Tak sedikit data yang mengungkapkan bahwa minat baca generasi milenial Indonesia "rendah". Salah satunya sebuah penelitian berjudul “Most Littered Nation in the world” yang dipublikasikan oleh Central Connecticut State University, Maret 2016 lalu. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Penelitian lain dari Alvara Research Center menyebutkan bahwa konsumsi internet generasi milenial di Indonesia rata-rata lebih dari 7 jam perhari. Tingkat konsumsi internet yang tinggi membuat generasi muda enggan membaca buku.
Berdasarkan pada penelitian itu, generasi milenial selalu menjadi sasaran judgment saat ada masalah minat baca. Seperti dinamika minat baca di kampus contohnya. Saat mahasiswa tidak bisa menunjukkan referensi buku cetak sebagai dasar argumentasinya, ia langsung dijudge sebagai mahasiswa dengan minat baca rendah.
Tentang hal itu, saya sangat tidak setuju, karena menurut saya memang minat baca milenial masih cukup tinggi. Hal itu saya lihat dari setiap harinya, generasi milenial rajin juga dalam membaca. Membaca informasi di media sosial contohnya, atau membaca banyak hal dalam hidupnya. Sebab bagi saya, membaca tidak hanya tertuju pada sebuah buku saja. Dan yang ada di dalam buku pun sudah banyak yang terungkap di dalam internet sehingga mudah untuk dibaca, khususnya oleh generasi milenial.
Pemerintah Salah Kaprah
Terkait data-data seperti di atas dan alih-alih peduli dengan dunia literasi, pemerintah dan para aktivis literasi melakukan hal-hal yang dianggapnya benar secara satu sisi saja. Saat data mengatakan tingkat minat baca rendah, maka mereka memaksa generasi milenial membaca buku yang mereka anggap sesuai. Mereka beramai-ramai membuat gubug baca, pojok literasi, dan gerakan-gerakan lain agar generasi milenial tertartik membaca buku cetak. Padahal buku yang mereka sarankan banyak yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan generasi saat ini.
Di luar bacaan berupa buku cetak, generasi milenial termasuk golongan yang paling banyak membaca sebagaimana saya katakan. Dalam sehari, generasi milenial membaca ratusan bahkan ribuan informasi. Mereka memanfaatkan smartphone sebagai media untuk memperoleh informasi.
Generasi milenial bagi saya, tidak bisa mendalami buku tebal yang berisi tulisan semua. Apalagi jika buku itu memakai bahasa ilmiah yang susah dipahami, buku menjadi menjenuhkan untuk dibaca. Padahal generasi milenial sekarang lebih menyukai buku yang bersampul menarik. Memiliki gambar yang dikemas dalam tulisan yang indah dan seperti halnya novel, komik, buku sastra, buku tips memasak, atau yang lainya.
Hal itu terjadi karena lingkungan, zaman, dan faktor lain yang membuat generasi milenial menjadi demikian. Sehingga akan sia-sia jika jalan yang ditempuh adalah memaksa untuk menjadi seperti mereka dalam transfer pengetahuan.
Selayaknya, bukan memenuhi judgment akan krisis minat baca, akan tetapi perlu untuk dikembangkan dengan dorongan-dorongan lainya yang sesuai dengan generasi milenial. Seperti adanya dukungan teknologi agar menarik generasi milenial untuk membaca dan menyerap ilmu.
Ada baiknya dalam buku itu mengandung banyak fitur kekinian untuk memudahkan pembacanya mencari arti atau rujukan yang memang harus dimengerti dalam buku itu misal kamus ilmiah, atau kamus lain untuk mendukung dari arti dan pemaknaan kata tersebut.
Problematika Milenial
Masalah dalam membaca, milenial cenderung kesulitan memahami secara mendalam informasi yang dibacanya. Pasalnya, yang membuat hal itu terjadi adalah seperti membanjirnya informasi sehingga milenial kurang fokus atas hal yang dibaca. Inilah salah satu kelemahannya.
Selain itu jika untuk membaca buku, kemasan buku yang penuh dengan tulisan pun tidak cocok lagi dibaca milenial karena membosankan dan menyita waktu. Ini juga satu masalah lagi.
Tentang problem literasi, adalah bukan soal minat baca bagi saya. Akan tetapi proses transfer pengetahuan yang berkemajuan belum terjadi sesuai dengan harapan, karena kita sedang berada di zaman peralihan. Maksudya sedang beradaptasi dengan medium teknologi dan digitalisasi yang belum dapat ditemukan konsepsi literasi yang paling tepat.
Mungkin akan terjadi dan ditemukan konsepsi dalam waktu yang akan datang dengan berbagai konsep untuk meningkatkan minat baca milenial disertai ilmu pengetahuan yang telah difilter dari pemerintah dan aktivis lainnya. Oleh karena itu, stop mengatakan milenial miskin minat baca.
Dalam buku Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Kontemporer mengatakan bahwa generasi milenial saat ini yang candu akan gadgetnya justru memiliki kemampuan berkoneksi secara online, berkolaborasi dengan yang lain merupakan insting alaminya. Generasi milenial ini dikatakan berpotensi akan selalu berinovasi. Hal ini memicu generasi milenial terbukanya ide-ide baru, bahkan bagi mereka, ide baru, temuan baru, dan masa depan baru merupakan hal yang sangat penting.
Namun dalam hal perjuangan literasi ini jika yang diperjuangkan adalah judgment belaka, malahan menutut saya generasi milenial akan semakin benci untuk membaca buku, yang padahal jika milenial ini tiba-tiba ingin membaca buku pun mereka akan membaca buku dengan sendirinya. Saya hawatir kepada orang-orang yang suka judgment itu. Karena terlalu sering menjudge tanpa bijak, maka yang ada hanyalah perjuangannya akan diselimuti kebencian.
Milenial punya cara membacanya sendiri. Mari hadapi proses ini dengan bijak dan tidak terburu-buru untuk menghukumi.
[Sofia Najma]
Artikel Lain:
Kamu Generasi Milenial? Waspada dengan 7 Musuh Besar Dalam Hidupmu Ini
KOMENTAR