- Ilustrasi generasi Strawberry (Sumber: Media Indonesia) |
Layaknya buah strawberry, generasi ini memiliki keindahan cover yang eksotis, namun ia memiliki sifat yang mudah rusak. Dalam arti lain generasi strawberry bisa disebut sebagai kelompok generasi yang memiliki kreativitas tinggi dan terbuka pada ide baru, namun rentan menyerah dan mudah tersinggung.
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terbentuknya karakter tersebut pada generasi muda. Salah satunya ialah gaya parenting orang tua yang berlebihan. Memberikan pembelaan yang berlebihan pada anak ketika melakukan kesalahan dan membuat anak mudah menyerah ketika menemukan tantangan. Anak tidak mendapat ruang untuk belajar menghadapi tekanan dan mencari solusi atas permasalahannya.
Baca Juga: Memaknai Identitas Melalui Bahasa Ibu
Di sisi lain, teknologi juga menjadi salah satu faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan dan perubahan karakter pada anak. Melalui teknologi internet, anak-anak hingga orang tua dapat dengan gampang mengakes segala bentuk informasi. Tak jarang mereka tidak memiliki sikap selektif dalam mengelola informasi.
Informasi yang sebenarnya bersifat edukatif justru dengan segera disalahpahami. Bibit-bibit strawberry mulai tumbuh melalui konten dan tren di media sosial. Misalnya, konten yang memuat edukasi tentang ciri-ciri orang yang mengidap mental illness malah menjadi bahan untuk diagnosis diri secara dini.
Diagonis yang dilakukan secara serampangan dan implusif itu mempengaruhi psikologi manusia. Orang yang sebenarnya tidak mengidap penyakit mental mengklaim diri. Karena melihat adanya satu atau dua ciri-ciri yang kebetulan sama. Padahal hal yang mereka alami sebenarnya merupakan suatu hal yang lumrah.
Banjir Informasi
Pengaruh teknologi tidak hanya membentuk manusia memiliki mental lemah namun juga menghambat daya berpikir kritis mereka. Sadar atau tidak, teknologi mulai memasuki ruang psikologi manusia. Hal ini karena teknologi dijadikan alat menyebarkan konten-konten yang tidak bermutu. Pikiran dan kebiasaan generasi muda digiring agar terjebak dalam konten yang memamerkan life style atau gaya hidup.
Wara-wiri konten spill-spill di media sosial TikTok dan Instagram seperti menyebar umpan pada predator. Ini merupakan salah satu bentuk imperium citra yang sengaja dibuat oleh pemilik kepentingan ekonomi. Melalui teknologi serangan konsumerisme terhadap masyarakat semakin digencarkan.
Baca Juga: Labelisasi Milenial
Konten spill-spill tidak hanya ditujukan pada generasi muda, tetapi meliputi seluruh lapisan masyarakat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat presentase perilaku konsumtif pada generasi muda menujukkan angka 70%. Artinya, lebih dari setengah jumlah generasi muda telah terperangkap dalam hegemoni kapitalis.
Tidak hanya menjadi objek kapitalis, generasi muda juga alat kapitalis dalam memperluas pasarnya. Dapat dilihat maraknya generasi muda saat ini yang berkarier sebagai influencer. Mereka membuat konten persuasif dengan manampilkan produk kontrak, lalu mereka menyebarkannya melalui media sosial TikTok atau Instagram.
Dominasi Teknologi
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi bertujuan untuk efisiensi dan membebasakan manusia dari tuntutan, namun telah berubah sebagai alat dominasi kelas.
Melalui dominasi teknologi saat ini generasi muda digiring untuk menjadi manusia satu dimensi. Generasi strawberry yang mudah rapuh serta tak memiliki kemampuan berpikir kritis telah diobjektifikasi untuk kepentigan ekonomi.
Baca Juga: Jati Diri Generasi Muda dalam Euforia Korean Wave
Manusia diarahkan untuk mengafirmasi apa yang diinginkan oleh sistem bukan melawan sistem. Teknologi berubah menjadi alat penguasaan total terhadap masyarakat. Diciptakan mekanisme untuk memanipulasi kebutuhan manusia tidak hanya melalui iklan, namun lebih luas melalui konten dan tren.
Tren self-reward menujukkan keberhasilan dominasi tersebut. Mudahnya genersi muda untuk menapresiasi keberhasila-keberhasilan kecil hingga besar yang telah AI lakukan, disalurkan melalui shopping. Dengan alasan apresiasi kepada diri sendiri atas suatu pencapaian yang telah diraih meraka masuk dalam jebakan konsumerisme.
Lalu, bagaimana jika kedaan ini terus dinormalisasi? Akankah manusia terus hidup dan berjalan tanpa kesadaran?
[Erliyana Handayanisa]
KOMENTAR