![]() |
Ilustrasu: Kompas.com |
Saya heran. Masih ada orang yang tidak menghargai jerih payah orang lain yang membanting tulang demi sesuap nasi untuk anak istrinya. Hal ini saya alami dalam perjalanan bus dari Kendal menuju Semarang beberapa waktu lalu. Seorang wanita berpenampilan elite mengenakan perhiasan seperti gelang emas namun enggan membayar ongkos bus sesuai tarif yang telah ditentukan. "Wong ayu-ayu kok pelit, ya Allah mbak-mbak. Sakmene entuk opo?" Keluh kondektur.
Wanita itu tidak peduli. Dengan langkah ringan ia turun dari bus, mengabaikan kondektur yang masih mengomel dengan sendirinya. Kejadian ini membuka mata saya bahwa masih ada orang yang tidak menghargai jerih payah orang lain.
Kondisi berlawanan justru terlihat di kalangan publik figur di negeri ini. Mereka yang bekerja hanya untuk menghibur dengan guyonan garing, atau para anggota DPR yang tidur saat rapat mendapatkan upah yang jauh lebih banyak. Padahal pekerjaan mereka tak lebih berat dari pada sopir dan kondektur yang mengantarkan orang-orang dengan selamat menuju tujuan masing-masing.
Bahkan nyawa sopir juga kondektur pun ikut menjadi taruhan. Sedangkan sopir juga kondektur, mereka hidup dengan sederhana, yang pendapatan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari. Batinku, kenapa mbak-mbak yang masih sanggup bekerja dan berpenampilan "wah" itu tak mau memberikan hak orang lain?
Jauh 14 abad lalu, Nabi Muhammad telah memberikan contoh tentang penghargaan atas pekerjaaan orang lain. Nabi Muhammad memerintahkan untuk membayar jerih payah seseorang sebagaimana mestinya. "Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan upahnya, terhadap apa yang dikerjakan." (hadis riwayat al-Baihaqi).
Nabi Muhammad memberikan contoh untuk memberikan upah kepada orang lain sesuai dengan kapasitas dan keahlian yang ia miliki. Nabi Muhammad pun menganjurkan agar memberikan upah tersebut sebelum peluh dari mengering dari dahinya. Hal ini menunjukka tingginya penghargaan Islam terhadap orang lain yang membantu menyelesaikan pekerjaan.
Dalam konteks keindonesiaan, bangsa ini juga memiliki konsep serupa. Konsep tersebut termaktub dalam sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab. Dari sila tersebut terlihat dengan jelas bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan juga keadilan.
Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia,seperti sila kedua dari Pancasila ini sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Nilai-nilai ini muncul sebagai bentuk suatu kesadaran manusia yang tidak bisa berdiri sendiri dan membutuhkan orang lain. Sehingga menuntut manusia untuk mengerti posisi orang lain, memberi ruang untuk berkembang dan tentunya menghargai satu sama lain.
Minimnya penghargaan kepada orang-orang yang melakukan jasa-jasa besar bagi masyarakat ini sekali lagi membuktikan bahwa kita sebagai bangsa Indonesia belum mampu menghargai orang lain dengan benar.
Kepekaan serta kesadaran kita terhadap sesuatu juga sangatlah rendah. Kita tidak pernah tahu seberapa lelah matanya menahan kantuk, seberapa pegal tangan, kaki dan pinggangnya dalam posisi tersebut berjam-jam, juga seberapa kuat ia menahan panas dan ketidaknyamanan, serta kita juga tak pernah tahu seberapa besar konsentrasi penuh yang ia lakukan setiap hari untuk menjaga kita dari bahaya.
Mungkin, kita hanya bisa sedikit membalas jasa mereka dengan upah yang sederhana, mungkin kita hanya memperlakukan mereka seperti mesin, atau mungkin kita malah tak menganggap mereka orang yang penting sama sekali.
Teringat dengan salah satu perkataan Oscar Wilde dalam The Soul of Man Under Socialism, "...it is much more easy to have sympathy with suffering than it is to have sympathy with thought." Adalah lebih mudah untuk bersimpati kepada penderitaan daripada bersimpati kepada pemikiran.
Pada akhirnya, “Hukumku adalah aku mau, bukan kau harus,” begitulah kata Nietzsche. Lalu, sudah sejauh manakah kemanusiaan kita? Masih sempatkah kita merenungi apa yang telah kita lakukan? [Fatih]
KOMENTAR