belum dibuka atau udah close.
Saya lalu memutuskan bertanya dengan salah seorang staf bandara yang sedang lewat di depan.
“Permisi, Mbak, pesawat -sebut saja singa- tujuan Semarang apakah udah bisa check in belum ya?” Sembari kutunjukkan tiket di ponselku.
Syahdan, staf tersebut menjawab, “Oh, itu pesawatnya udah mau take off mbak,” jawabnya.
Baca Juga: Cerita Kemanusiaan
Seketika saya langsung berlari menghampiri bapak dan ibu untuk tetap bisa berpamitan. Mereka juga ikut panik dan khawatir jika saya sampai ketinggalan pesawat. Saya kemudian berlari ngos-ngosan menuju staf bandara yang mengurus check in.
“Mbak, ini check in buat ke Semarang kan, pesawatnya udah mau terbang belum?” Panik, keringetan, takut, pokoknya sudah campur aduk. “Tenang, Mbak, baru landing kok pesawatnya” jawab staf sambil memeriksa tiket pesawatku.
Waktu hampir beberapa menit lagi yang seharusnya saya terbang, ternyata yang terjadi pada saya hari ini adalah justru delay satu jam lebih.
Jika seperti yang biasanya terjadi pada semua orang seperti di dalam kasus saya, dan beberapa adegan di dalam sinetron, saya akan bertindak emosi kepada staf bandara yang pertama karena sudah memberikan informasi yang tidak tepat pada saya. Namun saya mencoba untuk tetap tenang.
Baca Juga: Suara
Di sini, saya yang sudah merencanakan sesuatu (perjalanan) dan sudah ada jadwalnya harus dibuat repot dengan ketidakpastian. Maksudnya, setelah saya diputer-puter informasi yang membingungkan dan membuat panik, saya juga tidak jadi sesuai jadwal sampai Semarang dan saya harus menunggu hingga satu jam lebih.
Ada dua hal yang saya dapatkan di dalam cerita saya di bandara. Pertama tentang “ketidakpastian” dan yang kedua adalah “menunggu”.
Ketidakpastian
Sesuatu yang pasti adalah ketidakpastian. Satu detik setelah detik sekarang adalah hal yang tidak pasti. Kita bisa merencanakan namun apa yang kita rencanakan sangat memungkinkan tidak bisa sepenuhnya sesuai.
Seperti yang saya alami di atas. Saya berencana melakukan perjalanan udara ke Semarang namun di tengah prosesnya saya dihadapkan dengan ketidakpastian waktu. Meskipun pada akhirnya saya tetap sampai ditujuan yaitu kota Semarang tempat kuliah saya.
Baca Juga: Menyalahkan Hujan
Kebutuhan dasar manusia, seperti yang dikatakan Maslow, salah satunya adalah memiliki keinginan untuk mendapatkan hal -yang pasti sebagai sesuatu bukti manusia memiliki hasrat kehidupan.
Di tengah-tengah masyarakat tidak sedikit hal yang sering diamini sebagai kepastian meskipun hal tersebut bukanlah hal yang pasti. Contohnya, ketika ada seseorang yang sakit kanker, seorang dokter sering kali memberikan informasi tentang ajal seseorang.
“Ini umurnya tinggal dua bulan lagi,” kata dokter biasanya. Namun pada faktanya, tidak sedikit yang masih hidup lebih lama dari yang dokter diagnosa.
“Jangan tanya kapan, tapi keajaiban pasti akan datang menghampiri orang yang selalu melakukan yang terbaik, buat dirinya sendiri maupun orang lain,” kata penulis Helen Keller.
Baca Juga: Tukang Rongsok
Saya kemudian memaknai ketidakpastian yang saya temui sebagai sesuatu yang pasti meskipun orang menyebutnya ketidakpastian. Apalagi saya yang sedang dalam perjalanan. Saya menjadi orang yang berani menghadapi ketidakpastian karena saya pengecekan ulang jadwal tiket yang berdasarkan informasi awal, saya sudah ketinggalan pesawat.
Dale Carnegie mengatakan, “Orang yang menempuh jarak terjauh umumnya orang yang bersedia untuk melakukannya dan yang berani. Hal yang pasti adalah bahwa perahu tidak akan pernah berada jauh dari pantai."
Menunggu
Menunggu adalah seni meskipun kata orang-orang menunggu selalu dikaitkan dengan waktu, sedangkan waktu sering diibaratkan sebagai pedang.
Seorang sastrawan, Seno Gumira, mengungkapkan di dalam karya, “Aku tidak pernah keberatan menunggu siapa pun, berapa lama pun, selama aku mencintainya.”
Baca Juga: Pulang
Waktu terkadang memang terlalu lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu cepat bagi yang takut, terlalu panjang bagi yang gundah, terlalu pendek bagi yang bahagia. Yang pasti itu adalah keabadian.
Saya harus menunggu delay satu jam lebih untuk bisa terbang ke Semarang bertemu orang-orang yang saya rindukan. Rindu adalah bagian dari seni, yakni seni mencintai (proses menunggu). Satu jam lebih saya masih sedang dalam dunia cinta. Hingga akhirnya saya sampailah di Semarang dengan sudah menghapus perasaan yang tidak saya rencanakan selama di bandara.
Cinta
Jika saya tergesa-gesa dan menerima informasi yang tidak jelas dari staf bandara yang pertama, barangkali saya akan langsung memutuskan untuk pulang lagi.
Saya mencintai ketidakpastian dan waktu menunggu yang saya temui hari ini karena hal tersebut adalah yang pasti. [Anastasya]
KOMENTAR