
Lebaran atau hari raya Idulfitri menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh muslim di seluruh dunia setelah sebelumnya melaksanakan kewajiban puasa selama satu bulan. Di Indonesia, setiap daerah memiliki tradisi yang unik untuk memeriahkan hari raya. Euforia lebaran di kota-kota besar pun berbeda-beda. Salah satu faktor pembentuknya ialah budaya.
Terdapat keragaman budaya dalam menyambut lebaran di berbagai kota di Indonesia. Di daerah Banyuwangi, Jawa Timur misalnya. Berdasarkan majalah Terang Boelan tahun 1954, masyarakat Banyuwangi terutama orang Osing melakukan perayaan di jalan pada sore hari hingga Maghrib tiba. Mereka menggelar arak-arakan dengan menghias kendaraan yang mereka gunakan. Para perempuan dan anak kecil yang melakukan arak-arakan, sedangkan para pemuda berjejer di pinggir jalan. Setelah acara ini, biasanya banyak pertunangan yang terjadi.
Dalam majalah tersebut tidak disebutkan sejak kapan tradisi ini dimulai, tetapi dijelaskan kenapa memiliki tradisi tersebut. Tercacat bahwa orang Osing patuh terhadap agama. Dalam kesehariannya, mereka memiliki batasan pergaulan yang sangat keras antara laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu, para orangtua mencari waktu yang tepat untuk mempertemukan antara lelaki dan perempuan. Tak sedikit juga yang melanjutkan pernikahan setelah lebaran. Karena bulan Syawal adalah bulan yang baik untuk melaksanakan pernikahan.
Sedangkan di Jakarta, setelah Isya' sebelum lebaran, suara bedug tidak berhenti. Para anak-anak saling merebutkan pengeras suara untuk mengumandangkan takbir dan para orang tua menyiapkan ruang tamu dan baju baru. Di hari sebelumnya, orang Jakarta mengecat rumah, belanja ke pasar memenuhi kebutuhan setelah lebaran, karena biasanya pasar tutup.
Baca Juga: Hari Raya, Rokok, dan Anak-anak
Orang-orang berebut bahan untuk membuat ketupat. Dalam majalah Nasional, Juli 1951 tertulis lebaran tanpa ketupat tidak terjadi di Jakarta. Saat hari raya, masyarakat berduyun-duyun salat Id di lapangan Banteng bersama pak Soekarno. Semua jalanan sepi lengang, kembali ramai ketika salat telah selesai. Penduduk keluar rumah dengan pakaian baru, penduduk pasar ikan mengunjungi kerabatnya dengan menggunakan perahu dan membawa makanan khas (dodol dan kue). Kemudian mereka akan berkata "sale-sale kate meminta diampunin".
Bagi pemuda yang ingin mencari jodoh, bisa pergi ke Gedung Arca, sekarang biasa dikenal dengan Museum Nasional, dulu disebut "gedung jodoh" kemudian para remaja pergi ke pantai Cilincing.
Berbeda dengan di Blitar, Jawa Timur. Dalam tulisan Soebagijo Ilham Notodidjojo yang termuat dalam majalah Terang Boelan edisi lebaran tahun 1955, ia mengatakan masyarakat Blitar mengirim surat atau kartu ucapan tentang permohonan maaf dan ucapan selamat hari raya kepada keluarga sebagai pengganti kehadiran. Orang-orang Blitar juga melakukan ritual mencium tangan dan meminta maaf kepada orangtua. Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh anak, tetapi juga para cucu dan cicit.
Kehadiran kerabat jauh mempererat tali persaudaraan. Momen ini dilakukan para orangtua untuk menjelasakan silsilah keluarga. Blitar juga memiliki tradisi 'Rampoga' (ramai-ramai membunuh harimau dengan tombak). Tradisi ini sudah ada semenjak abad ke-19 di alun-alun kota. Kemudian tradisi tersebut dilarang oleh kolonial dengan asumsi masyarakat pribumi menjadi pemberani.
Baca Juga: Merayakan Hari Valentine yang Islami?
Surabaya juga memiliki cerita tersendiri dalam menyambut lebaran. Menjelang hari raya, bunyi petasan terdengar tiga kali. Kemudian gema takbir terdengar bertebaran di seluruh Surabaya. Selanjutnya, para orang tua dan perempuan keluar menyebar kembang sesaji.
Djumala, dalam tulisan yang termuat di majalah Terang Boelan, para ibu-ibu mengundang anak muda yang telah selesai takbir keliling, hanya sekadar untuk mecicipi gulai ayam, kue serabi, apem dan nasi kuning. Hal ini sebagai selamatan penutup. Saat lebaran, kebun binatang di Surabaya dijadikan sebagai tempat untuk berlibur, karena menjadi satu-satunya tempat tamasya pada waktu itu. Orang Surabaya juga mengadakan lomba suara bumbung (petasan yang terbuat dari bambu), yang diisi dengan karbit kemudian dinyalakan dengan api.
Merayakan Lebaran Era Kini
Melihat dari perayaan hari raya Idulfitri zaman dulu di kota-kota besar sebegitu meriahnya, berbeda dengan perayaan Idulfitri zaman sekarang setelah maraknya teknologi dan bebasnya informasi. Semangat merayakan lebaran menjadi berkurang, bisa jadi karena lebih memilih bermain smartphone. Budaya sungkem juga semakin terkikis, orang-orang lebih memilih berfoto bersama dan memamerkan busana yang mereka kenakan.
Penyambutan lebaran pada era sekarang tak lain hanyalah formalitas saja tanpa tahu esensi lebaran itu sendiri. Berkumpul dengan keluarga pun tidak sehangat dulu, yang sebelumnya saling mengenalkan silsilah dalam keluarga, sekarang cukup dengan mengirimkan pesan "Minal Aidin wal Faizin" melalui pesan di media sosial.
Tren seperti ini memang semakin menceruak, karena alasan kepraktisan. Cukup dibuat simpel. Tidak perlu pergi jauh-jauh untuk saling bertegur sapa, yang penting pesan sampai tujuan. Lantas, mungkinkah tradisi lebaran yang sudah ada semenjak dulu akan semakin memudar? Karena manusia semakin terpenjara dalam ruang-ruang virtual. [Safira]
Artikel Lain:
Menengok Sejarah Hari Perempuan Internasional
Pendidikan, Tenaga Kerja, dan Era Ekonomi Kreatif
Cak Lontong dan Kritik Arah Pendidikan Kita
KOMENTAR