![]() |
Ilustrasi: tribunsantri.com |
Agama hadir untuk menjadi pegangan hidup serta ilmu pengetahuan yang menyelamatkan seseorang dari berlaku buruk. Kesadaran beragama seperti ini akan membawa pada terciptanya nilai-nilai kebajikan atau moralitas. Sebab, puncak orang beragama adalah kabijaksanaan dan kemanusiaan.
Namun, jika melihat fenomena beragama sekarang, agama sudah keluar dari tujuan utamanya. Agama hanya ditampilkan sebagai luapan nafsu untuk mencaci dan menyerang orang lain.
Pada titik ini, agama malah jauh dari moralitas, hingga mampu membunuh kesadaran manusia untuk berbuat bijak. Beginilah, agama jika dikuasai orang-orang yang "dungu" dalam beragama dan tidak jelas kapasitas keilmuannya.
Benar apa yang dulu pernah dikatakan Gus Dur bahwa akan ada saatnya orang yang tidak pernah belajar di pesantren tetapi mereka dianggap sebagai orang yang alim dan dijadikan rujukan serta panutan. Padahal, kapasitas keilmuannya tidak mumpuni.
Seperti halnya yang terjadi sekarang ini, banyak bermunculan ustadz-ustadz atau penceramah yang berdakwah tanpa ilmu, tanpa sanad keilmuan yang jelas. Berdakwah ngalor ngidul dan mencaci sana sini. Anehnya, tidak sedikit orang yang mengikuti.
Salah satunya ialah Sugi Nur. Seorang penceramah yang akhir-akhir ini viral di medsos gara-gara suka memprovokasi dan sering salah dalam menyebutkan ayat atau pun dalil ketika berdakwah. Ia pun mengaku bahwa dirinya merupakan mantan maling, mantan preman, tidak pernah belajar agama atau mengaji.
Dengan lantang, Sugi Nur berani memahami al-Quran bermodal dengkul. Ia membuat standar kebenaran-kebenaran dalam bergama versinya sendiri, tanpa pijakan berpikir yang logis.
Padahal, Sebagaimana dikatakan Abid al-Jabir, ada tiga standar paradigma berpikir dalam Islam: bayani, irfani dan burhani. Bukan hal yang mudah seseorang menentukan suatu hukum yang kemudian dijadikan standar kebenaran dalam beragama.
Banyak fase yang harus dilewati orang tersebut. Dalil dan akal pikiran manusia harus berjalan seiringan. Lantas, apa yang terjadi jika seorang yang menjadi panutan tak banyak mengerti tentang agama? Rasulullah pernah mengingatkan akan hal ini, siap-siap menunggu kerusakan.
Berdakwah Tanpa Ilmu
Orang berilmu (alim) merupakan syarat utama menjadi seorang pendakwah atau pemuka agama. Jika dakwah itu berdiri atas kebodohan, maka setiap orang akan memberikan hukum hanya bermodalkan dengkul.
Orang seperti ini biasanya akan menjawab segala pertanyaan dengan mudah. Ia seolah-olah tampil laiknya orang yang alim. Bermodalkan sorban, jenggotan atau jubahan sudah dipanggil kiai dan ustadz.
Menurut Gus Mus, fenomena ini sudah kelihatan tanda-tandanya: banyak mufti jadi-jadian, yang bila ditanya apa saja bisa menjawab. Padahal yang begitu itu tanda-tandanya gebleq, bukan tanda orang yang alim. Tandanya orang bodoh itu adalah bila ditanya apa saja, bisa menjawab.
Penulis sering menyaksikan talk show di telivisi. Ukuran jawaban yang dilontarkan mufti KW asal bisa dinalar saja.
Dewasa ini, masyarakat sulit mencari contoh atau teladan. Orang-orang alim seperti Kiai Ma'shum, Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Zainal Abidin dan lain-lain sudah sangat jarang. Akhirnya, wajah Islam kelihatan jelek karena kurang contoh.
Dalam hal ini, Rasulullah sangat menganjurkan untuk pandai dalam memilih dan mengetahui sanad keilmuan secara jelas. Karena jika tidak, maka akan berpotensi tersesat ke jalan yang salah.
Bagi Gus Mus, seorang panutan itu harus berjiwa welas asih, bijaksana dan mampu mengemban kesusahan rakyatnya.
الذين ينظرون إلى الأمة بعين الرØÙ…Ø©
"Mereka yang melihat umatnya dengan pandangan kasih sayang". [Laily]
KOMENTAR