Empat tahun berada di tanah rantau, di sebuah kota metropolitan, membuat seorang pemuda lupa akan jatidirinya sebagai seorang putra daerah. Ia lupa cara berbaur dengan tetangga, teman sebaya, bahkan kepada sanak saudara. Gaya hidup kota telah mengubah banyak hal dalam kehidupannya. Terutama cara berpikirnya, caranya memandang suatu permasalan yang sama sekali berbeda ketika pertama kali meninggalkan tanah kelahirannya.
Pemuda itu enggan pulang kembali ke desa, sebab ia memandang teman sepermainannya sewaktu SD dulu tak lagi asyik diajak bercengkerama. Dongeng orangtuanya yang selalu mengantarkan tidurnya pun tak lagi mampu membuat matanya terpejam. Ia merasa asing di rumah sendiri. Rutinitas "pulang" ke rumah yang selalu ia nantikan ketika masih duduk di bangku sekolah tak lagi menarik baginya.
Pemuda itu tak lagi bisa menyatu dengan lingkungan yang menjadi tanah kelahirannya. "Aku ingin pulang kembali ke kota," begitu pikirnya.
Memang begitulah hebatnya tanah rantau, membuat generasi yang diharapkan mampu membawa perubahan di tanah kelahiran menjadi enggan untuk pulang. Tak percaya? Contoh saja Malin Kundang yang lupa daratan, bahkan lupa kepada ibunda yang telah melahirkannya karena terlalu silau dengan hingar-bingar tanah rantau. Malin Kundang tak lagi bisa mengartikan kata "pulang", ia menjadi pribadi yang angkuh.
Padahal jika mereka berdua mau memandang lebih jauh dan luas, baik pemuda maupun Malin Kundang berpeluang untuk membuat tanah kelahirannya menjadi lebih sejahtera. Pastinya dengan segudang ilmu dan cara pandang baru yang mereka dapatkan di tanah rantau. Sayangnya mereka berdua tak lagi memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap potensi yang bisa dikembangkan di tanah kelahirannya.
Memang terasa aneh, ketika di satu sisi mereka dengan gigih membangun dan memperjuangkan wilayah orang lain, di sisi lain tanah kelahiran mereka sendiri dibiarkan terbengkalai.
Padahal mereka bisa menjadi orang hebat berkat arahan dan bimbingan dari "orang tua" semasa ia masih kecil. Bimbingan dan arahan itu menjadi sikap dasar yang melekat di setiap ucap dan lakunya. "Orang tua" bukan hanya tentang ayah dan ibu, atau pun kakek dan nenek. Melainkan mencakup semua entitas yang telah memberikan pelajaran berharga dalam kehidupan seorang manusia.
"Orang tua" itu bisa berupa pohon, sungai, sawah, tetangga, bahkan anak-anak sekalipun. Dari merekalah pemuda itu tahu tentang betapa luasnya dunia, sehingga ia tertarik untuk menjelajahinya.
Awal petualangan berkeliling dunia memang terasa sulit, menantang, serta membawa sejuta harapan. Namun empat tahun berselang, pemuda itu menyadari bahwa satu hal yang lebih sulit dari hal itu ialah "pulang". Memang bukan satu perkara yang mudah, tapi setiap anak rantau harus menyadari bahwa akan tiba waktu baginya untuk "pulang".
Menyatu kembali dengan pepohonan yang tak lagi serindang ketika pertama kali ia meninggalkan tanah kelahiran. Bersua dengan orangtua dan tetangga yang mulai menua. Berkenalan dengan anak-anak kecil yang entah itu anak siapa. Bercengkerama dengan teman sebaya sambil asyik bernostalgia.
Satu permasalahan timbul ketika pemuda itu tak lagi bisa bergaul dengan lingkungan sekitarnya. Satu hal yang pasti akan ia alami, penolakan dan pengasingan. Ia gagal menjalankan tugas terakhirnya sebagai anak rantau, ia gagal memulangkan dirinya kembali kepada kampung halamannya.
Hingga akhirnya ia berputar arah, memilih jalan pulang kembali ke kota.
"Pulang". Masihkah kau anggap remeh satu kata itu? [Nashokha]
KOMENTAR