gambar: pexels.com |
Waktu tidak pernah memberikan kesempatan kepada manusia
untuk hidup bebas. Semua gerak-gerik selalu dikekang. Dia memaksa seluruh
penghuni bumi untuk tunduk dan patuh terhadap kehendaknya. Maka itulah aku
sangat membencinya.
Barangkali
rencana terbodoh dalam hidupku adalah membunuh waktu. Karena aku sadar sebagai
manusia biasa pasti sulit untuk melakukan itu. Aku tidak bisa menyentuh jemari
panjangnya yang terjulur hingga puncak langit tertinggi. Padahal dia sangat
dekat denganku. Akan tetapi, aku tidak pernah menemukan celah untuk
mengalahkannya.
Gelap
membungkus heningnya malam. Rembulan dan gemintang berlomba-lomba menceritakan
dongeng pengantar tidur padaku. Aku membaringkan tubuh pada ranjang di kamarku
yang sempit ini. Mataku tertutup, tanganku tergenggam. Aku berharap dalam tidur
singkatku ini, aku dapat melibas waktu dan bisa mengendalikannya sesuka hatiku.
Sialnya,
lagi-lagi aku kalah. Aku tidak kuat menjawat jemarinya yang panjang. Dalam
tidurku, aku bermimpi bertemu dengannya di sebuah padang pasir yang sangat
panas. Aku kehausan air sehingga tenagaku habis. Aku mencoba mengejarnya, namun
kecepatannya melebihi kilatan cahaya. Hingga akhirnya, aku kembali tersungkur
meratapi kegagalanku dalam menangkap wujudnya yang besar melebihi kepala
Jibril.
Aku terbangun dari tidur malamku. Mataku
mengerjap-ngerjap mencari titik fokusnya. Angin merasuk ke dalam tubuh,
menawarkan embusan yang dapat meredakan gerah setalah aku kelelahan mengejarnya
dalam mimpiku tadi. Aku mengerling kedua telapak tangan, aku menimangnya,
memanglah kecil sekali. Dengan kadar seperti ini, mana mungkin aku bisa
mengalahkannya. Menyentuhnya saja sangat sulit. Justru mungkin jemarinya yang
memiliki panjang beribu-ribu kilometer itulah yang nantinya akan menerkam
tubuhku.
Suara jam
dinding mengalun dengan tegang, menyihir keheningan malam. Tiba-tiba ranjang
tempat tidurku bergoyang-goyang. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tetapi
aku segera duduk dari tempat pembaringanku. Lantas aku melepas selimut dan
jaket yang menyembunyikan tubuh lemas ini.
Gerak badanku
mengikuti tempo irama tempat tidur. Guncangannya semakin kencang dan membuat
kepalaku pusing. Mungkin salah kalau aku menduga ini adalah gempa. Jika memang
ini gempa, anehnya hanya ranjangku saja yang bergerak. Sementara dinding dan
langit-langit rumah masih berdiri kokoh tanpa gerakan sedikit pun.
Rasa takut dan
penasaran menyeruak dalam tubuhku. Mataku menyapu sekeliling ruangan. Semuanya
masih rapi seperti biasanya. Tumpukan buku-buku terhampar di atas meja belajar.
Lemari yang berisi celana dalam serta pakaianku lainnya tetap berdiri tegak.
Poster Eden Hazard yang sedang melakukan selebrasi juga setia terpampang di
dinding kamar.
Aku menghela napas. Tiba-tiba angin berembus
kencang. Aku tidak tahu dari mana angin itu berasal. Sekonyong-konyong, sebuah
kekuatan tak terlihat berputar-putar menyesaki ruangan ini.
“Apa yang
sedang kau pikirkan, Wahai bocah?” suara tak kukenal menyelinap di sela-sela
telingaku.
Aku mencari dari mana sumber suara
tersebut. Sepertinya suara itu bersumber dari jam dinding. Aku memperhatikan
jam itu dengan teliti. Tidak ada yang aneh. Jarum-jarumnya tetap berputar
seperti biasanya.
“Apa yang
sedang kau pikirkan, Wahai bocah?” suara itu terdengar lagi. Aku tertegun,
melonjak kaget. Dan memang benar, suara itu berasal dari jam dinding kamarku.
“Siapa kau?
Mengapa kau bisa berada di dalam jam dinding itu? dengan wajah pucat dan
rasa cemas, bibirku bergetar mengucap kalimat itu.
“Bukankah kau
yang selalu mencariku dan berambisi untuk melenyapkanku?” aku semakin panik
setelah mendengar suara itu.
“Apakah kau
yang bertemu denganku lewat mimpi tadi?” aku menggigit bibir, mencengkeram
seprai ranjang tidur.
“Kau benar.
Dan sekarang kau beruntung bisa bertemu denganku di dunia nyata,” intonasi
suaranya meninggi, membuat hatiku tersentak.
Kepanikanku
semakin menjadi-jadi. Tanganku gemetar memegang bantal. Jantungku berdentang
keras, menggema di sekujur tubuh. Malam terasa mencekam. Angin berembus pelan
membasuh keringatku yang sudah tidak karuan.
Kini aku
berhadapan langsung dengan waktu. Satu lawan satu. Tidak ada yang mengganggu.
Aku sangat panik dan takut. Tetapi ini adalah peluang yang tepat untuk
melibasnya dan menuntaskan semua permainan ini. Aku harus memanfaatkannya
dengan baik.
Lihat saja,
kali ini aku pasti akan mengalahkannya. Aku akan menikamnya, lantas dengan rasa
senang aku bisa mengendalikannya sesuka hati. Dengan itu, maka aku akan membuat
seisi dunia merasa merdeka. Kemudian mereka semua akan menyebutku pahlawan. Dan
tentu namaku akan diagung-agungkan semua orang hingga terkenal ke seluruh
penghuni bumi ini.
“Apa yang
sedang kau pikirkan, Wahai bocah?” pertanyaan itu memecah lamunanku.
Aku terkesiap,
menggeleng-gelengkan kepala. Kini aku tahu apa yang harus kuperbuat. Aku akan
memecahkan jam dinding itu agar wujudnya bisa keluar. Saat ia keluar, aku akan
menggoreskan pisau yang tajam pada jari-jemarinya. Maka dia akan menjadi tak
berdaya di tangan yang geram ini.
Tiba-tiba
angin berlari kencang ke arah jam dinding. Tubuhku tertarik mengikuti arah
angin. Jam dinding itu seolah menyedot tubuhku.
Aku tidak bisa
lagi mengendalikan diriku. Tangan yang besar muncul dari jam dinding. Lalu
tangan itu menarik tubuhku. Aku mencoba mengelaknya. Aku berpegangan erat pada
kasur dan ranjang tidur yang terbuat dari kayu. Tetapi cengkeraman itu begitu
kuat.
Aku sudah
tidak sanggup lagi untuk bertahan. Tangan itu berhasil menguasai tubuhku.
Akhirnya aku pun masuk ke dalam jam dinding yang berdetak tanpa henti. Jam
dinding yang selalu mengingatkanku tentang impian dalam hidup ini telah menalan
tubuhku tanpa sisa.
Dunia telah
berganti. Kehidupan berubah menjadi suram. Aku sekarang tidak berada di kamar
tidurku lagi. Ranjang berantakan, meja belajar dengan tumpukan buku, lemari
pakaian dengan celana dalamku yang berlubang, serta senyum selebrasi Eden
Hazard di dinding kamar sudah lenyap.
Aku sudah
tidak lagi mengenal bumi. Sekarang aku tidak tahu di mana diriku berada.
Sepertinya tangan panjang tadi yang membawaku ke tempat ini. Aku telah tersesat
di duna lain. Berpaling dari hidupku yang sekarang asing.
Aku mengernyitkan
dahi, memperhatikan sekeliling. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah
kekosongan dan kegelapan. Napasku dipenuhi rasa hampa. Sunyi menyanyi menyambut
kedatanganku.
Pada tempat
yang tidak kukenal ini, aku tidak melihat apa-apa. Di sini semuanya tampak kosong. Tak ada bangunan, pepohonan, maupun
cahaya. Barangkali semua mengabur tanpa rupa.
Tiba-tiba aku
teringat dengan waktu. Sial
sekali. Dialah yang menjadi penyebab mengapa aku bisa berada di tempat ini.
“Wahai bocah kecil,” seberkas suara
terdengar mengelilingi tubuhku. Dia kembali hadir. Kedatangannya yang tiba-tiba
selalu membuatku terkejut.
“Di mana, kau? Tunjukanlah dirimu,”
aku memutarkan tubuh, mencari sumber suara.
“Sampai
kapan pun, kau tidak akan pernah bisa melawanku,” tiupan angin membelai
rambutku.
“Aku tidak pernah takut untuk melawanmu,”
tantangku.
Angin bertiup
kencang. Ujung-ujung rambutku berkibar. Tubuhku terombang-ambing ke kanan,
kiri, dan segala arah. Pijakan kakiku tidak sempurna. Tiupan angin ini
membuatku tidak bisa berdiri tegak.
“Hahaha… itu
adalah sebagian kecil dari kekuatanku. Rasakanlah!” suara yang sama terdengar
di tengah-tengah keributan angin.
Sialan. Kalau
begini aku tidak mungkin bisa melawannya. Kekuatannya sangatlah besar.
Sepertinya dia memang tidak terkalahkan. Tetapi kalau dibirakan, dia akan terus
bertindak seenaknya saja terhadap semua mahluk di dunia ini.
“Mengapa,
Bocah? Katanya kau ingin mengalahkanku?” napasku tersengal-sengal menahan
angin.
Aku tidak kuat
lagi melakukan sesuatu. Sampai sejauh ini, hanya kegelapan yang kulihat dan
hanya kekosongan yang kuraih. Wujudnya saja aku tidak tahu. Bagaimana mungkin
aku bisa melawannya. Ah… kondisi ini memanglah sangat buruk. Tetapi aku akan
terus berpikir bagaimana cara mengatasi hal ini.
“Wahai, Bocah,
ada hal yang perlu kau tahu,” dahsyatnya angin perlahan lenyap. “Sampai kapan
pun, aku akan tetap menjadi penguasa. Dan kalian hanyalah bagian terkecil dari
kehendakku,” suara itu semakin dekat.
“Apa maksudmu?
Aku tidak mengerti,”
“Aku melapisi
setiap gerak-gerik manusia. Aku tidak
bisa lepas dari kehidupan dunia. Aku akan selalu berada di dekat
kalian. Tuhan kalian sendiri yang memberikan tugas ini kepadaku. Aku pun berhak
mengatur kalian dengan seleraku. Hal itu karena kalian tidak pernah bisa
mengaturku dengan baik,” kata-kata itu membuatku semakin bingung. Aku tidak
tahu apa yang dimaksud olehnya.
“Dan sekarang,
sudah saatnya aku akan membunuhmu,” tiba-tiba sebuah tangan yang besar
menghempas tubuhku.
Aku terpental
ke belakang sejauh lima meter. Pukulan kuat itu mengakibatkan tubuhku
tergeletak. Badanku remuk redam. Tulang yang ada di bagian punggunggku patah
satu. Aku merintih kesakitan. Bibirku menggigit kosong. Tanganku menggenggam
hampa.
“Rasakanlah
bocah sialan. Itu semua karena kau lalai dalam menggunakanku. Kau tidak bisa
memanfaatkanku dengan baik. Padahal aku selalu ada di dekatmu. Namun kau tak
pernah menganggapku sebagai sesuatu yang penting,” suasana sangat dingin,
kegelapan masih menyelimuti tempat ini.
Aku mencoba untuk bangkit. Rasa sakit di
tubuhku semakin kuat. Badanku sudah babak belur terkena pukulan yang
sangat keras tadi.
“Aaaa…” sebuah
tangan terasa mencekik leherku. Napasku tersengal-sengal. Aku mencoba
melepaskan cengkeraman tangan itu. Tetapi tangan itu sungguh besar sekali.
Kuku-kukunya yang runcing membuat leherku terluka. Darah menetes deras
mengguyur dada dan perutku. Sungguh sakit sekali. Aku tidak kuat menahan
kepedihan ini. Pandanganku mulai mengabur.
Gelap
merundung hidupku yang kosong. Kehampaan semakin memenuhi akhir hidup. Hening
menyeruak dalam jiwa. Tangan waktu mencekik leherku semakin dalam. Darah
mengucur deras dari seluruh tubuhku, membasahi tempat kakiku berpijak.
Tubuhku
terbaring kaku. Darah yang tumpah telah menjadi laut merah. Dunia yang semula
hitam berubah warna akibat rintihan sukma. Jasadku melepas bebas, mengambang di
samudra lepas. Aku hanyut terbawa arus yang tidak lain adalah darahku sendiri.
Waktu terus berputar, menghukum semua manusia yang tidak menghargai waktunya
dengan baik. [Abdul Wahhab]
x
KOMENTAR