Awal tahun 2000-an, ibu-ibu di kampung memiliki jadwal rutin "membersihkan" barang-barang tak terpakai yang sengaja dikumpulkan dan telah menumpuk di sudut rumah. Bagaimana cara membersihkannya? Dibuang ketempat sampah atau ke sungai? Tidak. Dibakar di pekarangan? Bukan itu jawabannya. Barang-barang yang sudah tidak terpakai itu diserahkan kepada tukang rongsok.
Tukang rongsok biasanya akan lewat keliling kampung setiap seminggu sekali. Menggunakan sepeda onthel dengan keranjang bambu berisi rongsokan di bagian kanan dan kerupuk di bagian kiri, tukang rongsok menyuarakan bunyi-bunyian yang menjadi pertanda kehadirannya. Ibu-ibu sudah hafal betul, di hari apa mereka harus mempersiapkan barang-barang bekasnya. Wujudnya beraneka ragam, mulai dari baskom plastik yang sudah pecah, botol sirup lebaran tahun lalu, hingga sepatu yang sudah berlubang di bagian jempol pun menjadi barang incaran tukang rongsok.
Dari barang-barang bekas tersebut, bukan uang yang akan didapatkan oleh ibu-ibu itu, melainkan kerupuk. Tidak ada timbangan, tidak ada takaran, atau pun ukuran tertentu untuk menilai barang-barang bekas tersebut. Baik tukang rongsok maupun ibu-ibu kampung bisa saling memahami hingga mencapai kata sepakat, seberapa banyak kerupuk yang akan menjadi teman makan siang bersama anak dan suaminya.
Tidak ada yang merasa dirugikan. Kalaupun ada yang merasa jengkel, pastilah para tukang rongsok ketika berhadapan dengan ibu-ibu yang ceriwis dan ngotot minta tambah kerupuk. Tapi tak masalah. Baginya, hal yang paling penting ialah ibu-ibu itu mau menjadi langganannya. Unik memang, di awal milenium kedua waktu itu, mungkin itulah satu-satunya transaksi ekonomi yang masih menggunakan sistem barter di tengah peradaban yang sudah modern.
Mendekati dekade kedua tahun 2000, tak lagi dijumpai tukang rongsok seperti itu. Entah apa penyebabnya. Mungkin ibu-ibu beserta keluarganya sudah tidak doyan lagi makan kerupuk hasil barter rongsokan. Bisa juga tukang rongsok telah mendapatkan pekerjaan lain yang lebih layak. Atau mungkin ibu-ibu tidak lagi memiliki barang bekas yang bisa ditukarkan.
Jika melihat lebih jauh, bukan hanya tukang rongsok yang lenyap dari perkampungan. Keakraban ibu-ibu ketika bercengkerama menunggu kedatangan tukang rongsok ikut menghilang. Pandangan sederajat terhadap tukang rosok, pemulung, serta profesi lainnya yang berhubungan dengan sampah juga mulai berubah. Pekerjaan yang sebenarnya mulia itu dianggap hina, pekerjaan rendahan. Padahal pekerjaan mereka begitu mulia, memilah dan membersihkan sampah hasil dari kemalasan masyarakat dalam mengolahnya.
Tingkat kepercayaan masyarakat pun mulai berubah. Eksistensi diri dan standar kepercayaan hanya diukur menggunakan dua hal: media sosial dan materi (uang). Lihatlah ketika seorang petugas kebersihan mendadak terkenal karena fotonya saat tertidur di truk sampah menjadi viral. Netizen tidak peduli dengan realitas di balik viralnya foto tersebut. Tentang alasan mengapa petugas kebersihan tersebut bisa sampai tertidur, hingga kepentingan apa yang mungkin saja melingkupi penyebar foto viral itu. Satu hal yang pasti, petugas kebersihan itu telah berhasil "menghibur" netizen.
Dan betapa damainya ketika tidak ada rasa saling curiga antara tukang rongsok dan ibu-ibu kampung yang saling tawar untuk memperoleh kata sepakat. Ukuran yang mereka gunakan bukanlah uang, melainkan hanyalah kerupuk. Dua hal yang memiliki nilai tukar yang terpaut amat jauh. Namun tidak ada pihak yang merasa ditipu, sebab ibu-ibu diizinkan untuk mencicipi kerupuk secara langsung. Sedangkan tukang rongsok berhak menerima barang bekas yang sepadan dengan hal itu.
Lebih dari itu, tukang rongsok, pemulung, petugas kebersihan dan profesi yang berkaitan dengan sampah lainnya telah banyak membantu pemerintah. Setidaknya ada pihak yang mau berjibaku dengan sampah demi sesuap nasi. Seandainya mereka tidak ada, pastilah berbagai macam varian sampah akan bercampur menjadi satu, hingga sulit dilakukan pengolahan kembali. Mengingat kesadaran memilah dan mengolah sampah di kalangan masyarakat masih sangat minim.
Tukang rongsok dengan kerupuknya pernah memberikan sumbangan besar dalam pemilahan dan pengolahan barang bekas (sampah). Tukang rongsok juga menjadi sosok yang mampu membuktikan bahwa ukuran kebahagiaan bukanlah uang. Ia membuktikan bahwa kesederhanaan kerupuk pun mampu mengalahkan keangkuhan uang. Hingga era digital terlahir dan memberangus semuanya, termasuk tukang rongsok dengan kerupuknya.
Di daerahmu, masih adakah tukang rongsok yang menukar barang bekas dengan kerupuk? [Nashokha]
KOMENTAR