Ilustrasi Strata sosial guru |
Isu stratifikasi guru ini bukan hanya isapan jempol semata. Pasalnya, ada sejumlah kasus mencolok yang ditimbulkan dari ketimpangan status sosial guru yang ada.
Misalnya seperti yang dialami oleh salah satu guru Sekolah Dasar (SD) di Sukabumi, Jawa Barat bernama Alvi Noviardi (50) yang hanya mendapat gaji sebesar Rp 10 ribu. Padahal, ia sudah mengabdikan dirinya untuk menjadi pengajar selama 36 tahun, dan masih berstatus guru honorer.
Mengutip pemberitaan dari Detik.com (06/03/2024), Alvi Noviardi terpaksa merongsok untuk bisa menutupi kebutuhan sehari-hari. Ia memanfaatkan jauhnya jarak tempat tinggal dengan SD tempatnya mengajar, yang ditempuh dengan jalan kaki untuk mengumpulkan barang-barang bekas.
Kisah lain dirasakan oleh Desi Sukmawati, guru SD di wilayah Bandung. Guru honorer yang telah mengabdi selama 14 tahun tersebut harus berpasrah dengan upah atas pengabdiannya. Meskipun jauh dari kata cukup untuk kebutuhan sehari-hari, ia tetap mengabdikan dirinya untuk mengajar dan meninggalkan pekerjaan sebelumnya sebagai buruh pabrik.
Namun begitu, gaji guru honorer yang sedikit, bukan berarti membuat beban tugas yang diemban juga mengecil. Di beberapa kasus, status honorer justru dijadikan legitimasi untuk diperlakukan berat sebelah dibandingkan guru berpangkat seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Mengutip pewartaan Kompas.com (18/07/2024), salah seorang guru muda di Jakarta menyebut status guru honorer sebagai “Babu”. Bukan tanpa alasan, ia menyamakan guru honorer dengan babu lantaran beban tugas yang diberikan seringkali melebihi kapasitas dan di luar pekerjaan utama.
Ia bahkan menyebut guru berstatus PNS dan senior sebagai pemalas, lantaran sering membebankan tugas ke guru-guru baru. Bahkan, ia juga mengatakan apabila guru PNS dan sertifikasi mendapatkan tugas lebih ringan dari guru honorer.
Kesenjangan dan perbedaan status guru antara PNS, PPPK, dan honorer pada nyatanya tidak hanya nampak di perkara gaji dan beban kerja saja. Di dalam kelas sosial kemasyarakatan, tentu status tersebut turut membentuk persepsi serta penghormatan yang berbeda.
Guru PNS umumnya memiliki posisi yang lebih unggul dalam kelas sosial dibandingkan dengan guru PPPK dan honorer. Selain itu, guru PNS memperoleh pengakuan lebih tinggi di masyarakat dan lebih dihormati sebagai seseorang yang “ber-orang”. Sedangkan guru honorer seringkali dianggap kurang berprestise meskipun mereka terkadang memiliki kualifikasi yang sama.
Sedangkan dari segi kekuasaan, guru PNS memiliki akses yang lebih baik. Misalnya, dilibatkan dalam proyek negara di bawah Kementerian Pendidikan. PNS mempunyai peluang besar untuk mendapatkan peningkatan kualitas seperti pelatihan beasiswa untuk melanjutkan studi dan sertifikasi kualifikasi. Bahkan mempunyai peluang mengikuti pertukaran tenaga didik untuk meninjau perkembangan dunia pendidikan di luar negeri, sedangkan honorer tidak.
Pengelompokan Status Guru
Pengelompokan guru terasa sangat masif sejak dua tahun terakhir ini. Pasalnya pemerintah membuka formasi guru sebagai PPPK secara besar-besaran. Banyak masyarakat yang berbondong-bondong mengejar untuk mengikuti tes menjadi guru PPPK.
Pada tahun 2023, menurut Direktur Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), pihak kementerian Pendididkan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudrisek) melalui Pemerintah Daerah (Pemda) membuka farmasi guru PPPK sebanyak 296.059 orang.
Guru honorer ramai mengejar jenjang status pendidik dengan melakukan berbagai tes agar terverifikasi di pemerintahan. Meskipun PPPK tidak mendapatkan jaminan pensiun maupun tunjangan, namun bisa menjadi jembatan menuju guru PNS dengan sistematika yang telah ditentukan.
Meskipun pengelompokan tersebut menjadi jalan keluar dari pemerintah untuk memecahkan persoalan kesejahteraan guru, namun ternyata membawa efek domino bagi interaksi sosial di lapangan.
PNS sangat diidamkan oleh masyarakat. Lantaran, gaji yang menggiurkan dari pada PPPK apalagi honorer. Status guru yang berjenjang pada akhirnya menciptakan strata sosial yang akan berdampak terhadap perspektif masyarakat baik dari segi ekonomi maupun sosial.
Stratifikasi dari Kacamata Max Weber
Stratifikasi dalam pandangan Max Weber berkaitan dengan adanya pengelompokan individu bertingkat pada masyarakat. Menurut Weber, ada tiga unsur utama yang membedakan stratifikasi yaitu kelas, status dan kekuasaan. Stratifikasi yang terjadi di lingkungan masyarakat tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi namun juga sosial dan politik.
Penggolongan kelompok pada manusia akan sulit hilang. Hal itu terbentuk dengan sendirinya melalui nilai kemasyarakatan sebagai makhluk sosial. Weber mengatakan terdapat tiga ciri-ciri yang menggambarkan unsur utama stratifikasi sosial.
Pertama, Kelas. Ciri stratifikasi pertama merujuk pada aspek ekonomi. Perbedaan yang mengacu pada posisi individu dalam penempatan kelas ekonomi. Pegelompokan kelas tersebut dilihat dari seberapa besar dan pengaruh seseorang di ranah pasar yang juga mempengaruhi peluang hidupnya.
Kedua, Status yang berkaitan dengan sosial. Stratifikasi yang terjadi terhadap masyarakat dipengaruhi dengan melihat nilai, gaya hidup maupun prestasi yang sudah menjadi budaya dalam lingkungan tersebut.
Ketiga, Kekuasaan atau yang berhubungan dengan politik. Ciri-ciri ini menggambarkan tingkatan individu yang bisa diterima oleh khalayak dengan memandang seberapa besar seseorang berpengaruh dalam mengambil keputusan dalam otoritas di masyarakat.
Dalam konteks persoalan perbedaan kelas guru di Indonesia, kesenjangan sosial yang digambarkan oleh Max Weber terlihat begitu jelas. Paling kentara, pengelompokan tersebut dapat dilihat pada profesi guru berdasarkan kelas sertifikasi mereka yaitu honorer, PPPK, dan PNS.
Stratifikasi sosial yang terjadi di ranah pendidikan akan menciptakan ketimpangan yang mempengaruhi akses sumber daya pendidikan seperti kelompok guru. Dampak itu ditulis oleh Supriyadi dalam jurnal berjudul “Stratifikasi Sosial dalam Pendidikan di Indonesia: Analisis terhadap Kelas Sertifikasi Guru" (2017).
Stratifikasi sosial di kalangan guru di Indonesia kemudian mencerminkan bagaimana kelas stratifikasi mempengaruhi aspek ekonomi, sosial, dan kekuasaan yang menciptakan lapisan-lapisan yang berbeda dalam dinamika pendidikan.
Jenis status guru, tanpa disadari menjadi perbincangan yang mempengaruhi sumber daya pendidikan. Semakin tinggi jenjang gurunya maka semakin tingggi honor yang didapat. Semakin besar status gurunya semakin disanjung pula kehidupannya.
Hal wajar apabila jenjang guru honorer, PPPK meupun PNS diperbincangkan. Menilai guru sertifikasi dan PNS memiliki kehidupan lebih baik kerena mendapatkan gaji yang tinggi daripada honorer. Atau sebaliknya, guru honorer dianggap tidak beruntung dan dikasihani nasibnya karena faktor kecilnya gaji yang diterima.
Honorer yang mengabdi puluhan tahun hanya bisa menggigit jari melihat fenomena strata guru. Totalitas dalam mendampingi generasi bangsa dengan berbagai keterbatasan kian terasa. Ungkapan musisi legendaris Indonesia, Iwan Fals dalam judul lagu “Oemar Bakrie” semakin releate.
“Oemar Bakrie Oemar Bakrie. Empat puluh tahun mengabdi Jadi guru jujur berbakti memang makan hati”.
Penggolongan guru berdasarkan sertifikasi terbawa sampai lingkungan masyarakat. Label yang mereka dapatkan seakan selalu menyertai di setiap langkahnya. Pengaruh pandangan masyarakat terhadap stratifikasi sosial guru bisa terjadi karena stabilitas pekerjaan maupun finansial.
Masyarakat memandang PNS sebagai capaian dan simbol karir yang paling tinggi sebagai pendidik. Di sisi lain guru PPPK dinilai lebih baik dari honorer. Seakan mendapatkan posisi di tingkat menengah sebab status yang stabil dan masih mempunyai tiket menjadi PNS.
Sedangkan guru honorer kerapkali menghadapi reputasi yang sedikit buruk secara sosial. Meskipun kontribusi dalam dunia pendidikan guru honorer sama pentingnya. Terkadang masyarakat memandang meraka sebagai guru yang tidak memiliki jaminan kerja dalam jangka waktu yang panjang. Bahkan mirisnya, masih ada yang beranggapan jika kompetensi dan kualitas guru honorer sama rendahnya dengan gaji yang didapat.
Bukankah dalam ranah tugas dan tanggung jawab guru, bukan diukur semata-mata berdasarkan status kepegawaiannya? Akan tetapi juga perlu diperhitungkan pula terkait kontribusi mereka dalam dunia pendidikan. Menghargai dengan setara tanpa melihat status mereka juga perlu ditekankan agar semua guru termotivasi untuk memberikan yang terbaik dalam mendidik.
[Ayu Sugiarti]
KOMENTAR