Budaya populer Korea atau yang dikenal dengan Korean Wave saat ini sedang menjadi sorotan dunia internasioanl. Terlebih saat idol grup asal Korea, Bangtan Boys (BTS), selama tiga tahun berturut-turut, di tahun 2017 hingga 2019, mampu mempertahankan gelar juara sebagai Top Artist di ajang penghargaan Billboard Music Awards. Kemudian disusul oleh Blackpink dengan memborong empat penghargaan dari acara BreakTudo Awards 2019 yang tayang di Brasil. Keduanya juga berhasil masuk nominasi Kids' Choice Awards 2021.
Bukan hanya industri musik, budaya pop Korea lainnya seperti film, drama, bahasa, kuliner, hingga fashion berhasil menjadi popularitas global. Mengawali karirnya di pertengahan tahun 1990-an, kemudian berdiplomasi dengan RRC di tahun 1992 dengan mengeluarkan produk pertamanya, musik group yang diikuti penayangan drama Korea tahun 1996. Kini Korean Wave terus bermetamorfosis dalam versi terbaru hingga saat ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi menjadi salah satu faktor suksesnya industri Korean Wave masuk ke pasar global. Internet dan media sosial menjadi arena merebaknya informasi dan konten seputar Korea yang kini populer di kalangan masyarakat. Kita dapat menyaksikan bagaimana musik Korea terus menduduki trending di YouTube. Juga munculnya berbagai platform digital atau aplikasi yang menyediakan layanan tontonan K-Drama. Belum lagi para penggemar yang terus mengampanyekannya melalui akun media sosial masing-masing.
Pesatnya arus informasi di era digital ini semakin memperkuat eksistensi Korean Wave di mata masyarakat, salah satunya generasi muda Indonesia. Bagaimana budaya populer asal Korea sudah merasuki hati para generasi kita. Fenomena ini dapat kita temui secara dekat di sekeliling kita.
Di platform digital seperti Tik Tok dan YouTube, banyak masyarakat yang menampilkan diri dengan citra Korean Wave ini. Misalnya munculnya beauty vlogger, food blogger dan lain sebagainya yang membahas soal Korea, entah dari sisi seni, budaya, gaya hidup, fashion, bahkan karakter. Hal ini menjadi tontonan keseharian masyarakat pecinta Korea.
Di masa pandemi ini, generasi muda lebih sering menghabiskan waktu mengonsumsi konten hiburan seputar K-pop dan K-Drama dalam seharian. Padahal tidak menutup kemungkinan video yang ditonton sama, atau berulang kali diputar. Tidak jarang para generasi muda kita juga bergaya ala-ala Korea, mulai dari cara berpakain, make-up hingga bahasa. Tidak hanya itu, saat ini juga banyak makanan Korea dijajakan di Indonesia, mulai dari restoran, ruko makan, hingga jajanan kaki lima.
Mengkonsumsi budaya Korea secara adiktif tanpa adanya filterisasi dan kontrol secara perlahan menggeser paradigma generasi muda kita. Obsesi ini tanpa disadari telah mengkonstruksi pikiran dan perilaku hidup mereka hingga mereka kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Bagimana mereka selalu ingin memuaskan dirinya untuk menonton, berperilaku, dan menerapkan dalam kesehariannya tentang Korea.
Hal ini menjadi acaman bagi eksistensi budaya lokal Indonesia sendiri. Ketika budaya Korea menjadi kiblat baru lantaran lebih kekinian dan populer perlahan menggeser budaya Indonesia yang sudah tertanam sejak dulu. Semakin minim generasi muda yang mau menjaga budaya lokal.
Misalnya saja, mereka lebih tertarik mengundang dancer maupun band daripada tarian daerah. Selain itu, memilih dekorasi dan sajian makanan dengan gaya aesthetic ala Korea. Lebih banyak generasi muda yang memperlajari budaya Korea, entah dari bahasa, lagunya, ataupun tariannya.
Keterbukaan menerima budaya luar dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa adanya filterisasi, secara perlahan mengikis nilai-nilai kultural Indonesia. Berpakaian, berperilaku, berbahasa ala Korea semakin menenggelamkan jati diri generasi muda sebagai agen pembangunan dan penerus bangsa.
Indonesia sebagai negara multikultur tentunya memiliki keunikan tersendiri. Setiap daerah di Indonesia memiliki karakter atau ciri khas tersendiri, baik suku, bahasa, dan ras. Indonesia memiliki kekayaan budaya lokal seperti pakaian adat, lagu daerah, makanan khas, tarian adat, maupun norma masyarakat yang berlaku di daerah tersebut.
Sebagai tonggak penerus bangsa, generasi muda sudah semestinya memiliki andil besar dalam kebijakan negeri ini. Kondisi multikultural ini bisa menjadi peluang dan sarana untuk berinovasi serta mengembangkan kreativitas para generasi muda untuk membangun bangsa ke depan. Di samping tetap melestarikan warisan leluhur, mengemas kebudayaan lokal dengan unik dan apik dapat meneguhkan jati diri generasi muda serta menarik kembali minat masyarakat.
[Delinda]
KOMENTAR