TINDAKAN persekusi terhadap kelompok agama minoritas menjadi permasalahan yang tidak pernah selesai di negeri ini. Kali ini menimpa aliran Ahmadiyah setelah Pemkab Tasikmalaya melalui Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan Dalam Masyarakat (Bakorpakem) berupaya menyegel Masjid Al- Aqso pada 4 April 2020. Bakorpakem memaksa menyegel Masjid Al- Aqso milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia Tasikmalaya dengan membawa SKB pelarangan renovasi masjid dan pelarangan kegiatan di wilayah tersebut, (Liputan6.com).
Dalam perjalanannya, Ahmadiyah memang tidak pernah berhenti mendapatkan persekusi. Seringkali dianggap sebagai kelompok Islam yang menyimpang dan sesat. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah menyatakan bahwa Ahmadiyah dapat digolongkan sebagai kelompok non muslim. Sementata orang yang mengikutinya termasuk murtad atau keluar dari Islam. MUI juga pernah berupaya untuk membubarkan Ahmadiyah karena mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad.
Tidak hanya Ahmadiyah, di Indonesia amat banyak aliran kepercayaan yang memiliki nasib serupa. Di antara ajaran yang pernah dianggap sesat yakni Inkar Sunnah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Budha Budhi, Gafatar, Satrio Piningit dan masih banyak lagi. Spekukasi itu dapat berakibat pada kriminalitas dalam beragama. Riset Setara Institute mencatat, terdapat 846 insiden pelanggaran hak beragama dan berkeyakinan dengan 1060 tindakan selama November 2014 sampai Oktober 2019. Jika dirata-rata terjadi 14 peristiwa dengan 18 tindakan setiap bulan.
Baca Juga: Konflik Agama yang Tidak Pernah Selesai
Terjadinya fenomena tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya pemahaman seseorang dalam mengkaji dogma-dogma agama. Kedua, fanatisme buta yang dapat menimbulkan kliam kebenaran atas agama pribadi dan kebencian terhadap kelompok agama lain. Selain itu juga disebabkan karena tertutupnya ruang dialog antaragama atau kepercayaan yang berujung pada sikap intoleransi.
Berbagai konflik di negeri ini sungguh menjadi problem yang ironis nan dilematis. Pasalnya Indonesia adalah negara konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dalam Pasal 29 UUD 1945 ayat 2 menyebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Tetapi fakta yang terjadi justru sebaliknya. Peristiwa di atas menjadi contoh pudarnya nilai-nilai agama dalam kehidupan manusia.
Esensi Beragama
Agama hadir di muka bumi sebagai petunjuk dan pedoman manusia dalam menjalani kehidupan. Manusia yang beragama idealnya memiliki keluruhan moral serta hidup sesuai dengan tatanan norma dan etika yang berlaku di tengah masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai adalah terwujudnya kehidupan yang lebih damai dan harmonis.
Baca Juga: Agamaku adalah Politik
Namun pada sisi lain, agama dapat menjadi bumerang. Banyak orang yang menggunakan agama demi kepentingan dan tujuan tertentu. Agama dijadikan komoditas dan legitimasi dalam praktik kehidupan sosial. Sehingga lazim terjadi konflik yang dilakukan manusia dengan mengatasnamakan agama.
Kondisi inilah yang disebut filsuf Jerman, Karl Marx, bahwa agama adalah candu. Krisis kemanusiaan terjadi karena sesat nalar dalam beragama. Nilai-nilai humanis yang menjadi esensi agama kian raib. Spirit perdamaian melebur hanya karena perbedaan dan saling klaim kebenaran.
Dalam kondisi krisis seperti ini, manusia perlu menghayati dan memahami kembali nilai-nilai agama sebagai petunjuk dan jalan damai. Hal itu yang nantinya akan mengantarkan kepada dialog dan interaksi antaragama. Sehingga dapat terhindar dari spekulasi buruk terhadap agama lain. Sebagaimana kata Hans Kung, “Tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama, tak ada perdamaian antaragama tanpa dialog antaragama, dan tak ada dialog antaragama tanpa mengkaji fondasi agama-agama.”
Belajar Toleransi dari Nabi
Agama tidak hanya perihal hubungan manusia dengan Tuhan (teosentris), melainkan juga dengan sesama manusia (antroposentris). Nabi Muhammad telah mempraktikkan hal tersebut saat berinteraksi dengan pemeluk agama lain di Kota Madinah. Sebagaimana dalam catatan sejarah, Nabi Muhammad pernah memimpin Madinah yang masyarakatnya berasal dari agama dan suku yang berbeda-beda.
Baca Juga: Pembela Tuhan, Pancasila, dan Agama Sipil di Indonesia
Ayang Utriza dalam bukunya Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer menyebutkan, langkah pertama yang dilakukan nabi ketika sampai di Madinah yaitu menyatukan masyarakat yang multikultur. Salah satu wujudnya adalah terbntuknya Piagam Madinah sebagai janji persatuan. Hingga akhirnya penduduk Madinah hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Semuanya saling menghormati satu sama lain dengan menjunjung tinggi perbedaan.
Harmonisme kehidupan masyarakat Madinah tidak lepas dari peran Nabi Muhammad sebagai kepala negara. Nabi mampu menjadi pemersatu di tengah keberagaman. Merangkul seluruh penduduk Madinah tanpa membedakan latar belakang agama. Maka tidak heran jika sejarawan Amerika Michael Hart menempatkan nama Muhammad sebagai tokoh pertama paling berpengaruh sepanjang sejarah dunia.
Baca Juga: Ketika Pemula Agama Disulap Jadi Pemuka Agama
Dalam hal ini, kita bisa belajar toleransi dari Nabi Muhammad. Di tengah pluralitas bangsa Indonesia, konflik karena perbedaan agama rentan terjadi. Esensi agama sebagai sumber perdamaian dan persatuan di muka bumi haruslah terwujud. Nilai-nilai humanis benar-benar dimiliki setiap pemeluk agama dalam menjalankan kehidupan sosial.
Pada dasarnya, semua agama menghendaki terciptanya perdamaian dan persatuan. Karena seluruh manusia di dunia ini adalah saudara. Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Dia yang bukan saudaramu seiman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.” Sebagai manusia beragama, sudahkah kita menjalankan peran agama dalam mewujudkan perdamaian di muka bumi ini?
[Mahfud]
KOMENTAR