Kerusuhan di Tanjung Balai masih menyisakan duka bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Hanya karena masalah sepele, yakni teguran seorang warga atas pengeras suara dari sebuah tempat ibadah, namun berujung pada tindakan anarki. Sungguh ironi.
Peristiwa serupa juga terjadi di daerah-daerah lain. Menurut data yang dikeluarkan Setara Institute, selama 2010 setidaknya ada 216 pelanggaran kebebasan beragama yang dibagi dalam 286 bentuk kejadian di berbagai daerah. Salah satunya di Lombok, warga Ahmadiyah mengalami kekerasan luar biasa. Rumah-rumah warga Ahmadiyah di Ketapang, Pulau Lombok, dirusak dan dibakar serta aliran listriknya diputus.
Tak hanya terjadi pada warga Ahmadiyah, kekerasan juga terjadi terhadap minoritas Muslim Syi’ah di Kabupaten Sampang, Madura. Rumah, mushola, hingga madrasah milik warga Syi’ah dibakar pada Desember 2011. Bahkan penyerangan itu terulang kembali pada 26 Agustus 2012 silam.
Rentetan kerusuhan yang terjadi di negeri ini telah mencederai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Kedua landasan negara tersebut mengedapankan sikap toleransi dan saling menghargai sesama umat beragama. Tentunya, sikap intoleransi tersebut berbanding terbalik dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Kekerasan dan perusakan yang terjadi sebab pemahaman beragama yang eksklusif. Suatu sikap yang cenderung menutup diri dari adanya keanekaragaman dalam masyarakat, termasuk dalam beragama. Agama akan terkesan jumud dan kaku. Cara pandang beragama yang demikian, akan membawa pemeluk agama merasa dirinya yang paling benar. Akibatnya, ia akan mudah menyalahkan dan menyesatkan kelompok yang tidak sepaham.
Dengan dalih agama, kelompok ini membabi buta menindas golongan yang dianggap “sesat” dan “menyimpang”. Dengan membawa pentungan, mereka merusak fasilitas pribadi maupun publik bak bangsa Barbar, tanpa etika. Teks-teks suci keagamaan dijadikan sebagai legitimasi dan pembenaran atas tindakan anarkinya. Sungguh ironi, hal itu dilakukan orang-orang yang katanya beragama.
Maka dari itu, perlu adanya rekonstruksi dalam memahami teks-teks keagaman dengan benar. Pemahaman agama yang komprehensif akan menumbuhkan sikap beragama yang inklusif; terbuka dan menghargai keanekaragaman. Dengan demikian, pemeluk agama pasti akan menempatkan agamanya sebagai spirit dan moralitas yang akan selalu membawa panji kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan keadaban. Pendek kata, membentuk pribadi yang toleran.
Pentingnya Toleransi
Transformasi dari intoleransi menjadi toleransi merupakan salah satu ukuran sebuah bangsa yang beradab. Semakin toleran sebuah bangsa, semakin tinggi pula tingkat peradabannya. Oleh karena itu, toleransi merupakan nilai yang harus ditanamkam kepada segenap masyarakatnya.
Menurut Micheal Walzer, sebagaimana dikutip Zuhari Misrawi dalam bukunya Pandangan Muslim Moderat, toleransi sebagai keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik. Sebab, salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai di antara berbagai kelompok masyarakat dari beragam perbedaan latar belakang, kebudayaan, maupun identitas.
Toleransi mampu menumbuhkan dan membentuk kemungkinan-kemungkinan sikap atau action. Misalnya, sikap untuk menerima perbedaan, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi orang lain, serta antusias mendukung perbedaan sudut pandang dan keberagaman ciptaan Tuhan. Toleransi menjadi sebuah keniscayaan bagi Indonesia sebagai negara multikultural, agar kesatuan dan perdamaian tetap bersemi di negeri ini. (In)
Peristiwa serupa juga terjadi di daerah-daerah lain. Menurut data yang dikeluarkan Setara Institute, selama 2010 setidaknya ada 216 pelanggaran kebebasan beragama yang dibagi dalam 286 bentuk kejadian di berbagai daerah. Salah satunya di Lombok, warga Ahmadiyah mengalami kekerasan luar biasa. Rumah-rumah warga Ahmadiyah di Ketapang, Pulau Lombok, dirusak dan dibakar serta aliran listriknya diputus.
Tak hanya terjadi pada warga Ahmadiyah, kekerasan juga terjadi terhadap minoritas Muslim Syi’ah di Kabupaten Sampang, Madura. Rumah, mushola, hingga madrasah milik warga Syi’ah dibakar pada Desember 2011. Bahkan penyerangan itu terulang kembali pada 26 Agustus 2012 silam.
Rentetan kerusuhan yang terjadi di negeri ini telah mencederai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Kedua landasan negara tersebut mengedapankan sikap toleransi dan saling menghargai sesama umat beragama. Tentunya, sikap intoleransi tersebut berbanding terbalik dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Kekerasan dan perusakan yang terjadi sebab pemahaman beragama yang eksklusif. Suatu sikap yang cenderung menutup diri dari adanya keanekaragaman dalam masyarakat, termasuk dalam beragama. Agama akan terkesan jumud dan kaku. Cara pandang beragama yang demikian, akan membawa pemeluk agama merasa dirinya yang paling benar. Akibatnya, ia akan mudah menyalahkan dan menyesatkan kelompok yang tidak sepaham.
Dengan dalih agama, kelompok ini membabi buta menindas golongan yang dianggap “sesat” dan “menyimpang”. Dengan membawa pentungan, mereka merusak fasilitas pribadi maupun publik bak bangsa Barbar, tanpa etika. Teks-teks suci keagamaan dijadikan sebagai legitimasi dan pembenaran atas tindakan anarkinya. Sungguh ironi, hal itu dilakukan orang-orang yang katanya beragama.
Maka dari itu, perlu adanya rekonstruksi dalam memahami teks-teks keagaman dengan benar. Pemahaman agama yang komprehensif akan menumbuhkan sikap beragama yang inklusif; terbuka dan menghargai keanekaragaman. Dengan demikian, pemeluk agama pasti akan menempatkan agamanya sebagai spirit dan moralitas yang akan selalu membawa panji kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan keadaban. Pendek kata, membentuk pribadi yang toleran.
Pentingnya Toleransi
Transformasi dari intoleransi menjadi toleransi merupakan salah satu ukuran sebuah bangsa yang beradab. Semakin toleran sebuah bangsa, semakin tinggi pula tingkat peradabannya. Oleh karena itu, toleransi merupakan nilai yang harus ditanamkam kepada segenap masyarakatnya.
Menurut Micheal Walzer, sebagaimana dikutip Zuhari Misrawi dalam bukunya Pandangan Muslim Moderat, toleransi sebagai keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik. Sebab, salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai di antara berbagai kelompok masyarakat dari beragam perbedaan latar belakang, kebudayaan, maupun identitas.
Toleransi mampu menumbuhkan dan membentuk kemungkinan-kemungkinan sikap atau action. Misalnya, sikap untuk menerima perbedaan, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi orang lain, serta antusias mendukung perbedaan sudut pandang dan keberagaman ciptaan Tuhan. Toleransi menjadi sebuah keniscayaan bagi Indonesia sebagai negara multikultural, agar kesatuan dan perdamaian tetap bersemi di negeri ini. (In)
KOMENTAR