gambar: www.tokopedia.com |
Di era milenial, masyarakat merayakan Hari Kebangkitan Nasional dengan mengirim tulisan, gambar, audio, atau video ucapan selamat serta doa yang dikirim secara berantai melalui media sosial. Ini merupakan salah satu kebiasaan masyarakat akademisi pada lingkup komunitas/organisasi di perguruan tinggi, warga kota, hingga membudaya di pedesaan karena menunjukkan simbol kepedulian sosial berbangsa dan bernegara. Namun, mewujudkan kepedulian sosial berbangsa dan bernegara disebut salah kaprah jika sekadar melalui ibu jari di media sosial.
Merayakan Hari Kebangkitan Nasional tidak hanya soal adanya postingan di status, foto profil, twibbon, meme, atau postingan lainnya. Bukan pula menggugurkan kewajiban dengan cara mendirikan monumen, membuat perangko, mencetak kertas-kertas ucapan selamat yang melekat pada papan informasi, atau mendirikan baliho di gedung pemerintahan seantero negeri.
Baca Juga: Menengok Sejarah Hari Perempuan Internasional
Kita ingat bahwa tanggal 20 Mei 1908 merupakan berdirinya organisasi Boedi Oetomo. “Boedi” artinya perangai/tabiat, sedangkan “Oetomo” berarti baik atau luhur. Organisasi Boedi Oetomo merupakan organisasi pemuda pelopor kebangkitan nasional yang memunculkan semangat persatuan dan mencita-citakan kemerdekaan Indonesia.
Ibu jari bisa menyatukan suatu negara asalkan memiliki daya kuasa dan hak instruktif kepada orang banyak untuk memperingati hari kebangkitan nasional. Tapi mendapatkan kekuatan memengaruhi ratusan juta manusia tidak cukup hanya mengandalkan jempol. Seandainya semua manusia sadar arti penting kebangkitan nasional, maka mereka bisa hidup dengan mengaplikasikan strategi produktif seperti pemikiran Psikoanalitik Humanistik Eric Eligmann Fromm yang berusaha keluar dari orbit ayah dan menghubungkan diri dengan dunia secara aktif.
Pendidikan Membangkitkan Persatuan Indonesia
Indonesia, khususnya di Kota Semarang sebagai ibukota Jawa Tengah ikut andil membangkitkan semangat kaum muda dalam mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Hal itu dilakukan agar dapat dijadikan bekal meneruskan estafet kepemimpinan para pahlawan nasional. Mahasiswa aktif di intra atau ekstra kampus melakukan kegiatan-kegiatan positif bagi lingkungan sekitarnya. Mulai dari masalah sosial, ekonomi, politik, lingkungan, kesetaraan gender, inklusivitas, HAM, hoaks, sampai kekerasan perempuan dan anak.
Sayangnya, sebagian masyarakat dan mahasiswa masih enggan berkontribusi nyata untuk kebangkitan negara. Tak jarang terdengar suara mereka masih menunjukkan rasa takut mengambil resiko kegagalan, belum berani berkorban, pesimis dengan apa yang dilakukan, bahkan hanya menggerutu dalam pikiran namun diam dalam sikap konkretnya. Akhirnya, mereka menggunakan Facebook sebagai wadah berbagi tautan, Instagram untuk menunjukkan gambar/video disertai ucapan, atau Twitter untuk ajang meramaikan hashtag.
Produktivitas mahasiswa merupakan salah satu pondasi dalam mewujudkan kebangkitan nasional. Bagaimana caranya setiap individu lebih inovatif membuat program kerja di komunitas/organisasi, agar dapat mendongkrak citra kampus, atau proses sosial suatu kelompok yang dijalani secara maksimal dan sungguh-sungguh. Belajar di kelas lebih terasa manfaatnya jika diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Aksi Nyata
Gotong royong selalu ditanamkan Bung Karno kepada seluruh rakyat
Indonesia hingga anak cicitnya. Kita—pemuda—sebagai calon pemimpin bangsa
sangat dianjurkan untuk mengamalkan gotong royong sebagai bukti cinta tanah
air. Merah putih selalu gagah berkibar di tiang bendera, menyimbolkan kewajiban
kita berjiwa patriotis yang kuat dan tangguh.
Mengingat sejarah pada zaman penjajahan yang belum ada kecanggihan teknologi, pejuang Negara Kesatuan Republik Indonesia berhasil bangkit dari keterpurukan lalu semangat menyatukan bangsa dengan keterbatasan waktu dan alat komunikasi. Rela berkorban meninggalkan keluarga, mengerahkan jiwa dan raga demi kemerdekaan.
Antara dunia maya dan nyata merupakan dua hal yang sangat berbeda. Jika aksi maya menggugurkan semangat kita melakukan aksi nyata, apa bedanya manusia dengan orang yang tak bernyawa? Pencitraan itu penting, tapi bertanggungjawab itu lebih penting. Misalnya, aktif sebagai pegiat isu disabilitas di media sosial sekaligus berperan merealisasikan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Tidak hanya sekadar bunyi-bunyian, apalagi hanya diujung jempol. [Zaenab]
* Penulis adalah mahasiswi jurusan Aqidah dan Filsafat Islam 2016 dan Ketua Lembaga Kesejahteraan Sosial Berbasis Mahasiswa (LKS-BMh)
Artikel Lain:
Pendidikan, Tenaga Kerja, dan Era Ekonomi Kreatif
Cak Lontong dan Kritik Arah Pendidikan Kita
KOMENTAR