"Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusian," (Ali bin Abi Thalib)
Ungkapan Ali bin Abi Thalib di atas patut kita renungkan sebagai pondasi dasar dalam membangun kehidupan beragama. Di tengah maraknya intoleransi yang terjadi di Indonesia, sahabat Ali seolah mengingatkan bahwa perbedaaan keyakinan tidak menjadi alasan untuk saling bermusuhan. Justru dari perbedaan itulah seseorang dapat belajar untuk saling menghormati sesama sehingga terciptalah kehidupan yang harmonis antarumat beragama.
Namun konsep beragama yang disinyalir menjadi jembatan perdamaian tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi di kehidupan nyata. Dalam praktiknya perbedaan justru menjadi hal sentimen yang sering menimbulkan perpecahan dan pertikaian. Fanatisme menjadi topeng buta yang menimbulkan klaim kebenaran atas agamanya sendiri. Sedangkan orang yang tak sepaham dianggap telah menyimpang dan dijadikan sebagai musuh.
Baca Juga: Manifesto Humanisme dalam Beragama
Kasus intoleransi dan diskriminasi dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia tak pernah berakhir. Salah satu peristiwa yang sempat ramai menjadi perbincangan massa yaitu larangan ibadah oleh beberapa warga Graha Prima, Jonggol, Bogor, terhadap jemaat dari Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) pada 20 September lalu, (Tirto.id). Dalam video yang tersebar luas di sosial media, sempat terjadi pula adu mulut antara jemaat Gereja dengan warga setempat.
Bahkan lembaga survei Setara Institute mencatat, sejak tahun politik 2019 hingga 2020 telah terjadi 200 kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB). Hal ini sungguh memprihatinkan karena kebebasan beragama bagi setiap individu menjadi terancam. Korban persekusi yang berasal dari kaum minoritas merasa terasingkan di lingkungan sosialnya. Peristiwa ini mengindikasikan bahwa masyarakat masih belum bisa menghormati hak dan kebebasan beragama.
Baca Juga: Natal dan Kemesraan Umat Beragama di Indonesia
Terjadinya diskriminasi dan persekusi terhadap agama lain dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya daya kritis dan pemahaman seorang dalam menafsirkan dogma-dogma agama, sehingga mereduksi esensi ajaran agama itu sendiri. Kedua, para pemuka agama yang menjadi tokoh sentral seringkali memprovokasi dan membuat pemeluk agama lain terdiskriminasi. Ketiga, terkikisnya rasa kemanusiaan di tengah masyarakat hingga melupakan bahwa sejatinya beragama adalah menunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Meneladani Pluralisme Gus Dur
Indonesia merupakan negara multikultur yang terdiri dari berbagai agama. Konflik karena perbedaan dapat muncul kapan saja. Terlebih ketika momen-momen perayaan hari besar seperti Natal di penghujung tahun ini. Perdebatan tentang hukum bagi umat Islam mengucapkan Natal dan ikut larut dalam merayakan euforianya masih menjadi problem yang belum terselesaikan sampai sekarang.
Baca Juga Pancasila dan Narasi Toleransi di Indonesia
Menanggapi hal ini masyarakat perlu meneladani sosok Gus Dur yang terkenal dengan konsep pluralismenya. Mantan Presiden keempat RI ini tidak terlibat jauh atas pengharaman mengikuti perayaan Natal bagi umat Islam, meskipun ia merupakan ulama yang menjadi tokoh sentral agama Islam. Alih-alih memihak dari salah satu kubu yang saling berseturu, Gus Dur sudah terlebih dahalu memberikan contoh tindakan mengenai permasalahan tersebut.
Hal ini bisa kita lihat ketika Gus Dur hadir pada malam perayaan Natal tingkat nasional di Balai Sidang Senayan pada 27 Desember 1999 pasca dilantik menjadi presiden. Ia seolah memberikan tamparan keras kepada orang-orang yang masih sibuk mendebatkan hitam-putih hukum perayaan Natal. Hal ini dilakukan dengan tujuan menjaga kerukunan antarumat beragama dan demi terwujudnya persatuan Indonesia.
Menurut Gus Dur, merawat toleransi merupakan proses penting untuk menciptakan keharmonisan hubungan antarumat beragama. Perbedaan yang ada harus disikapi dengan bijak agar mampu menciptakan keharmonisan dalam kehidupan. Indonesia diibaratkan sebagai sebuah rumah dengan berbagai kamar. Kamar tersebut mewakili setiap agama yang ada. Namun, ketika setiap orang yang telah keluar kamar kemudian masuk ruang keluarga, penghuni kamar tersebut harus melepaskan atribut dan label-labelnya untuk kemudian duduk melingkar dan bercengkrama layaknya keluarga yang harmonis.
Baca Juga: Agama dalam Pusaran Kaum Minoritas
Konsep pluralisme yang diwariskan Gus Dur mengingatkan kita akan pentingnya merawat persatuan di tengan perbedaan. Agama menjadi pedoman manusia untuk bisa hidup secara harmonis. Pintu ruang dialog antaragama perlu dibuka agar mampu saling memahami satu sama lain serta melahirkan komitmen untuk menegakkan kedamaian dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Perayaan Hari Natal menjadi momentum untuk merenungkan kembali sejauh mana kita menjalankan esensi agama. Tujuan manusia dalam beragama adalah dapat hidup secara damai dan harmonis. Toleransi menjadi kunci utama yang membuat bangsa Indonesia terus bersatu. Maka masing-masing individu harus memiliki kesadaran akan tanggung jawabnya dalam merawat perdamaian di tengah perbedaan. Dengan begitu kita akan benar-benar bisa melihat bagaimana indahnya kerukunan umat beragama di negara yang multikultur ini.
[Agung Rahmat]
KOMENTAR