Ilustrasi UKT tinggi (Doc. IDEAPERS.COM) |
Dinamika sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi problem yang tidak pernah redup selama 10 tahun sejak ditetapkannya IAIN Walisongo Semarang menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) pada 2013 silam. Sejak berdiri, UIN Walisongo telah mengklaim diri sebagai kampus rakyat yang tidak membebani mahasiswa dengan UKT yang mahal. Namun semangat pembangunan fasilitas dan berbagai peraturan Kementrian Agama (Kemenag) yang membuat lonjakan UKT semakin tinggi.
Dari data yang dihimpun oleh LPM IDEA ketika pembuatan bulletin el-Manhaj tahun 2016, tiga tahun sejak ditetapkan menjadi UIN besaran UKT yang dibebankan kepada mahasiswa mencapai IV golongan, dengan rincian golongan I sebesar 400.000 rupiah, golongan II sebesar 1.030.000 - 1.100.000 rupiah, golongan III sebesar 1.639.000 - 2.497.000 rupiah dan golongan IV sebesar 2.399.000 - 3.197.000.
Tingginya besaran UKT yang ditetapkan pada saat itu akhirnya mendapatkan reaksi keras dari mahasiswa UIN Walisongo. Berbagai bentuk aksi dilakukan dengan mengadakan audiensi, menebar spanduk, tulisan penolakan UKT hingga menggelar aksi demonstrasi serentak.
Namun hingga saat ini, persoalan besarnya biaya UKT masih menjadi perdebatan yang tak kunjung menemui titik. Misalnya saja masih banyak mahasiswa yang merasa beban UKT yang diberikan oleh kampus tidak tepat sasaran.
Saat ini, besaran UKT di UIN Walisongo sudah mencapai VII golongan. Golongan terendah sebesar 400.000 rupiah hingga golongan yang paling tinggi mencapai 7.000.000 rupiah. Akhirnya, banyak mahasiswa yang membandingkan kualitas UIN Walisongo dengan universitas lain yang lebih mentereng, dengan biaya kuliah yang hampir sama.
Inkonsistensi Regulasi UKT UIN Walisongo
Persoalan lain yang kerap menjadi perdebatan yakni regulasi yang ditetapkan oleh UIN Walisongo sering tidak jelas dan tidak konsisten. Kasus pertama yang ditemui ialah mengenai sistem regulasi untuk melakukan banding UKT.
Ketidakjelasan terkait banding UKT seakan abadi sejak ramai-ramai demonstrasi pada 2016 lalu. Anehnya, banding UKT di UIN Walisongo terus berlangsung setiap tahunnya. Artinya, persoalan UKT di UIN Walisongo tidak pernah tuntas, meski sudah banyak dilakukan mediasi maupun kritikan dari masyarakat luas.
Mahasiswa yang merasa biaya UKT-nya tidak sesuai dengan keadaan ekonomi, diberikan keringanan untuk melakukan banding sebanyak dua kali kesempatan selama menjadi mahasiswa. Namun, banyak mahasiswa yang melakukan banding agar biaya kuliah yang diberikan dapat lebih murah justru mengalami kenaikan.
Yang terbaru, pada semester ganjil 2023 lalu, UIN Walisongo memberlakukan aturan dari Kemenag yang dituangkan pada KMA No. 82 Tahun 2023 untuk memberikan potongan 50 persen pada mahasiswa semester sebelas ke atas. Keputusan ini sebenarnya sudah ditunggu lama oleh mahasiswa UIN Walisongo.
Seperti yang terungkap dalam rubrik Surat Pembaca di laman Ideapers.com pada 31 Juli 2017 lalu. Artikel yang dikirim oleh mahasiswa angkatan 2013 dengan judul "Mengapa Mahasiswa Angkatan 2013 Harus Membayar UKT Secara Penuh?" itu menyuarakan beban UKT yang harus ditanggung oleh mahasiswa akhir.
Peraturan dari Kemenag tersebut seakan menjadi angin segar bagi Mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Namun ternyata, peraturan hanya bertahan satu semester saja. Peraturan itu sekejap berubah pada semester genap tahun 2024 yang menyatakan besaran UKT mahasiswa akhir kembali pada nominal semula atau pembayaran penuh.
Akibatnya, inkonsistensi peraturan tersebut menuai banyak protes dari mahasiswa. Pada puncaknya ketua DEMA- U harus sampai mengadakan audiensi dengan pihak kampus untuk meminta kejalasan atas kebijakan tersebut.
Setelah itu, pihak kampus luluh dengan memberikan kembali potongan 50 persen bagi mahaiswa akhir. Akan tetapi, banyak mahasiswa yang terlanjur membayar UKT secara penuh lataran diputuskan mendekati tenggat pembayaran. Sedangkan bagi mahasiswa lain yang telat, diberi perpanjangan waktu serta biayanya sudah potong. Pihak kampus menyatakan kepada mahasiswa yang sudah terlanjur membayar bahwa uangnya akan di kembalikan di kemudian hari.
Lagi dan lagi, pihak kampus juga tidak memberikan sistem regulasi yang jelas terkait pengembalian UKT tersebut. Sampai hari ini sisa dari pembayaran tersebut belum juga dikembalikan. Haruskah mahasiswa selalu percaya pada harapan yang diberikan UIN Walisongo?
Walaupun banyak aksi protes dan berbagai hal yang melingkupinya, sistem penetapan UKT di UIN Walisongo seperti tidak pernah berubah. Seakan tidak belajar dari sebelumnya, penetapan biaya kuliah masih saja tergolong tinggi.
Dilema Pemenuhan Fasilitas di UIN Walisongo
Jumlah UKT yang semakin tinggi, digadang-gadang akan memberikan fasilitas pendidikan yang lebih mumpuni bagi Mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Sudahkah begitu?
Fasilitas yang disediakan oleh kampus justru kerap menjadi sorotan. Hal ini karena pengadaan fasilitas yang menujang aktivitas akademik masih banyak dikeluhkan karena terdapat banyak kekurangan.
Misalnya, seperti yang terjadi di beberapa fakultas masih banyak mahasiswa yang mengeluhkan adanya jaringan Wi-Fi yang lemot, ruangan kelas tanpa AC, proyektor rusak, dan beberapa kelas yang tidak memiliki papan tulis.
Selain terkait dengan fasilitas, terdapat juga pertanyaan dari sejumlah pihak mengenai mahalnya biaya kuliah dengan jaminan pekerjaan yang akan di dapatkan oleh mahasiswa. Dengan jumlah biaya kuliah yang mencapai Rp 7 juta itu dirasa kurang worth it.
Dalam realitasnya, alumni UIN Walisongo Semarang mengaku harus sangat berjuang untuk bisa bersaing dengan alumni kampus lain dalam mendapatkan pekerjaan. Terlebih, sejumlah perusahaan maupun lembaga juga masih menggunakan label kampus dalam menerima karyawannya.
Hal ini yang seharusnya juga menjadi pertimbangan pihak kampus dalam menetapkan peraturan dan regulasi. Di mana tidak hanya memenuhi jumlah Satuan Kredit Semester (SKS), tetapi juga memberikan fasilitas pendidikan dan sistem pengembangan bagi mahasiswanya untuk menumbuhkan skill dan kemampuan diri.
[Erliyana Handayanisa]
KOMENTAR