(sumber: imdb.com) |
Judul: Black Mirror: White Bear.
Tahun rilis: 2013.
Sutradara: Carl Tibbetts.
Penulis skenario: Charlie Brooker.
Genre: drama, thriller, sci-fi.
Durasi: 50 menit.
“Mampukah manusia memberi keadilan kepada orang lain? Apakah hukuman setimpal adalah bentuk hakikat keadilan?
Sejatinya, apa itu keadilan?”Pertanyaan yang menggurita tersebut merupakan hasil obrolan kami setelah menonton serial Black Mirror berjudul White Bear. Seperti lazimnya narasi mind blowing yang sering ada dalam cerita Black Mirror. Bagi kami, episode White Bear pun mampu memberi kami kesan yang kuat dan membuka dimensi pemahaman baru tentang ‘keadilan’.
Cerita ini berkisah tentang Victoria yang terbangun tanpa ingatan di depan televisi yang menampilkan logo kursi putih terbalik. Dengan penuh kebingungan, ia dihadapkan dengan kondisi sosial masyarakat yang janggal di mana semua orang merekam dirinya menggunakan ponsel tanpa bicara satu patah kata pun. Bahkan saat Victoria dikejar dan diburu oleh orang-orang bertopeng dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam. Mereka seolah tertarik dengan penderitaan Victoria tanpa memedulikan perasaannya.
Baca Juga: Pergolakan Perempuan Melawan Stigma Kretek
Di tengah cerita, Victoria bertemu dengan Jem. Ia menjelaskan bahwa saat ini masyarakat telah terkontaminasi radiasi yang dibuat oleh pemilik menara sinyal “White Bear” yang mampu merusak otak mereka dan membuat mereka terus merekam tanpa henti. Orang-orang akan kembali normal jika menara tersebut dihancurkan.
Sekilas
dari ikhtisar cerita tampak jika misi yang terkandung dalam episode Black
Mirror kali ini berfokus pada penghancuran White Bear oleh Victoria dan Jem.
Sungguhkah demikian? Tentu tidak sesederhana itu, Fergusso!
Delusi Sosial Dari Balik Topeng Keadilan
Sebuah ungkapan yang dikatakan Nietzche menggema di kepala begitu kepingan teka-teki yang disuguhkan film ini mulai menampilkan gambaran besarnya. Yakni, “Kalau kamu membunuh seekor kecoak, kamu adalah seorang pahlawan. Tapi kalau kamu membunuh seekor kupu-kupu, kamu adalah orang jahat.”
Baca Juga: Memahami Pentingnya Kesadaran dari Film Life of Pi
Bagi kami, analogi tersebut merupakan bentuk paradoks moral yang mengarahkan kita pada delusi sosial tentang standar estetika. Di mana tidak masalah menyakiti (baca: membunuh) kecoak, dalam konteks ini manusia, yang kotor (memiliki sejarah kriminal) dan tidak disukai banyak orang. Tapi saat kita menyakiti kupu-kupu (baca: manusia) yang bersih dan terlihat indah, kita dicap sebagai orang jahat.
Siksaan
fisik dan mental yang dialami Victoria dalam film tersebut, lazimnya adalah
perbuatan salah dan kejam. Namun, kenyataan bahwa Victoria merupakan seorang
manusia yang kotor dan kriminal di masa lalu menjadikan hal tersebut tak
ubahnya sebagai hukuman yang ‘setimpal’ dan ‘adil’ baginya. Maka wajar bila
orang-orang yang melihat penyiksaan yang dialami Victoria tidak tergerak
nuraninya untuk menolong, malah menonton dan mengabadikan momen durjana tersebut
lewat ponsel mereka.
Berbekal kata ‘keadilan’, mereka membentuk narasi yang melukai etika kemanusiaan dengan menormalisasi tindak kejahatan kepada mereka: para pesakitan. Bahkan dengan adanya media, hal tersebut dipertontonkan lalu diviralkan. Hingga menutup kenyataan bahwa orang-orang yang tengah menonton dan mempertontonkan penyiksaan Victoria, telah berubah menjadi ‘Victoria’.
Baca Juga: Asam-manis Generasi Strawberry di Era Teknologi
Masyarakat di daerah White Bear mengalami delusi sosial yang menganggap diri mereka masih (tetap) menjadi orang baik nan suci, yang tak lacur sebab tak memiliki cap kriminal. Maka tak apa kiranya mereka menghukum para pesakitan dengan ganjaran setimpal atas nama ‘keadilan’. Tapi sungguhkah demikian?
Batas Samar Moralitas Manusia
Jujur saja, kami terusik dengan suguhan alur White Bear. Penggambaran sudut pandang yang kuat membuat kami terseret arus cerita yang mulanya mengarahkan kami ke dalam perspektif Victoria, lalu kemudian disorotkan perspektif masyarakat White Bear. Hingga akhirnya kami didudukkan pada kursi penonton sebagai juri di luar cerita.
Seolah-olah kami dimasukkan dalam wilayah abu-abu, sementara dunia yang selalu kami lihat adalah dunia hitam-putih dengan pembeda yang kontras. Hal ini membuat realitas yang ada di bayangan kami jadi samar. Kami tidak bisa dengan lugas membagi posisi baik dan jahat kepada para tokoh dalam cerita White Bear. Kami tidak tahu lagi mana hal yang benar dilakukan dan hal yang salah dilakukan.
Baca Juga: Laju Abad Kemerdekaan Pendidikan di Indonesia
Bentuk
hukuman setimpal yang diarahkan kepada Victoria, di mana ia dipaksa untuk
mengalami pengalaman serupa dengan yang dialami korbannya, membuat kami
bertanya, apakah keadilan dapat bersilangan dengan moralitas manusia?
Sungguhkah hal itu merupakan keadilan atau bentuk lain dari kejahatan itu
sendiri?
Lebih lagi, di dalam film tidak tergambar adegan kongkret Victoria melakukan penyiksaan dan pembunuhan kepada korbannya. Ia praktis hanya dituduh oleh mantan pacarnya bahwa Victoria adalah dalang di balik kelaliman tersebut.
Kembali kami mempertanyakan, andai saja bukan Victoria dalangnya, berarti ia telah didakwa sebagai kriminal bengis meski hanya merekam dan melihat korban disiksa. Lalu, bagaimana dengan predikat orang-orang White Bear yang sengaja melihat, menonton, dan merekam penyiksaan Victoria setiap hari?
Jika
demikian, apa itu moral manusia? Ketika ia ada di wilayah abu-abu, di mana ia
tidak lagi bisa mendefinisikan tentang hal yang baik dan buruk. Serta saat ia
tidak lagi dapat mengajarkan perbuatan dan sikap yang (sungguhan) baik di
tengah masyarakat. Lagi-lagi, kami disuguhkan dengan sebuah pertanyaan baru.
Ketika Seluruh Manusia Menjadi Psikopat
Memahami cerita dan konteksnya secara garis besar tidak dapat dilakukan jika kita hanya bersandar pada satu perspektif saja. Pun demikian dengan memahami makna yang disampaikan dalam episode White Bear, Black Mirror ini. Ada banyak aspek pembentuk cerita yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Makanya, jalur kisah ini menjadi kompleks.
Selain faktor moral dan keadilan yang kami pertanyakan, kami juga melihat kecenderungan orang-orang White Bear yang ‘menikmati’ penyiksaan Victoria. Di mana mereka rela membayar tiket untuk masuk ke dalam wahana White Bear Justice Park yang mempertontonkan ‘hukuman’ Victoria karena telah membunuh korban di masa lalu.
Bentuk kekerasan dan penganiayaan, dipertontonkan dalam wahana. Tak peduli tua, muda, bahkan anak-anak pun menyaksikannya. Masyarakat White Bear tanpa disadari telah digiring menjadi orang-orang yang menyukai kekerasan.
Berkedok ‘keadilan’, taring kekejaman mereka biarkan mencabik-cabik tubuh Victoria. Didukung dengan wajah kapitalis dunia White Bear yang mengizinkan hal-hal tak lazim maujud selagi bisa mencetak uang. Diam-diam mengubah wajah orang-orang White Bear menjadi psikopat yang (sengaja) tak memberi ruang Victoria untuk bertobat.
Bagi kami, serial Black Mirror berjudul White Bear merupakan episode yang menggugah pikiran. Sebab, ia mampu menyajikan eksplorasi mendalam tentang keadilan, konsekuensi kejahatan, dan bagaimana (moral) masyarakat meresponnya. Tontonan ini merupakan film dewasa yang tidak cocok ditonton oleh anak karena mengandung unsur adegan kekerasan fisik dan psikis. Namun, cerita ini menarik bagi orang yang menyukai cerita kompleks dengan twist yang tidak terduga.
[Andra, Ayu, dan Zakia. Editor: Etika]
KOMENTAR