Budaya tutur-menutur di Indonesia berkembang begitu kuat, terutama sebelum orang-orang mengenal tulisan dan pandai membaca. Kisah-kisah seperti mitos, cerita rakyat, legenda, dan lain sebagainya menjadi warisan nenek moyang yang memiliki nilai pengetahuan.
Tidak sekedar tradisi, produk-produk pelisanan tersebut juga banyak digunakan sebagai referensi dalam penelitian sejarah. Hal ini disampaikan oleh Sastri Sumarti selaku Kepala Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Bahkan, masyarakat Indonesia begitu ampuh memberikan dongeng sebagai media penanaman nilai kepada anak-anak. Budaya ini berlangsung begitu lama, hingga pembelajaran tentang baca-tulis diajarkan di sekolah-sekolah.
Kebiasaan tutur menutur seakan mempengaruhi bagaimana orang-orang sampai hari ini. Salah satunya dengan massifnya konten-konten audiovisual di media massa. Bahkan, produksi maupun distribusi konten audiovisual pada fenomena tertentu sering mengalami tranding atau viral.
Sebagaimana riset Kompas yang mengambil data dari Cloudflare Radar yang melacak domain terbanyak terhadap pengguna internet di dunia, domain tertinggi di Indonesia pada akhir 2021 hingga 2022 didominasi oleh media sosial TikTok dan Facebook pada ketegori hiburan.
Namun begitu, tidak semua orang mampu memanfaatkan situasi kemajuan teknologi seperti untuk mendapat pekerjaan maupun dialektika pengetahuan melalui informasi yang tersaji. Tidak bisa dipungkiri, lebih dari separuh pengguna aktif media sosial itu memanfaatkan teknologi genggam hanya untuk menghibur diri dan terjebak di ruang algoritma.
Di sinilah peran ‘membaca’ harus mampu mengimbangi buaian tutur-menutur dalam berbagai versi. Melalui ‘membaca,’ seseorang akan mampu menalar situasi sekaligus menjadikannya modal untuk bertahan hidup.
‘Membaca’ di sini, tidak hanya diartikan secara harfiah dengan mengeja teks atau melihat dan mendengar audiovisual. Melainkan melihat secara lebih dalam terkait situasi yang ada, baik persoalan individu maupun sosial.
Membaca Persoalan
Beberapa tahun terakhir, isu kesehatan mental menggelembung di media sosial. Banyak konten-konten yang berisi tentang krisis hidup, stress, depresi, dan isu kesehatan mental lainnya dengan pembaca berjuta-juta.
Mirisnya, angka bunuh diri di kalangan anak muda juga semakin meningkat. Mereka menyatakan terkena kesehatan mental, psikologi terganggu sehingga kehidupan yang mereka alami terasa tidak bermakna lalu mengambil keputusan untuk bunuh diri.
Fenomena itu juga dibenarkan oleh hasil riset para peneliti FKKMK-UGM dengan The University of Queensland, Australia, dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, Amerika Serikat bahwa pengambilan keputusan remaja ketika mengalami ganggunan mental, depresi, stress itu cenderung memilih bunuh diri.
Baca Juga : Generasi Sandwich, Korban Kebutuhan Ekonomi atau Terjebak di Ruang Transisi?
Jika menilik lebih dalam, pilihan menyelesaikan masalah dengan mengakhiri hidup lebih sering disebabkan oleh kurangnya perencanaan dan pengetahuan dalam pengambilan keputusan.
Terkadang, orang tidak mampu menguraikan situasi yang dihadapi dan menganggapnya sebagai belenggu.
Pada titik ini, peran ‘membaca’ menjadi begitu penting. Tidak sekedar aktivitas melihat secara tekstual, melainkan melibatkan kemampuan memahami dan mengolah informasi. Di mana nantinya, akan menjadi bekal untuk mengarungi hidup dan segala perkaranya.
Semakin banyak referensi pengetahuan yang dimiliki, semakin besar pula dasar pemikiran yang bisa digunakan untuk bertahan hidup. Seperti mempertimbangkan yang baik dan benar, melihat keputusan berisiko tinggi, serta bagaimana menguraikan dan menyelesaikan permasalahan.
Hidup dan Bergerak
Salah satu filsuf klasik bernama Socrates pernah menuturkan bahwa “Hidup yang tak teruji tak layak untuk dijalani”. Artinya, ketika kita mendapat ujian atau permasalahan, di situlah kesempatan terbesar untuk membuktikan bahwa kehidupan itu ‘ada’.
Banyaknya isu mental health di kalangan anak muda, seharusnya bukan dijadikan penghalang dan membuat generasi menjadi lemah. Akan tetapi, generasi saat ini, terutama generasi yang hidup di era maya, mampu membuktikan bahwa kehidupan yang sedang dijalani benar-benar ‘layak’ dan pantas untuk diperjuangkan.
Lagi-lagi, peran membaca begitu penting. ‘Membaca’ untuk menjalani hidup dan membuat kehidupan terus bergerak.
Bahkan di dalam sejarah turunnya Islam, ayat-ayat al-Qur’an yang pertama kali turun adalah ayat-ayat dari surat Iqra’ yang memiliki arti “baca”. Secara historis, Nabi Muhammad saw tidak tau apa yang harus dibaca, lantaran kala itu, malaikat Jibril tidak memberikan kata atau kalimat apapun. Kemudian para mufassir menyatakan membaca yang dimaksud yaitu untuk membaca situasi kondisi Bangsa Arab.
Baca Juga : Sarjana; Diantara Bayang Kecerian dan Himpitan Badai PHK
Nabi Muhammad saw, diminta untuk membaca masyarakat Mekkah Kala itu yang masih berada di masa Jahiliah (kebodohan). Kejahatan di mana-mana, ketiadaan moral, termasuk pengetahuan soal hidup. Nabi Muhammad diminta untuk membaca tentu untuk perubahan, demi kelangsungan hidup manusia.
Pun saat ini, perintah tersebut masih dilanggengkan oleh ummatnya. Terutama untuk mampu membaca dan menyelesaikan setiap perkara di masing-masing zaman.
Bukan soal membaca teks atau buku pelajaran di sekolah dan bangku kuliah, tapi soal memahami keadaan. Kita semua pasti berkutat dengan masalah, semua orang pasti mengalami itu. Tapi bukankah kita dikasih masalah untuk bisa hidup?
Ada adagium “ketika kita berada dalam situasi krisis, di situ kita akan hidup”. Demikian persoalan hidup juga berkaitan dengan persoalan bergerak dari satu situasi ke situasi yang lain. Bergerak dari satu persoalan ke persoalan yang lain.
Melalui situasi seperti ini, manusia diuji untuk meng-upgrade dirinya, dan membuat derajatnya lebih tinggi daripada sebelumnya. Misalnya, penyelesaian masalah akan menumbuhkan sikap lebih dewasa, punya karakter dan sebagainya.
Untuk bisa semacam itu, kita harus mampu “membaca”.
Membaca situasi, membaca akar permasalahan sehingga bisa menguraikan dan menyelesaikan, membaca untuk mengambil keputusan, dan membaca untuk mengambil tindakan yang tepat.
Membaca bukan persoalan “melihat” tapi juga “mengetahui”. Melalui membaca, sekaligus merancang bagaimana seseorang mampu berfikir, selayaknya diktum Rene Descartes “Co gito ergo sum” (aku berpikir maka aku Ada).
[Ayu Sugiarti]
KOMENTAR