gambar: okezone.com |
Melihat tokoh-tokoh referensial mereka seperti Aidit, Tan Malaka, Wiji Thukul, dan masih banyak lagi, yang menggambarkan seorang aktivis sejati. Siapakah yang gondrong? Kalau Bahar bin Smith itu pasti gondrongnya. Saya mahasiswa, aktivis, dan berambut gondrong. Awalnya saya hanya ingin mencoba berambut panjang karena gondrong bagi saya adalah seni. Berangkat dari rasa penasaran saya mantap memanjangkan rambut.
Pasalnya, semenjak kecil hingga sampai masa SMA hampir terus beramput cepak. Berbeda 180 derajat dengan Dilan yang sangat maskulin. Akan tetapi, saya percaya diri saja ketika masih dalam pikiran ingin memanjangkan rambut. Nampaknya dalam perjalanan menuju gondrong, rasa percaya diri itu sangat variatif, mulai dari sangat percaya diri hingga ingin langsung ke Barber untuk memperbaiki penampilan. Saya dilema akan banyak penolakan yang sangat besar dan harus dihadapi. Namun, saya tidak punya banyak data untuk melawan diskriminasi itu. Kayak diskrimasi terhadap perempuan gitu.
Saya pikir, ada satu indikator yang sangat kuat, yakni di mana kondisi sosial memang tidak bisa menerima realita adanya makhluk tuhan dengan ketampanannya harus berambut gondrong. Dan sayangnya perlawanan itu tidak ada, mereka yang gondrong diam membatu, meskipun dalam hati dan keyakinan saya, mereka terus merasakan dilematis begitu besar.
Padahal laki-laki gondrong sudah menunjukan perlawanan dan melawan terhadap stereotip bahwa gondrong itu kumuh, urakan, tak berpendidikan, berandalan, dan segudang kejelekan lainya. Dan yang paling penting, bentuk perlawanan bagi saya yaitu harus melawan rasa rasa gatal yang menggila di kepala. Harus beli shampoo dan vitamin rambut yang wajib di pakai setiap hari itu sangat sulit dan sungguh rumit.
Sedihnya, orang-orang terdekat pun tak mau menerimanya, ada yang bersikap cenderung acuh hingga sangat frontal. Salah satunya saya terima dari orang yang paling dekat dengan saya, mulai dari ibu, kakak, saudara, teman, hingga kekasih. Dengan nada yang cukup tinggi mereka nyeletuk.
"Kamu jelek kalau gondrong!"
"Ini uang untuk pergi ke barber sekarang!"
Mak jleb mak tratap, hancur benteng perlawanan saya. Sesekali saya melawan dengan berargumen sangat panjang, akan tetapi saya tidak bisa melawan ketika dengan Ibu saya sendiri. Karena dalam suatu hadis mengatakan bahwa surga di telapak kaki Ibu dan saya tidak mau kehilangan surga itu.
Faktanya, laki-laki berambut panjang mempunyai historis yang agung, kata sejarawan Asia Tenggara Anthony Reid, berambut gondrong menjadi simbol kekuatan dan kewibawaan pada zaman dulu. Salah satu pejuang Nusantara pun tak sedikit berambut gondrong, seperti Sultan Hasanuddin. Ditambah lagi sosok Gajah Mada juga berambut panjang dan terikat dalam ilustrasinya. Lebih tinggi lagi, Nabi Muhammad dan Yesus pun mempunyai rambut gondrong. Lantas dengan itu saya menjadi bertahan? jawabnya tidak.
Agar disamakan dengan Gajah Mada? tidak juga. Ada hal lain yang lebih "substansial", sehingga menjadikan saya tetap istiqomah berambut gondrong. Mulai dari disamakan dengan Adipati Dolken yang nyatanya ketika saya selfie, ternyata menjadi cemoohan atau bully-an. Lantas saya menjadi 'pede' atau malah lemah? Nyatanya saya biasa saja menghadapi hal itu.
Sebagai laki-laki berambut gondrong, pilihan untuk bertahan itu teramat berat, apalagi setelah pra reformasi ke belakang. Saking beratnya hingga berambut panjang dianggap perbuatan makar terhadap negara. Bahkan zaman dahulu, ada beberapa Universitas dengan tegas menolak menerima mahasiswa yang berambut gondrong. Banyak seniman yang harus mendekam lantaran gondrong dianggap melawan negara.
Hingga di tengah suasana saling tuding masing-masing kubu pendukung calon presiden bahwa kalau lawanya jadi presiden, maka yang terjadi yakni akan kembalinya Indonesia ke zaman "hantu" Orba. Maka, harapan saya muncul calon presiden dengan rambut gondrongnya melawan presiden jancuker yang sudah lebih dahulu memimpin kaumnya dengan gondrong.
Tidak ada alasan di mana harapan saya harus dilawan, karena tidak ada undang-undang yang mengaturnya atau norma agama hingga analisis fashion terhadap laki-laki berambut gondrong hanya untuk menjadi Presiden. Kalaupun ada yang melawan, terus di mana yang katanya tidak mau balik ke zaman orba? Yang katanya pejuang HAM? Hak asasi untuk berambut panjang karena seni benar-benar hidup di alam kebebasan, kok masih saja didiskriminasi?
[Nizar]
KOMENTAR