![]() |
Ilustrasi UKT mahal (Doc. Ideapers.com) |
Akibat kenaikan biaya kuliah yang signifikan, ribuan calon mahasiswa baru di sejumlah universitas harus mengundurkan diri karena tidak mampu membayar. Kemudian berbagai aksi demosntrasi penurunan UKT tak bisa terhindarkan dibeberapa kampus.
Merespon masifnya polemik kenaikan UKT, Komisi X DPR RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI).
Dalam rapat disebutkan jika Permendikbud No 2 Tahun 2024, menjadi salah satu penyebab naiknya UKT. BEM Universitas Soedirman (UNSOED), Maulana Ikhsanul Huda, mengatakan terjadi kenaikan UKT ekstrem hingga 300 sampai 500 persen, seperti di Fakultas Peternakan mulanya Rp2,5 juta menjadi Rp14 juta.
Kuliah Tidak Penting?
Di tengah kisruhnya polemik UKT, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan jika pendidikan tinggi merupakan tertiary education atau pendidikan tersier. Artinya, tidak masuk dalam kategori 12 tahun wajib belajar dan bersifat pilihan.
Pernyataan ambigu tersebut, justru sama sekali tidak menjawab persoalan UKT mahasiswa. Dengan biaya kuliah tinggi, pendidikan semakin sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), hanya 10,15 persen masyarakat Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi.
Padahal dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di mana setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pemerintah sebagai penyelenggara.
Belum lagi dalam dunia kerja saat ini pendidikan dan pengalaman menjadi kriteria utama. Sementara melansir dari Kompas.com, per Februari 2023 lebih dari 945 ribu sarjana masih pengangguran.
Melihat realitas tersebut, tujuan dari mencerdaskan kehidupan bangsa tampaknya masih belum terealisasi. Pasalnya kualitas pendidikan, daya literasi, dan numerik warganya yang masih minim.
Bisakah Mencapai Indonesia Emas?
Terputusnya rantai pendidikan pada generasi muda akan menimbulkan masalah bagi bangsa. Kita akan kehilangan kualitas penduduk produktif, lantaran akses pendidikan yang tidak maksimal dan merata. Sementara bangsa Indoensia di tahun 2045 digadang akan mencapai bonus demografi.
Sebagaimana data BPS, sekitar 9,9 juta penduduk usia 15-24 tahun tidak memiliki kegiatan atau Youth Not in Education, Employment and Training (NEET) di Indonesia. Generasi yang nantinya akan menjadi penerus bangsa, justru kehilangan kesempatan untuk mengeksplor keterampilan dan pengetahuannya.
Menyongsong seabad kemerdekaan RI dan megatren dunia 2045, tampaknya restorasi pendidikan menjadi sangat urgen. Pembenahan yang tidak hanya berhenti pada ranah teknis, administrasi, melainkan bagaimana esensi dari pada pendidikan yang sesungguhnya.
Pendidikan berperan penting dalam proses perkembangan kehidupan manusia. Melalui pendidikanlah bangsa ini mampu melahirkan generasi yang memiliki keterampilan dan pengetahuan.
[Ayu Sugiarti]
KOMENTAR