![]() |
Ilustrasi: Tribun.com |
Banyak orang yang mengaku sebagai mahasiswa namun tidak suka membaca buku. Bahkan beberapa dari mereka tidak mempunyai buku sama sekali, entah dalam bentuk cetak maupun digital. Jika di rata-rata, mahasiswa hanya mampu membaca setengah jam per hari. Itu pun terpaksa dilakukan demi mengerjakan tugas perkuliahan. Mereka lebih senang membaca status WatshApp, Instagram atau media sosial lainnya.
Mahasiswa yang dianggap sebagai kaum intelektual malah menjauhkan dirinya dari buku bacaan. Mereka selalu merasa cukup dengan apa yang dosen telah jelaskan kepadanya. Padahal sudah kita ketahui bahwa buku merupakan salah satu jendela dunia. Meskipun semua wawasan bukan semata berasal dari buku, namun 60 persen ada di dalamnya.
Jika ditanya, mereka selalu mengatakan tidak suka membaca. Bagi mereka membaca menjadi kegiatan yang paling membosankan, membaca buku selalu membuatnya ngantuk. Kalaupun harus membaca, mereka lebih suka membaca novel atau cerpen bergenre roman yang membuat para pembacanya baper, larut dalam perasaan. Seperti itukah kualitas kaum intelektual di negeri ini?
Di sisi lain kampus sebagai sarana menimba ilmu telah menyediakan banyak fasilitas penunjang mahasiswa untuk mencari referensi-referensi yang dibutuhkan berupa perpustakaan fisik maupun perpustakaan digital. Namun sayang, segala kemudahan mengakses literasi tersebut tidak diimbangi dengan semangat membaca.
Sebagian besar, mereka lebih mempedulikan penampilan dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mulai dari make up, tas, sepatu, maupun aksesoris lainnya. Semua itu menggunakan uang hasil kiriman orang tua. Sebagian kecilnya, ada yang menghabiskan untuk sekedar nongkrong atau jalan-jalan keliling kota. Uang yang seharusnya diberi untuk menunjang perkuliahan, namun tidak dipergunakan dengan semestinya. Alhasil, mereka hanya memperoleh kesenangan belaka.
Rendahnya minat baca, sangat berpengaruh pada mutu pendidikan. Seorang yang malas membaca ia akan mempunyai wawasan keilmuan yang sangat sempit. Selain itu, dirinya tidak akan mampu untuk berkompetensi. Berbeda dengan mereka yang punya minat baca tinggi. Ia selalu berpikir ulang, mengenali, memahami, lalu mengimplementasikannya dengan lingkungan sekitar.
Ketika pulang ke kampung halaman dan gelar seorang sarjana telah diraihnya, masyarakat akan bertanya, “apa saja yang telah kamu dapatkan di sana?” Masyarakat menuntut mahasiswa untuk menyalurkan ilmu yang telah didapat selama menjadi seorang mahasiswa. Karena mahasiswa berperan sebagai agen perubahan. Artinya ketika pulang ia harus membuat perubahan pada kampung halamannya.
Namun, kebanyakan dari mereka tidak mampu melakuakan sebuah perubahan. Salah satu penyebabnya, mereka malas membaca dan tidak pernah berbaur dengan lingkungan sekitar. Pengalaman nol, bekalpun tak punya. Alhasil, mereka hanya akan menjadi sarjana drama (duduk diri dalam rumah).
Padahal, persaingan global berlangsung sengit dan akan dengan cepat meninggalkan orang-orang yang tidak berkompetensi dalam bidang tertentu. Masyarakat sekarang diwajibkan untuk menjadi kompetitif, berani, dan mampu bersaing dengan orang lain. Namun apa yang terjadi? Menghadapi warganya saja tidak mampu, apalagi menghadapi dunia. Lalu, intelektual muda seperti apakah yang mampu untuk berkompetisi di era kemajuan ini? Sebagai salah satu intelektual muda, sudah siapkah kamu berkompetisi melawan pesatnya perkembangan zaman? [Laily]
KOMENTAR