Dok. Istimewa |
Malam itu, hujan deras menyelimuti kota Semarang, seolah alam pun ikut menangis bersama kegelisahan yang menyelimuti hati Bayu. Dari balik jendela rumahnya yang berembun, ia menatap kosong ke arah jalanan yang basah dan lengang, tetapi di pikirannya suara gemuruh motor-motor liar terus menggaung. Geng motor yang dipimpin anaknya sendiri, Ardi, semakin meresahkan masyarakat. Suara sirene polisi kini menjadi nyanyian malam yang menyesakkan, memecah keheningan yang pernah ia kenal sebagai ketenangan rumahnya.
Bayu adalah seorang polisi, dikenal tegas dan tak kenal takut di mata rekan-rekannya. Namun, di dalam rumahnya yang sunyi, dia hanyalah seorang ayah yang hatinya terkoyak. Tiap kali ia menerima laporan tentang kekerasan yang dilakukan geng motor Kreak, dadanya terasa berat, seakan ribuan beban menghantam jiwanya. Ardi, anak lelaki yang dulu ia peluk dengan penuh kasih, kini menjadi musuh yang harus ia hadapi di medan tugas. Ia mencoba merasionalisasi semuanya, meyakinkan diri bahwa ini bukan salahnya. Tapi setiap malam, wajah Ardi yang berubah dingin, tawa yang dulu ceria kini terbungkus oleh keangkuhan geng, menghantui setiap benaknya.
“ Apa yang salah? Di mana ia gagal sebagai seorang ayah?” tanya Bayu dalam hati
Kabar tentang geng motor Kreak semakin meresahkan masyarakat. Bayu sering mendapatkan laporan tentang kerusakan, perampokan, bahkan penganiayaan yang mereka lakukan. Sebagai polisi, dia bertanggung jawab untuk menghentikan teror ini. Sebagai ayah, hatinya hancur karena mengetahui bahwa anaknya yang memimpin geng tersebut.
“Para petugas harap kumpul di ruang rapat!” Perintah Bayu kepada seluruh bawahannya.
Baca Juga: [Cerpen] Dering
“Kita akan membahas perihal kreak yang kian berulah dan makin beringas”
“Bagaimana kalau kita makin memperketat pratoli pak?” ucap salah satu polisi.
“Mungkin itu bisa jadi solusi sementara, tapi mengingat banyak teman kita yang sudah menjadi korban keganasan kreak, ada baiknya kita pilih polisi yang benar benar mumpuni untuk pratoli!”
“apakah sudah ada kabar pak mengenai identitas pemimpin kreak tersebut?” tanya salah satu petugas.
“Belum ada, dan perintah dari pusat jika kita belum bisa mengatasi masalah kreak ini maka akan dilakukan tindakan tegas.” Ucap Bayu dengan berat hati berbohong pada para pasukannya.
Tibalah suatu malam, Bayu mencoba menghubungi Ardi secara diam-diam. Mereka bertemu di tempat tersembunyi. Dalam pertemuan itu, Bayu memohon kepada Ardi untuk berhenti dan menyerah, tetapi Ardi yang kini terpengaruh oleh gengnya menolak mentah-mentah. Dia merasa sudah terlalu jauh tenggelam dalam dunia kriminal.
Di sebuah lorong gelap di pinggiran kota, Bayu berdiri menunggu. Hujan rintik-rintik masih mengguyur, menciptakan genangan kecil di jalanan. Dari jauh, suara deru motor semakin mendekat. Ardi muncul, helm hitamnya masih menutupi sebagian wajahnya. Dia turun dari motor dengan langkah angkuh, tetapi ada bayang-bayang keraguan di matanya. Bayu tahu, di balik tatapan dingin itu, masih ada anaknya—meskipun kini terselubung dalam topeng kebencian.
Bayu membuka mulut lebih dulu, suaranya gemetar namun penuh harap.
Bayu: "Ardi... sampai kapan kamu terus begini?"
Baca Juga: Terra Fletus
Ardi tersenyum miring, melepaskan helmnya dengan kasar. Wajahnya tampak gelap, lebih tua dari usia sebenarnya. Dia mendekati ayahnya dengan tatapan tajam.
Ardi: "Kenapa, Ayah? Mau ceramahin aku lagi soal benar dan salah? Dunia ini nggak sesederhana itu."
Bayu menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri meski hatinya bergejolak.
Bayu: "Ini bukan soal benar atau salah, Nak. Ini soal hidupmu, masa depanmu. Aku nggak mau kamu hancur karena geng motor ini."
Ardi mendengus, lalu melangkah mundur. Suaranya semakin keras, penuh kemarahan yang selama ini ia pendam.
Ardi: "Masa depan? Hidupku? Ayah bicara seolah-olah Ayah peduli! Dimana Ayah waktu aku butuh? Waktu Ibu meninggal, Ayah lebih sibuk dengan tugas! Polisi hebat, tapi buat aku... Ayah cuma orang asing."
Kalimat itu menohok Bayu, membuatnya terdiam. Air hujan membasahi wajahnya, menyembunyikan air mata yang mulai mengalir. Ia mencoba meraih tangan Ardi, namun anaknya mundur lagi, menjaga jarak.
Bayu: "Ardi, aku tahu aku salah. Mungkin aku nggak ada buatmu waktu kamu butuh... Tapi sekarang aku di sini. Tolong... berhentilah. Serahkan diri. Aku nggak mau kehilangan kamu juga."
Ardi terdiam, ada percikan emosi yang terpancar di matanya. Namun, dengan cepat ia kembali memasang topeng kerasnya.
Ardi: "Aku udah terlanjur, Ayah. Jalan ini nggak ada mundurnya. Aku udah jadi pemimpin, dan aku nggak bisa kelihatan lemah. Geng ini... udah jadi keluarga aku sekarang."
Bayu menatap anaknya dengan putus asa, suaranya kini penuh kepedihan.
Bayu: "Keluarga? Aku keluarga kamu, Ardi. Aku ayahmu. Keluarga itu bukan mereka yang ngajak kamu hancurin hidup orang lain."
Ardi mengalihkan pandangannya, tak sanggup melihat wajah ayahnya yang penuh luka. Detik-detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan.
Ardi: "Maaf, Ayah. Aku udah terlalu jauh."
Tanpa menunggu jawaban, Ardi kembali menyalakan motornya, meninggalkan Bayu yang berdiri terpaku, menyaksikan bayangan putranya menghilang di kegelapan malam. Bayu hanya bisa berharap, di dalam hati Ardi yang keras, masih ada sedikit ruang untuk cinta yang dulu pernah mereka bagi.
Setelah berbagai upaya damai gagal, Bayu terpaksa memimpin operasi untuk menangkap geng motor Kreak. Ada ketegangan dalam hatinya; ia tahu bahwa suatu saat, ia harus berhadapan langsung dengan anaknya. Di satu sisi, ia seorang polisi yang harus menegakkan hukum, tetapi di sisi lain, ia seorang ayah yang tak ingin kehilangan putranya.
“PAK, TERJADI KERUSUHAN KREAK DI DAERAH PASAR NGALIYAN!!” Seru salah seorang petugas yang melaporkan kejadian.
“Laporan diterima, segara siapkan pasukan dan beritahu markas pusat kita akan melakukan penangkapan malam ini!”
***
Dalam baku tembak dan pengejaran sengit, Bayu dan Ardi akhirnya berhadapan di sebuah gang sempit. Bayu mencoba bicara, memohon Ardi untuk menyerah, tetapi gengsi dan kemarahan Ardi menguasai dirinya.
“Menyerahlah lah nak, kalian sudah terkepung”
“DOOOR” Suara peluru tiba-tiba
Di tengah ketegangan itu, Ardi tanpa sadar menembakkan peluru—peluru yang langsung menembus tubuh ayahnya.
Saat Bayu terjatuh, darah mengalir di jalanan basah. Ardi, yang tadinya diliputi amarah, langsung tersadar akan apa yang telah ia lakukan. Di pangkuannya, ayahnya berusaha tersenyum, walau nyawanya perlahan-lahan hilang. Bayu memegang tangan Ardi dengan lembut, masih dengan tatapan penuh kasih sayang.
Bayu terbaring di jalanan, darah mengalir dari luka tembak di dadanya. Hujan semakin deras, membasahi tubuhnya yang kian lemah. Ardi berlutut di sampingnya, tangannya bergetar memegang tubuh ayahnya yang dingin. Air mata bercampur dengan air hujan di wajahnya, seolah alam turut menangis bersamanya.
Baca Juga: [Cerpen] Cengkeraman Waktu
Ardi: "Ayah... Ayah jangan tinggalkan aku... Aku nggak sengaja... Aku nggak mau ini terjadi!" (suaranya pecah di antara isakan).
Bayu berusaha tersenyum meski kesakitan. Tangannya gemetar saat ia mengangkatnya, mencoba menyentuh pipi Ardi yang basah oleh air mata.
Bayu: "Ardi... nggak apa-apa... Ayah selalu sayang... apapun yang kamu lakukan."
Ardi menggenggam tangan ayahnya erat-erat, menangis semakin keras.
Ardi: "Ayah... maaf... aku... aku salah... aku bodoh... Aku nggak tahu lagi harus gimana tanpa Ayah..."
Bayu menggeleng pelan, matanya mulai tertutup.
Bayu: "Jaga dirimu, Nak... Hidupmu masih panjang..."
Dalam detik-detik terakhirnya, Bayu tersenyum kecil, wajahnya damai. Sedetik kemudian, tubuhnya lemas di pelukan Ardi. Di tengah tangisan yang tak bisa dihentikan, Ardi memeluk ayahnya lebih erat, merasa hampa. Penyesalan yang begitu dalam menghantam jiwanya, dan di malam yang dingin itu, dia menyadari bahwa tak ada yang bisa mengembalikan ayahnya.
Ardi: "Ayah... Maafkan aku... Maafkan aku..."
[Andra Yuditira Haryanto]
KOMENTAR