Ilustrasi laju abad kemerdekaan pendidikan di Indonesia (Doc.IDEAPers.com/Ilustrasi:Yogi Zidan) |
Sejak Belanda memperkenalkan sekolah formal, sistem pendidikan di negeri ini terus bertumbuh, dengan segala baik dan buruknya. Di samping semakin banyak sekolah-sekolah berdiri, ketimpangan-ketimpangan dalam ruang pendidikan pun turut muncul.
Misalnya, sebelum dibangun sekolah Bumi Putra, hanya putra bangsawan yang diberi akses untuk menempuh pendidikan oleh kolonial Belanda. Sementara penduduk Pribumi lain tidak diberikan akses untuk bersekolah. Baca-tulis dan pengetahuan hanya milik yang bertakhta.
Bahkan hingga berganti abad, di hari ini, ketimpangan dalam dunia pendidikan masih nampak. Mulai dari tidak meratanya fasilitas pendidikan, ketersediaan serta kualitas guru, hingga penerapan kurikulum yang tidak konsisten dan terkesan rancu.
Baca Juga : Membincang Kelekatan Strata Sosial Guru di Indonesia
Saat ini kita masih bisa melihat bagaimana jurang perbedaan dunia pendidikan di wilayah Pulau Jawa dengan pulau lainnya di Indonesia, terlebih di daerah Indonesia Timur. Akhirnya, kegiatan pendidikan banyak terpusat di satu wilayah dan membawa dampak ketimpangan yang lainnya.
Di Pulau Jawa, wilayah yang katanya paling gemilang terkait perkembangan pendidikan, juga masih banyak ditemui persoalan dengan ikhwal tersebut. Banyak sekolah yang fasilitasnya kurang terpenuhi, kuantitas dan kualitas pengajar yang tidak merata hingga penerapan kurikulum yang tidak maksimal.
Tidak meratanya kualitas pendidikan terkait erat dengan penyediaan layangan infrastuktur. Masih banyak daerah-daerah terpencil yang belum memiliki sekolah. Atau setidaknya telah memiliki sekolah namun kualitas sarana prasarana yang jauh dari kata layak.
Ketimpangan Fasilitas Pendidikan
Seperti yang terjadi ketika pandemi covid-19, saat pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan proses belajar mengajar secara daring. Ternyata kebijakan tersebut lebih besar keefektifannya diterapkan di Pulau Jawa. Sedangkan siswa di luar Pulau Jawa banyak yang tidak dapat mengikuti pembelajaran kerena fasilitas yang tidak memadahi.
Menurut data yang ditunjukkan oleh The Conversation, sebanyak 30% guru di luar Pulau Jawa tidak menggunakan aplikasi digital dalam aktivitas pengajaran. Hal ini menunjukkan bahwa daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) tidak memiliki fasilitas dasar yang dapat mendukung terselenggaranya layanan pendidikan yang memadahi. Seperti tidak adanya jaringan internet hingga peralatan elektronik, seperti laptop dan gawai yang menjadi alat utama dalam pembelajaran daring.
Alasan rendahnya kualitas pendidikan tersebut karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ialah faktor jarak antara rumah dan sekolah. Sarana pendidikan yang masih sangat terbatas menjadi penyebeb rendahnya minat untuk menempuh pendidikan.
Kekurangan Kurikulum
Kurikulum yang menjadi bagian dari yang ada dalam sistem pendidikan juga belum menemui perumusan yang pas, masih sering bongkar pasang. Seiring kurikulum tersebut diperbarui dan diperbaiki, setidaknya Menteri Pendidikan RI telah mengganti kurikulum lebih dari 11 kali terhitung sejak Indonesia merdeka. Hingga pada tahun 2024 ini, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim menetapkan kurikulum merdeka sebagai kurikulum nasional.
Penetapan tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024 tentang kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah.
Narasi transformasi pendidikan yang digaungkan dalam kurikulum ini berupa perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada siswa atau student center.
Baca Juga: Pendidikan dalam Belenggu UKT Mahal
Namun begitu, persiapan dan rumusan Kurikulum Merdeka untuk menjadi kurikulum nasional masih terdapat sejumlah pertanyaan. Seperti kesiapan sekolah dan guru sebagai pelaksana. Mengutip dari Kompas.id, ada beberapa sekolah yang yang belum pernah memperoleh pelatihan Kurikulum Merdeka yang dalam asesmennya masuk dalam kategori mandiri berbagi. Akhirnya sekolah kelimpungan dan guru pontang-panting belajar sendiri untuk memahami implementasi dari Kurikulum Merdeka. Ironisnya, guru juga belum tentu paham.
Kualitas Guru
Bersambung dengan sistem pendidikan yang belum matang, kualitas guru menjadi hal yang esensial dalam upaya peningkatan dan perbaikan sistem pendidikan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun ajaran 2022/2023, jumlah guru di Indonesia sebanyak 3,37 juta orang. Dari data tersebut disebutkan juga jumlah persentase guru yang memenuhi kualifikasi akademik minimal S1/D4 sebesar 96,95 persen.
Walaupun begitu, hal ini menjadi ironi karena melihat kompetensi, kemampuan mengajar serta profesionalitas guru nyatanya masih rendah. Research on Improving System of Education (RISE) menunjukkan, lebih dari 50% guru di Indonesia merupakan pegawai negeri dan 90% tumpuan belajar ada pada mereka, namun nyatanya kualitas mereka tidak dapat terjamin dengan baik.
Salah satu indikator penyebab rendahnya kualitas guru ialah seleksi kualifikasi kelayakan terhadap seorang guru untuk dapat mengajar hanya ditunjukkan melalui sertifikasi. Seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yaitu bahwa kualifikasi akademik guru SD/sederajat, SMP/sederajat, dan SM/sederajat adalah minimal D4 atau S1. Dalam hal ini, kompetensi dan kemampuan seorang guru tidak dapat ditunjukkan secara real.
Karena pada faktanya, masih banyak guru yang kesulitan dalam mengakses dan mengaktualisasikan sistem pembelajaran yang ada. Bahkan, guru-guru hari ini lebih banyak dipusingkan dengan tugas-tugas administratif dibandingkan memberikan daya didik terbaik.
Indonesia Emas 2045
Indonesia Emas 2045 memiliki visi yang terdiri dari empat pilar. Salah satunya untuk pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, harusnya layanan serta sarana pendidikan dapat menjamin warga untuk mengembangkan kemampuan dan potensi mereka. Nyatanya sampai hari ini ketimpangan-ketimpangan itu masih terjadi.
Jika kondisi pendidikan saat ini belum menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan, lalu bagaimana Indonesia mampu mengejar realisasi Indonesia Emas 2045? Problem utama layanan fasilitas belajar seperti sarana dan prasarana serta kualitas guru pun masih belum terselesaikan. Apalagi persoalan kurikulum yang tidak pernah final.
Baca Juga: Indonesia Darurat Kekerasan Pelajar
Padahal untuk realisasi cita-cita tersebut dibutuhkan pengejaran perwujudan kualitas pendidikan yang baik secara merata. Tidak hanya di satu atau dua wilayah saja yang memiliki kualitas pendidikan baik. Artinya, masih banyak PR yang perlu segera untuk digarap oleh pemerintah.
Hingga hari ini, bongkar pasang sistem di ruang pendidikan masih nampak sebagai ‘kejar target’ karena masa jabatan yang tak lama. Ganti menteri ganti kurikulum, ganti tahun ganti gaya dengan target menyamakan negara lain.
Di dalam kondisi dunia pendidikan yang seperti saat ini, seakan kita diminta terus melaju di atas jembatan yang goyah. Pilihannya, sampai ke ujung dengan cepat namun meninggalkan bahaya bagi generasi di belakang, atau sampai ke ujung sedikit lambat untuk lebih dulu membenahi dan mengokohkan pondasi.
[Erliyana Handayanisa]
KOMENTAR