Gambar: pexels.com |
"Haduh, hujan lagi. Jalan ke kantor bakal
macet karena kebanjiran, nih".
Ketika hujan mulai mengganggu kelangsungan
aktivitas, bisa jadi Anda akan berkeluh-kesah seperti ungkapan di atas. Bahkan
dalam bahasa yang lebih kasar, sebagian orang mulai mengumpat turunnya hujan.
Menyalahkan hujan karena turun di waktu yang tidak tepat. Ketika sesorang telah
memiliki janji pertemuan dengan klien membahas kontrak senilai ratusan juta.
Ketika petani baru menyemai benih tanamannya dan menghindari intensitas air
yang berlebihan. Atau ketika petambak baru saja melepas benih gurame yang terancam
terlepas akibat meluapnya air karena hujan.
Bagi sebagian masyarakat modern, hujan
menjelma menjadi konotasi negatif. Hujan menjadi representasi bencana berupa
banjir, tanah longsor, jembatan putus, serta bencana lainnya. Semua itu
berimbas pada aktivitas perekonomian masyarakat. Seorang ekonom dari Institute
for Development of Economic and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhi Negara
mengingatkan masyarakat dan pemerintah akan datangnya musim hujan dari sisi
ekonomi.
Bhima mengingatkan adanya potensi gagal panen
terhadap komoditas pertanian karena tingginya curah hujan. Selain itu mobilitas
dan distribusi barang dari berbagai sektor juga terancam tersendat akibat
genangan banjir di beberapa ruas jalan utama. Bhima memberikan catatan penting
bahwa hujan memiliki pengaruh besar terhadap aktivitas perekonomian masyarakat
Indonesia.
Apalagi data dari Badan Meteorologi dan
Geofisikia (BMKG) menyebutkan, puncak musim hujan di Indonesia masih akan
terjadi hingga bulan Februari 2019. Bahkan di beberapa wilayah intensitasnya
mencapai 200 mm. Dengan intensitas setinggi itu, bukan tidak mungkin akan
semakin banyak manusia yang menyalahkan hujan.
Lantas apa saja faktor yang membuat manusia
modern semakin menghindari hujan? Padahal dalam sejarah peradaban manusia,
siklus hujan memiliki peranan penting. Masyarakat akan merasa sangat kesulitan
ketika menghadapi musim kemarau berkepanjangan. Mereka melakukan berbagai upaya
untuk mamanggil hujan.
Di Amerika Latin, khususnya masyarakat di
sepanjang Suku Zuni, di sepanjang sungai Zuni, New Mexico melakukan tarian
pemanggil hujan. Tarian ini masih dilaksanakan hingga sekarang. Pria dan wanita
turut meramaikan tradisi ini. Biasanya penari pria mengenakan aksesoris kepala
berupa topi yang berhias tanduk rusa. Tarian pemanggil hujan lainnya juga
terdapat di Filiphina. Beberapa terpilih menarikan tarian yang disebut Manerwap
ketika musim kemarau berkepanjangan tak kunjung usai. Untuk menari Manerwap,
para pemuda itu mengenakan pakaian adat lengkap serta tombak dan tetabuhan.
Bahkan dalam beberapa peradaban masyarakat,
menggunakan tumbal berupa manusia untuk meminta hujan. Seperti dalan peradaban
Aztec. Masyarakat suku Aztec beranggapan bahwa Tlaloc, sang dewa hujan dan
petir sangan suka memakan anak-anak. Sehingga ketika hujan tak kunjung datang,
masyarakat Aztec akan mempersembahkan seorang anak sebagai tumbal.
Masyarakat Indonesia juga mengenal ritual
meminta hujan. Di daerah Purbalingga dan Banjarnegara, masyarakat mengenal
tradisi Unjungan. Di Tulungagung, masyarakat masih melaksanakan tradisi Manten
Kucing. Masyarakat Banyumas juga mengenal ritual Cowongan untuk memohon hujan.
Serta masih banyak tradisi memanggil hujan lainnya. Bagi masyarakat yang sudah
mengenal ajaran islam, ritual nemohon hujan diwujudkan dalam bentuk salat
istisqa'.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat tradisional
menaruh perhatian dan penghargaan tinggi akan datangnya hujan. Hujan
benar-benar menjadi anugerah yang dinanti banyak orang.
Pergeseran Makna Hujan
Perubahan makna hujan bisa dipahami sebagai
bagian dari perubahan kultur masyarakat. Masyrakat tradisional sangat
mengharapkan datangnya hujan, sebab mata pencaharian mereka masih terpusat pada
wilayah pertanian. Hujan sangat diperlukan dalam usaha cocok tanam lahan dan
pertambakan. Selain itu usaha eksplorasi air tanah juga belum semasif sekarang.
Sehingga masyarakat sangat mengandalkan ketersediaan air hujan sebagai sumber
air utama.
Sementara masyarakat modern mulai meninggalkan
lahan pertanian. Beranjak menjadi masyarakat yang lebih fokus bekerja pada
sektor industri. Dalam hal ini proses produksi dalam dunia industri tidak
terlalu bergantung pada curah hujan. Semuanya teratasi oleh mesin. Proses
produksi baru akan terganggu ketika para pekerjanya terhambat kemacetan akibat
banjir karena curah hujan tinggi.
Pergeseran makna hujan ini tidak bisa
dilepaskan dari faktor ekonomi. Di mata kebanyakan para pelaku industri, hujan
akan tetap menjadi penghambat aktivitas ekonomi. Hal ini berarti proses
eksplorasi pundi rupiah akan turut terhambat.
Hujan juga menjadi sinonim dari bencana ketika
ia menjelma menjadi banjir, badai, dan tanah longsor. Padahal semua bencana
tersebut tidak bisa terlepas dari ulah manusia sendiri. Hujan telah menjadi
siklus alam yang telah terjadi selama jutaan tahun. Hujan baru menjelma menjadi
bencana ketika manusia mulai serakah mengeksploitasi alam secara berlebihan.
Umpatan manusia kepada hujan hanya menjadi
dalih atas segala keserakahan yang mereka lakukan. Manusia enggan mengakui
keegoisan dan keinginannya untuk menimbun hak kepemilikan sebanyak-banyaknya.
Apakah kamu mengumpat hujan yang turun hari ini? [NS]
KOMENTAR