![]() |
Ilustrasi Bahasa Ibu (Doc. IDEAPERS.COM) |
Selama periode tahun 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa 73,87% keluarga Indonesia masih mengunakan bahasa ibu untuk komunikasi dalam rumah tangga. Di lingkungan tetangga atau kerabat penggunaan bahasa ibu kisaran 71,93%. Sedangkan di kalangan Gen Z dan generasi Alfa, menunjukkan presentase yang lebih rendah, yakni hanya kisaran 61-62%.
Selain itu, menurut data pemetaan yang dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, terdapat 8 bahasa yang dinyatakan punah. Sementara 15 bahasa berstatus kritis, 24 bahasa terancam punah, 12 mengalami kemunduran, 24 bahasa dalam kondisi rentan (stabil tetapi terancam punah) dan 21 bahasa terdeteksi aman hingga periode tahun 2021 lalu.
Krisis penuturan bahasa ibu dalam masyarakat di Indonesia disebabkan oleh faktor yang sangat beragam. Faktor paling nampak ialah semakin sedikitnya penutur yang menggunakan bahasa ibu dalam komunikasi sehari- hari. Kini masyarakat cenderung beralih menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing dalam berinteraksi sosial.
Mengutip Kompas.com yang berujudul "Bahasa Daerah di Indonesia Terancam Punah, Ini Faktor Pemicunya" (24/06/21), mengungkap alasan tergerusnya penuturan bahasa ibu disebabkan oleh anggapan bahwa bahasa ibu merupakan simbol keterbelakangan atau kemiskinan.
Oleh sebab itu, masyarakat mulai menghindari untuk menggunkan bahasa daerahnya. Terutama kalangan Gen Z dan generasi Alfa yang terhitung cukup masif dalam menghindari penggunaan bahasa ibu, dengan alasan takut dianggap kampungan atau kurang gaul.
Selain itu, Fannya Henry Tondo dalam jurnal Masyarakat & Budaya berjudul "KEPUNAHAN BAHASA-BAHASA DAERAH: FAKTOR PENYEBAB DAN IMPLIKASI ETNOLINGUISTIS" menyebut bahwa globalisasi juga turut andil dalam tergerusnya bahasa ibu. Penggunaan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi yang telah diterima secara global sedikit demi sedikit mulai menggeser peran bahasa asli dari daerah. Hal ini karena untuk bergaul dengan masyarakat Internasional individu harus menggunakan bahasa Inggris. Secara perlahan tingkat presentase pemakaian bahasa ibu pada individu semakin rendah sedangkan presentase penggunaan bahasa asing lebih tinggi.
Dalam pemaknaannya, bahasa ibu diartikan sebagai bahasa daerah yang diperoleh oleh seorang anak sejak dari buaian kemudian digunakan untuk berkomunikasi dalam keluarga atau ligkungan tempat tinggalnya. Penggunaan bahasa ibu penting untuk dijaga dan dilestarikan karena merupakan warisan kebudayaan dan identitas yang adi luhur.
Baca Juga: Dilema Inkonsistensi UKT Tinggi di UIN Walisongo
Makna Bahasa dalam Identitas Kita
Sebagai produk budaya, bahasa tidak sekedar menjadi alat komunikasi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setiap bahasa yang berjuta ragamnya di kelompok masyarakat, tidak hanya dituturkan secara serampangan, melainkan turut membawa identitas dan nilai luhur dari setiap daerah.
Seorang filsuf paling berpengaruh pada abad-20, Ludwig Wittgenstein mengatakan bahwa pemahaman kita terhadap bahasa dipengaruhi oleh pengalaman. Kita dapat mengerti makna dari suatu bahasa apabila kita memahami permainan bahasa dari penutur. Hal ini dikarenakan bahasa memiliki makna dan nilai yang disepakati bersama oleh penggunanya dalam komunitas.
Selain itu, menurut Wittgenstein, bahasa selalu terkait dengan konteks, adat istiadat serta perspektif individu yang melambangkan pengetahuan dan intelektualitas. Hal ini menunjukkan jika di dalam bahasa, termasuk dalam satu kata, terangkum makna dari kekayaan intelektualitas adat istiadat suatu daerah. Keunikan bahasa yang satu selalu berbeda dengan satu bahasa lainnya di daerah yang berbeda.
Kemudian, bahasa juga terikat dengan aturan. Bahasa daerah memiliki ciri khasnya sendiri dalam memberi makna pada benda, fenomena, peristiwa maupun pengetahuan yang diyakini dalam daerah tersebut. Mereka memiliki aturan tersendiri yang biasanya tertuang dalam bentuk kearifan lokal. Aturan ini hanya mampu dipahami oleh mereka yang mengenal kebudayaan mereka.
Dalam hal ini, peran bahasa ibu selain sebagai bentuk identitas bagi individu, juga mewujudkan penghayatan untuk memahami kearifan lokal dari setiap kebudayaan yang terbentuk di masyarakat. Banyak pesan-pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh leluhur melalui bahasa ibu mereka. Oleh karenanya, apabila kita meninggalkan bahasa ibu maka akan banyak pula pengetahuan dan intelektualitas budaya lokal yang kita tinggalkan.
Baca Juga: Persoalan Membaca dalam Mengambil Keputusan
Bahasa Menentukan Pengetahuan
Layaknya pintu gerbang, bahasa menjadi penghubung untuk mengarungi luasnya samudra pengetahuan. Penguasaan terhadap lebih dari satu bahasa akan membawa kita memahami lebih dari satu kebudayaan.
Misalnya, kefasihan kita dalam berbahasa inggris mampu membawa kita untuk bergaul dengan dunia secara global. Kemampuan berbahasa asing juga mempermudah kita untuk mengakses pemikiran-pemikiran di luar komunitas yang lebih maju. Sehingga individu dapat mengembangkan pengetahuannya dan memberi sumbangan untuk kemajuan kelompoknya.
Seperti yang diungkapkan pemikir Islam, Ibnu Rusyd yang menerjemahkan teks-teks pemikiran filsuf Aristoteles. Ia menafsirkan pemikiran-pemikran berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Selain mempermudah pemikir Islam dalam mempelajari filsafat, Ibnu Rusyd juga memberikan sumbangan pemikiran yang sangat berpengaruh bagi filsafat Islam.
Kemampuan berbahasa yang beragam dapat membentuk budaya baru dalam masyarakat. Sebuah budaya dari hasil perpaduan antara budaya asli dengan budaya adopsi, membentuk masyarakat tradisional yang lebih modern dalam hal berpengetahuan.
Penguasaan terhadap bermacam- macam bahasa memang sangat penting bagi terbukanya keluasan ilmu pengetahuan. Namun, dibutuhkan juga sikap dialektis agar individu tidak terlalu jauh terbawa arus budaya luar. Harus ada keseimbangan antara penggunaan bahasa asing dalam meraih pengetahuan yang lebih luas dengan implementasi penuturan bahasa ibu.
Sebagaimana ikrar yang termaktub dalam Sumpah Pemuda “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”, sudah selayaknya bahasa asli dari kebudayaan yang melahirkan dan membesarkan kita, terus diperjuangkan eksistensinya di tengah huru-hara modernitas. Tidak hanya untuk meneruskan tradisi, tetapi juga untuk membawa nilai keluhuran bangsa kita mampu mengarungi samudera zaman yang tak bertepi.
[Erliyana Handayanisa]
KOMENTAR