ADA MAYAT, mayat-mayat malang tanpa darah. Mereka bertebaran di sebuah tanah lapang yang dipenuhi ilalang. Tanahnya lumaya luas, berada di tempat yang strategis, di pinggiran kota, sehingga orang-orang biasa melewatinya.
Meskipun dipenuhi ilalang, banyak orang senang mengunjungi tempat ini. Memiliki hamparan rumput yang luas, tanah yang beken dengan nama “taman ilalang” ini menjadi tempat ikonik untuk memenuhi laman medsos dengan berbagai unggahan video maupun foto yang memanjakan mata.
Ditambah dengan cantiknya langit saat matahari mulai melingsir. Warna jingga yang memukau menghiasi setiap sudut langit. Yang kemudian memudar, digantikan sinar berwarna keperakan saat bulan mulai singgah. Walaupun tidak secerah matahari, terangnya terasa begitu pas menghiasi kanvas bernama langit malam, ditemani kerlipan bintang-bintang kecil seperti kilauan berlian.
Sekarang ini, matahari mulai turun dan tidak lagi berada di atas kepala. Bersamaan dengan itu, semilir angin membawa harum terik matahari dan bau aneh yang terasa manis nan busuk.
“Bau yang aneh,” pikirku.
Rasa penasaran mulai merasuki dan sekarang disinilah aku. Berdiri menghadap pasukan orang mati. Kelewat takut untuk bergerak, kelewat kaget untuk berteriak. Tidak ada darah, tidak ada pula yang hidup. Ya, aku yakin tidak ada yang hidup.
Dengar saja! Tidak ada suara orang bernapas. Setiap satu dari mereka pucat pasi, bibir membiru dan berbusa. Racun,kah? Namun, satu yang pasti. Mereka semua terlihat masih sangat muda.
Aku menelisik, menembus setiap ilalang yang membentang. Daun-daun yang panjang dengan tepi agak tajam cukup membuat kulit manusia gatal dan terluka. Namun, aku tak merasakan apapun. Mungkin karena aku benar-benar ketakutan hingga mati rasa.
Srakk… srakk... srak...
Setiap ilalang membuka jalan, mereka seakan mempersilahkanku untuk melakukan apa saja pada mayat-mayat ini. Kuteliti setiap mayat satu-persatu. Aku tak tahu, kenapa aku melakukannya. Aku tak memeriksa apakah mereka masih hidup, bukan juga mencari tahu identitas mereka.
Aku hanya mencari sebuah wajah.
Wajah yang membuatku berharap pemiliknya ada di sini, aku juga tak tahu mengapa. Kepalaku kosong. Entah bagaimana, sekarang aku ada di sini, hingga menemukan puluhan mayat.
“Sebentar, lalu siapa aku? Nama! Nama? Apakah aku punya nama?”
“Ratih….”, aku mengingat satu nama. Nama itu asing sekaligus familiar.
“Ratih”, ucapku sekali lagi.
Merinding dan marah merasuki setiap jengkal kulit hinga menembus ke ulu hati, sensasi sama ketika membayangkan sebuah wajah yang ingin kucari. Sepertinya itu bukan namaku, pikirku. Lalu siapa?
Perasaan marah tidak kunjung mereda, malah kian memuncak. Lalu kusadari, perasaan ini bukan hanya milikku namun juga milik para mayat ini. Perasaan yang mengundang jeritan, makian, erangan dan rasa sakit. Semua bercampur aduk menjadi satu. Tiba-tiba, terang siang menghilang secepat kilatan petir dan hanya abu-abu yang mewarnai. Persis seperti film lama.
“Ting tong…… “
Terdengar dering pesan masuk dari sebuah telepon, suaranya berasal dari bawah. Ketika kulihat ternyata ada telepon genggam di tanganku. Sejak kapan benda ini ada disini?
Belum sempat membuka apa isi pesan tersebut, terdengar lagi dering yang sama. Lalu berturut-turut dering ini datang bergemuruh dari segala arah. Satu sama lain saling menyaut. Telepon milik siapa? Tidak ada yang hidup disini! Akhirnya kusadari, dering itu berasal dari mayat.
Dering-dering ini bersuara seakan berada di akhir zaman. Seakan-akan takut tidak dapat menyuarakan pendapat mereka. Di dentingan terakhir, suasana kian menyeramkan karena kesenyapan.
Aku terhuyung, kepala dan telinga terasa berat akibat bunyian itu. Kucoba menyeimbangkan badan namun tersandung oleh sesuatu. Mungkin aku tidak sengaja menginjak seonggok mayat. Dan benar, mayat itu adalah seorang remaja laki-laki memakai baju sekolah. Wajahnya familiar dengan rambut hitam legam dengan panjang pas berantakan oleh angin. Mata terpejam, namun terdapat keyakinan di ekspresinya, Keyakinan bersiap untuk mati. Anak laki-laki itu mengenggam telepon seluler di tangannya. Telepon sama seperti yang kugenggam.
“Tunggu, Anak itu….. adalah, Aku?”
***
“Ditemukan Puluhan Mayat Remaja, Diduga Korban Bully” judul sebuah berita di koran tersebut.
Korban-korban itu seumuran anaknya. Kalau benar karena bullying, kenapa teman-temannya tidak ada yang menolong? Kalau anaknya pasti bisa menolong mereka. pikir pria tersebut.
“Ting tong…” terdengar bunyi pesan suara masuk.
“Lo pecundang! Liat aja nanti di sekolah! Lo kalo mati lebih bagus daripada hidup, tolol!”
“Ting tong...” satu pesan masuk dari pengirim yang sama.
“Maaf pa. Salah kirim, tadi bercanda sama temen hehe.”
Ditelepon tersebut terlihat nama pengirimnya, “Ratih”, putri papa.
[Nia Linawati]
KOMENTAR