gambar: bhataramedia.com |
Tegas Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menyatakan tentang pentingnya Pancasila bagi NKRI. Gus Dur merupakan seorang tokoh yang selalu memperjuangkan nilai Pancasila sebagai ideologi negara.
Jika kita menelaah isi Pancasila, kita dapat melihat nilai-nilai toleransi yang kuat, dan inilah yang bisa kita lihat dari Gus Dur. Presiden keempat Indonesia itu menjadi representasi pemimpin yang menghargai berbagai perbedaan, terutama keberagaman suku, agama, dan ras. Beliau juga berani dalam memperjuangkan nilai-nilai pancasila. Salah satu contohnya ketika Gus Dur menjadi presiden RI, beliau berani mendobrak diskriminasi terhadap warga Tionghoa yang terbelenggu selama masa Orde Baru. Di mana, saat itu terdapat salah satu umat Tionghoa yang tidak bisa menikah di Kantor Urusan Agama (KUA), karena agamanya tidak diakui di Indonesia. Sebab itu, Gus Dur berinisiatif mengesahkan Konghucu sebagai salah satu agama di Indonesia.
Jika melihat apa yang telah dilakukan Gus Dur, tentunya kita teringat akan ideologi Bangsa Indonesia, Pancasila. Pancasila berasal dari bahasa sansekerta, panca yang berarti lima sedangkan sila berarti prinsip atau dasar. Pancasila mengalami banyak perombakan dimulai dari diadakan rapat untuk perumusan pada 29 april 194 oleh partai bentukan Pemerintahan Jepang yaitu BPUPKI.
Dalam proses penyusunannya sendiri terdapat cerminan nilai-nilai toleransi. Ketika upacara proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Di mana, utusan dari Indonesia bagian timur menyampaikan keberatan atas sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lalu akhirnya diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” atas usulan Moh. Hatta sesuai hasil perundingan dan persetujuan empat tokoh Islam. Selanjutnya, pada tanggal 18 agustus 1945 PPKI mengesahkan rumusan pancasila dan tercantum pada Instruksi Presiden no. 12 No.12 tahun 1968 tanggal 13 april tahun 1968.
Akan tetapi, saat ini Pancasila mendapat banyak tantangan di tengah perkembangan zaman. Seperti, yang dipaparkan oleh Romo Benny Susetyo, Staff Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), bahwa Pancasila memilik beberapa tantangan, di antaranya.
Pertama, pemahaman Pancasila. Masyarakat mengalami penurunan intensitas dan pembelajaran Pancasila. Karena kurangnya efektivitas dan daya tarik dalam mempelajari Pancasila. Hal ini tidak terlepas dari rendahnya tingkat kedalaman literasi masyarakat Indonesia secara umum.
Kedua adalah eksklusivisme sosial terkait derasnya arus globalisasi sehingga mengarah pada menguatnya kecenderungan politisasi identitas dan menguatnya gejala polarisasi serta frgamentasi sosial yang berbasis SARA.
Ketiga yaitu kesenjangan sosial, karena masih terjadi sentralisasi pembangunan ekonomi pada wilayah tertentu. Selain itu, meluasnya kesenjangan sosial antar pelaku ekonomi dan kebijakan ekonomi yang mengedepankan sektor ekstraktif yang kurang mengembangkan nilai tambah.
Keempat yaitu pelembagaan Pancasila di mana lemahnya institusionalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kelembagaan politik, ekonomi dan budaya serta masih lemahnya wawasan ideologi Pancasila di kalangan penyelenggara negara.
Kelima yaitu keteladanan Pancasila. Masih kurangnya keteladanan dari tokoh-tokoh pemerintahan dan masyarakat. Lalu diperparah dengan semakin maraknya sikap destruktif dengan mengedepankan hal-hal negatif di ruang publik namun kurangnya apresiasi dan insentif terhadap prestasi dan praktik-praktik yang baik.
Berdasarkan tantangan tersebut, Masyarakat Indonesia tentunya perlu mempunyai resistansi dalam menjaga nilai-nila pancasila. Namun, dari realita yang ada, sebagian masyarakat belum mempertahankan, minimal dengan mengamalkan nilai pancasila. Terlihat pada banyak kasus seperti peperangan antar suku, kerusuhan antar pelajar, pelecehan agama maupun seksual, hukum yang tajam ke bawah namun tumpul keatas dan lainnya. Bahkan, di media sosial (medsos). Ramai-ramai orang melakukan perang hastag atau tagar, menyebar ujian kebencian, bahkan saling menghujat di kolom komentar.
Kemudian, pada Sila ke-3 berbunyi “Persatuan Indonesia”. Di mana, dengan latar belakang Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa dengan berbagai bahasa dan perbedaan keyakinan. Artinya, meskipun berbeda latar belakang, masyarakat Indonesia mesti tetap menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan. Sebab itu, jika tidak ada toleransi maka persatuan tidak akan tercapai karena setiap individu mengutamakan kepentingan pribadi.
Pancasila tidak hanya sebuah nama dan lambang, namun merupakan sistem tata nilai yang berlaku bagi masyarakat Indonesia bahkan menjadi landasan ideologis. Nilai-nilai yang ada di dalamnya tentu sesuai dengan kondisi masyarakat multikultural. Karena di dalam Pancasila tercermin berbagai hal, mulai dari kebebasan memeluk agama, berbuat adil terhadap sesama manusia (tidak ada deskriminasi), mengajak untuk bersatu meski berbeda latar belakang. Tentunya semua hal tersebut merupakan dorongan bagi masyarakat Indonesia melakukan toleransi.
Selain itu, meskipun masih ada yang menentang Pancasila dan ingin menggantikannya dengan ideologi lain. Kenyataannya, Pancasila masih bisa bertahan hingga kini. Namun, kemampuan bertahan Pancasila tentunya mesti diimbangi dengan resistansi (pertahanan) dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Bayangkan saja, jika Pancasila berhasil digantikan dengan ideologi lain yang tidak sesuai dengan konteks keindonesiaan, bagaimana keadaan bangsa Indonesia? [Alfi]
KOMENTAR