
Hanya ada dua hal tentang 'Agama' kini. Pertama adalah berjalan secara harmonis dengan tatanan masyarakat. Kedua adalah sebuah perseteruan.
Sejarah pernah mencatat, bahwa agama bisa menjadi penjaga moral masyarakat serta kritik penguasa yang dinilai dzalim. Agama bisa menjadi sumber energi luar biasa untuk melakukan perlawanan terhadap rezim korup bahkan despotik.
Di sisi lain, agama bisa berfungsi sebagai politik-kekuasaan, -meskipun bukan esensi secara fungsi- sejak zaman jahiliyah bahkan hingga dewasa ini. Inilah saat sebuah masyarakat latah dan mentah dalam pengetahuaannya tentang agama dan politik.
Pada praktiknya, proses berjalannya agama dan politik oleh lanskap sejarah manusia, agama-politik banyak melakukan persilangan dan hubungan simbiosis mutualisme. Politik menjamin proteksi keamanan agama, sedangkan agama memberi 'legistimasi teologis' untuk melanggengkan kekuasaan politik. Maka, dibandingkan alih-alih saling menjaga, kecenderungan untuk berseteru tampaknya lebih dominan.
Di Indonesia, politisasi agama terlihat ketika pemilihan presiden 17 April lalu, kontestan politik bahkan secara terang-terangan menjadikan agama sebagai senjata untuk suara yang akan diraihnya. Selain itu, kedua pasangan calon presiden menggunakan strategi agama untuk dijadikan tameng politik belaka.
Hal ini dibuktikan, saat kampanye yang dilakukan di masjid-masjid yang seharusnya digunakan sebagai tempat beribadah. Malah menjadi arena kampanye yang isinya saling menghujat satu sama lain dengan tujuan mengalahkan (tirani politik menang-kalah).
Kegiatan itu sontak memaksa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), melalui Rahmat Bagja untuk membuat surat edaran kepada peserta pemilu agar tidak menggunakan rumah ibadah sebagai alat berkampanye. Hal itu sesuai dengan pasal 280 ayat 1-4 tahun 2017, bahwa saat berkampanye tidak boleh melakukan penghasutan atas nama agama, ras, suku, sehingga membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Efek politisasi agama di Indonesia membuat umat Islam menjadi terkotak-kotak. Awal mulanya terjadi pada gerakan 212. Munculnya polarisasi ulama pada pendukung Jokowi dan ulama pendukung Prabowo. Hal ini membuat masyarakat bimbang untuk mengikuti ulama yang mana. Sedangkan yang mereka ketahui adalah ulama merupakan satu sosok yang menjadi panutan setelah wali Tuhan.
Politisasi agama dewasa ini telah mengubah wajah agama itu sendiri, terutama Islam. Jika hal ini berlangsung terus-menerus, apakah kesucian Islam di Indonesia akan dipertaruhkan?
Kekecewaan dan Matinya Tuhan
Membaca pergolakan agama dan politik di dalam jalannya sejarah bangsa atau manusia, kita bisa berkaca di Turki tentang politisasi agamanya. Pasca terpilihnya Presiden Recep Tayyip Erdogan, jumlah Ateis meningkat tiga kali lipat. Ahli Teologi di Turki, Cemil Kilic, mengatakan agama digunakan untuk membenarkan politik mereka- mungkin karena meningkatnya skeptisisme seputar kepercayaan pada pemerintah. Turki telah membawa agama ke ranah politik, mulai acara salat hingga khutbah di masjid menggambarkan ritual yang sarat politis daripada agamis.
Hal inilah yang menimbulkan kekecewaan masyarakat Turki dan meragukan Islam yang ada di sana. Mereka tidak menginginkan agama berbentuk kesalehan yang resmi. Mereka juga menolah penafiran Islam yang dominan, sekte, komunitas agama, direktorat agama, dan mereka yang berkuasa. Sehingga, banyak orang Turki yang mengidentifikasikan diri sebagai Ateis. Sedangkan masyarakat muslim yang menjalankan ritual Islam sudah mulai menurun.
Survei terbaru yang dilakukan oleh Konda menemukan, semakin banyak warga Turki yang menyatakan dirinya Ateis. Selama 10 tahun terakhir, jumlah warga yang menganut dan mengamalkan ajaran Islam menurun dari 55 persen menjadi 51 persen. Inilah bentuk kekecewaan yang terjadi terhadap agama yang menyebabkan Ateisme.
Dari praktik politisasi agama yang menyebabkan kegaduhan ditengah masyarakat, itulah pula yang menjadi alasan lahirnya ungkapan 'God is died' oleh Nietzsche. Fanatisme dan ekstrimisme atas agama yang kemudian dijadikan pula sebagai senjata untuk keduniawian semata, yang membuat esensi atau keagungan Tuhan di dalam agama dibunuh oleh manusia.
Dalam bukunya yang berjudul 'the gay science' (ilmu kebahagiaan) Nietzsche bercerita mengenai orang gila yang berteriak-teriak dalam kerumunan mengenai kematian Tuhan. Ia menyebutkan bahwa yang membunuh Tuhan adalah kita sebagai umat manusia. Tanpa membentuk sebuah proyek untuk membunuh Tuhan, Ia menemukan Tuhan telah mati dalam jiwa orang-rang yang hidup di zamannya.
Baginya, dunia science seakan terpasung tanpa ada kemajuan. Agama yang baik adalah yang membuat manusianya maju, menjadi manusia yang unggul (urbermensch). Sedangkan agama menganjurkan sikap manut yang akan menghilangkan bakat individu dan kerumunan masa. Sayangnya kerumunan masa ditujukan pada kepentingan kelompok maupun kepentingan pribadi layaknya politik. Lalu bagaimana nasib Tuhan di masa sekarang ini?
Pembahasan sejarah politik Turki dan kontrofersinya ungkapan Nietzsche di atas, sepertinya bukan dijadikan pelajaran sejarah bagi bangsa ini, yang katanya sebagai bangsa yang beriman dan bermartabat menjadi sebuah bangsa. Ironis. [Firda]
KOMENTAR