Jeng Yah (Dian Sastrowardoyo) dalam salah satu adegan series Gadis Kretek. (Foto: Istimewa) |
Judul Series: Gadis Kretek
Episode Series: Lima (5)
Sutradara: Kamila Andini, Ifa Isfansyah
Pemeran: Dian Sastrowardoyo, Ario Bayu, Ibnu Jamil, Arya Saloka, Putri Marino.
Tahun Rilis: 2 November 2023
“Saya berharap mereka melihat apa yang saya punya. Ada mimpi, cita-cita dan keinginan untuk menjadi sesuatu yang berbeda dari apa yang sudah digambarkan untuk saya”.
Salah satu ucapan Dasiyah yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo dalam serial “Gadis Kretek” garapan Kamila Andini dan Ifa Isfansyah. Serial yang diadopsi dari novel Ratih Kumala dengan judul yang sama, mengangkat sejarah industri kretek di Indonesia pada tahun 1965 silam.
Dasiyah yang akrab disapa Jeng Yah, sosok perempuan yang memiliki tekad dan mimpi besar untuk bisa menciptakan kretek terbaik. Namun hidup sebagai perempuan Jawa di masa itu, untuk mengejar mimpi nya, Jeng Yah harus bergelut dengan tradisi dan stigma yang ada.
Lahir dari keluarga pembisnis kretek, membuat Jeng Yah tumbuh begitu dekat dengan kretek. Ia bahkan dipercaya untuk membantu sang ayah, Idroes Muria (Rukman Rosadi) mengelola bisnis Kretek Merdeka. Namun ruang geraknya terbatas, lantaran ia hanya mengelola secara managerial bisnis milik ayahnya.
Padahal, ia berambisi untuk menjadi peracik saus kretek terbaik. Sayangnya, di masa Jeng Yah hidup, meracik saus hanya boleh dikerjakan oleh lelaki. Sedang para perempuan, hanya diperbolehkan menjadi pelinting saja.
Bagi Jeng Yah, meracik saus kretek tidak hanya memegang "kunci" kenikmatan kretek, melainkan juga menjadi laboratorium pengetahuan untuknya.
Karena pengetahuan yang diimpikannya adalah hal yang tabu dalam lanskap sosial dan budaya, ia secara diam-diam, masuk ke tempat terlarang bagi perempuan yakni ruang saus pabrik milik ayahnya.
Di sana ia mencoba untuk meracik saus baru. Jeng Yah menemukan dunianya, dunia pengetahuan yang diimpikannya. Sialnya, aksinya tersebut cepat diketahui oleh peracik saus, Pak Dibyo (Whani Darmawan) dan membuatnya marah besar.
Jeng Yah dianggap telah melanggar kepercayaan yang begitu sakral. Masyarakat Jawa meyakini ketika perempuan masuk dan menyentuh botol-botol saus, rasanya akan menjadi asam dan akan mempengaruhi aroma dan rasa kretek.
“Ini Kelewatan, Nggak bisa perempuan masuk di ruang saus. Ora ilok (Larangan). Kretek Merdeka jadi asem,” tegas pak Dibyo dengan penuh amarah.
Ungkapan pak Dibyo menjadi gambaran bagaimana paradigma masyarakat jawa ada masa itu, masih sulit menerima pembaharuan. Perihal kretek salah satunya. Racikan baru saus kretek perpaduan tembakau, rempah-rempah dan bunga mawar milik Jeng Yah ditolak dengan alasan peraciknya adalah perempuan.
Macak, Manak, Masak
Di usia Dasiyah kala itu, ia diharuskan menikah. Tanpa sepengetahuannya, Ayah dan Ibunya (Ine Febriyanti) sudah menerima lamaran dari orang tua Seno Aji (Ibnu Jamil), pemilik bisnis Kretek Boekit Klapa. Ia tidak bisa berkutik, lantaran keluarganya dan keluarga Seno sudah saling menerima. Dengan terpaksa Dasiyah menyetujui perjodohan itu.
Keputusan tersebut membuat Dasiyah dilema. Karena baginya, pernikahan akan semakin menutup mimpinya. Pasalnya perempuan yang telah menikah hanya akan berkecimpung dalam tiga hal, yakni masak, macak dan manak.
Sementara Dasiyah memiliki cara pandang berbeda mengenai hidup. Dasiyah tidak ingin menjadi perempuan pada umumnya, yang ada dalam pikirannya hanyalah kretek. Tak hanya menjadi lumbung pengetahuan untuknya, Dasiyah berhasil menemukan "dirinya" saat meracik kretek terbaik.
Di tengah kekalutan karena akan meninggalkan dunia kretek usai menikah nanti, Dasiyah justru jatuh hati pada lelaki bernama Soeraya (Ario Bayu), seorang yang selama ini bekerja di pabrik kretek ayahnya.
Meskipun dari latar belakang keluarga yang berbeda, Dasiyah menganggap Soeraya sebagai seorang yang bisa menerima dirinya dan pikirannya. Berjalannya waktu, mereka menjalin hubungan secara diam-diam. Dasiyah menyadari, hubunganya dengan Soeraya perlahan membuka ruang-ruang mimpinya yang tertutup oleh sosial dan budaya.
Meskipun sempat tidak direstui keluarga, Dasiyah memutuskan untuk menghentikan rencana pernikahannya dengan Seno dan memilih Soeraya. Seiring perjalanan cintanya dengan Soeraya, Dasiyah pun mulai membuka batas-batas stigma yang ada dengan belajar meracik saus kretek.
Pengetahuan dan kepiawaian Dasiyah perihal kretek terbukti dan diakui dengan lahirnya Kretek Gadis. Kretek Gadis disukai masyarakat bahkan menjadi kretek dengan penjulan terlaris. Dasiyah menjelma menjadi “ratu” kretek dengan membawa identitas keperempuanannya.
Meski begitu, ada harga yang harus ia bayarkan untuk menebus keberhasilan mimpinya itu. Tahun 1965 adalah tahun yang kelam bagi sejarah sosial politik di Indonesia. Pun bagi Jeng Yah dan keluarganya. Melalui intrik politik lawan bisnisnya, keluarga pelopor rokok "Merdeka" (keluarga Jeng Yah) tumbang dan membawa cerita dalam arus yang baru.
Rokok dan Stigma Perempuan Masa Kini
Rokok memang menjadi komoditas yang menjanjikan. Industri kretek terus berkembang dengan berbagai inovasinya, mulai dari variasi rokok filter hingga vape. Tidak hanya jenis rokok yang berkembang, namun perubahan sosial dan budaya turut yang mengiringinya.
Di tahun 1965, penikmat kretek tidak hanya laki-laki, melainkan juga perempuan. Rokok tidak memiliki konsekuensi etis maupun moral terhadap jenis kelamin. Perempuan penikmat rokok bukanlah hal tabu di masa itu.
Namun sekarang, rokok menjadi label maskulinitas yang seakan-akan hanya boleh dinikmati oleh laki-laki. Jika dahulu pengetahuan perempuan dibatasi oleh ruang meracik saus rokok, saat ini pengetahuan perempuan yang merokok justru dipertaruhkan melalui label "nakal" dan "liar".
Perempuan yang merokok dinilai telah melanggar batas norma. Dianggap tidak mencerminkan "perempuan" seutuhnya.
Meskipun dalam aspek sosial dan budaya stigma soal rokok dan perempuan terus berkembang, namun ada satu hal yang selalu dipertaruhkan dalam labelisasi di antara keduanya, yakni "pengetahuan".
Entah dahulu atau sekarang, budaya masih membaca perempuan yang memegang rokok adalah perempuan yang jauh dari pengetahuan, terutama karena dianggap tidak memahami nilai etis dalam masyarakat.
Dan hingga hari ini, paradigma sosial dana budaya soal 'kretek' berhasil mengkotak-kotakan citra perempuan dan laki-laki di ruang publik. 'Kretek' menjadi simbol maskulinitas. Tak terkecuali perempuan yang merokok, label maskulinitas itu juga menempel dengan embel-embel "tak mau kalah dengan lelaki".
Terlepas dari pegolakan sosial yang ada, series "Gadis Kretek" sebenarnya membuka mata kita terkait bagaimana seorang perempuan harus bertahan untuk hidup dan pengetahuannya. Karena sebagai manusia, baik lelaki ataupun perempuan, seharusnya tidak ada satu tabir pun yang mampu menyamarkan diri terhadap pengetahuan tentang dunia maupun kemampuan dirinya sendiri.
[Ayu Sugiarti]
KOMENTAR