Dok. Istimewa |
Beberapa tahun terakhir persoalan generasi sandwich menjadi perbincangan khalayak umum, terutama generasi Z yang mulai mengalami fenomena ini.
Generasi sandwich dalam persoalan dan dilematisnya, meraka harus menanggung beban ganda kehidupan dua generasi sekaligus. Kondisi semacam ini sebenarnya bukan kali pertama terjadi, melainkan sudah dialami oleh empat generasi, mulai dari generasi baby boomers hingga generasi Z.
Istilah generasi sandwich pertama dikenalkan oleh seorang profesor sekaligus direktur praktikum, Dorothy Milller melalui tulisannya dalam jurnal yang berjudul “The Sandwich Generation: Adult Children of The Aging” pada tahun 1981.
Baca Juga : Labelisasi Milenial
Konsep generasi sandwich merujuk pada gambaran roti "sandwich" dengan isian daging yang dihimpit oleh dua roti di atas dan di bawah. Roti diibaratkan sebagai dua generasi atau beban yang ditanggung oleh "isian daging". Sedangkan "isian daging" ibaratnya seorang yang harus memenuhi kebutuhan dua generasi atas dan bawahnya.
Generasi sandwich biasanya dialami oleh kelompok masyarakat usia produktif kisaran 15 hingga 65 tahun. Mereka berusaha memenuhi kebutuhan generasi atasnya, seperti orang tua, sekaligus generasi setelahnya seperti kehidupan rumah tangga atau anak dan istri.
Riset Generasi Sandwich
Pada 2022, litbang kompas melakukan riset soal gambaran generasi sandwich di Indonesia. Riset itu dilakukan dengan dua kriteria, yakni generasi sandwich berdasar kelompok usia dan generasi sandwich berdasarkan status ekonomi.
Berdasarkan usia, generasi Y atau milenial (25-40 tahun) menjadi kelompok yang menjalani hidup sebagai generasi sandwich dengan suara 43,6 persen. Selanjutnya gen X (40-55 tahun) sekitar 32,6 persen suara. Kemudian generasi Z sebanyak 16,5 persen. Terakhir, baby boomers (> 55 tahun) sebanyak 7,5 persen.
Demikian kelompok yang menjalani usia produktif (generasi milenial dan generasi Z) menjadi generasi mayoritas yang mengalami kondisi generasi sandwich. Kelompok ini memiliki beban ganda untuk menghidupi dua generasi atas dan bawahnya. Semakin tinggi angka ketergantungan, maka akan semakin berat tanggungan penduduk usia produktif untuk membiayai penduduk di usia yang tidak produktif.
Baca Juga : Generasi Milenial Dalam Pusaran Politik
Sementara berdasarkan status ekonomi, kondisi himpitan ekonomi itu mayoritas dialami oleh golongan menengah ke bawah sebanyak 44,8 persen. Lalu kalangan bawah (36,2 persen), menengah atas (16,3 persen) dan kelompok atas (2,7 persen).
Artinya, generasi sandwich memang dialami oleh seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kalangan. Namun mayoritas dialami oleh kelompok sosial ekonomi dari kalangan menengah bawah dan paling bawah.
Kendati demikian, rata-rata responden dari berbagai kalangan sosial mengaku tidak keberatan dan tidak menganggap tanggungan itu sebagai beban. Pandangan semacam itu juga dilatarbelakangi dengan kondisi sosial budaya di Indonesia sehingga banyak yang menganggap kondisi tersebut sebagai hal yang lumrah.
Rata-rata para generasi sandwich pun mengaku tidak terbebani dengan adanya tanggungan pemenuhan baya hidup untuk orang tua maupun anak. Riset menunjukkan perbedaan angka yang terpaut cukup jauh. Kalangan menengah ke bawah misalnya, yang merasa tidak terbebani sebanyak 71,2 persen kemudian hanya 2,5 persen di antaranya merasa terbebani, sisa 26,3 persen merasa biasa saja.
Namun tidak dipungkiri, kondisi ekonomi yang menghimpit tersebut mempengaruhi tingkat produktivitas seseorang. Pasalnya generasi sandwich diharuskan membagi waktu, mulai dari bekerja, mengurus anak, dan orang tua. Selain itu, kondisi keuangan yang terbatas juga mempengaruhi pengembangan diri lantaran sulit untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikan. Terakhir, kondisi semacam ini juga sangat mempengaruhi kondisi mental seseorang.
Generasi Sandwich, Bertahan Di Era Transisi
Meskipun istilah generasi sandwich itu telah dikenalkan sejak tahun 90-an namun transisi kehidupan membuat permasalahan menjadi semakin kompleks. Perkembangan teknologi mengubah pola kebiasaan, pemenuhan kebutuhan, tantangan, hingga penawaran solusi meskipun masalahnya tetap sama.
Di era digital saat ini, masyarakat bisa memperoleh informasi bermodal ketikan jari. Internet menghubungkan informasi di seluruh dunia dalam satu genggaman ponsel. Melalui internet, semua orang bisa mendapatkan informasi dengan mudah.
Pada konteks generasi sandwich, era digital berkontribusi mempengaruhi pola berpikir masyarakat. Pasalnya istilah generasi sandwich juga kembali dibicarakan akibat adanya tren digital.
Istilah itu sempat menjadi trending topik saat pandemi karena menggambarkan kondisi yang relate dengan keadaan sosial masyarakat, yakni masalah perekonomian. Pemangkasan pekerja menjadi inti masalah bagi generasi sandwich yang memikul beban ekonomi ganda. Apalagi banyak lapangan pekerjaan yang terkikis.
Namun hidup di era teknologi menawarkan beragam pilihan, termasuk dalam memilih pekerjaan. Generasi milenial yang berada di era transisi dapat memilih antara bertahan pada idealisme lama soal konsep bekerja atau memilih untuk mengenal perubahan zaman.
Serba serbi digital juga mempengaruhi pola dan gaya hidup. Era digital menawarkan pilihan beragam hingga menciptakan banyaknya peluang pekerjaan. Bahkan dengan akses teknologi, masyarakat saat ini bisa melakukan pekerjaan dengan lebih fleksibel. Baik itu freelance, reseller, desain grafis, guru privat online, dan pekerjaan lain yang bisa dijangkau dimana dan kapanpun.
Dalam implementasinya, pekerjaan yang dilakukan secara digital itu membutuhkan kemampuan yang cukup. Di era digital kini, kemampuan bertahan hidup yang dibutuhkan bukan soal siapa yang pintar atau kuat. Namun siapa yang ingin terus belajar dan beradaptasi dengan dunia modern yang terus berkembang.
Maka generasi yang tengah mengalami kondisi dihimpit pemenuhan tanggungan berlapis, dapat melakukan pengembangan diri untuk melancarkan pemasukan ekonomi. Pasalnya, permasalahan kompleks yang muncul di permukaan selalu disertai berbagai jalan keluar.
Keresahannya adalah generasi sandwich berada di kondisi yang harus membuat ia terus bekerja untuk memenuhi biaya hidup. Jadi apakah generasi sandwich masih bisa memilih pekerjaan yang dia inginkan sesuai kemampuan dan potensi yang ingin dikembangkan? [Ananda Dian]
KOMENTAR