
Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid menyebutkan bahwa angka kekerasan atas nama agama di Indonesia meningkat sebesar 110 persen sepanjang tahun 2016. Hal ini menjadi indikasi bahwa konflik atas nama agama di Indonesia menjadi konflik yang tidak akan pernah selesai.
Agama sebagai sebuah dogma memiliki nilai kebenaran paling tinggi. Jika tidak ada rasa saling menghormati di antara perbedaan agama bisa menjadi sumber konflik. Adanya penafsiran ulang terhadap teks-teks agama juga turut menjadi sumber munculnya konflik. Banyak yang menyerukan kebenaran agamanya sendiri dengan menyalahkan agama lain.
Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, konflik atas nama agama di Indonesia terbangun atas pola yang sama. Konflik selalu diawali dengan demonstrasi. Hukum menjadi alasan keresahan masyarakat akibat aksi ini. Termasuk yang terjadi pada mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2016 lalu.
Tidak hanya di Indonesia, konflik atas nama agama juga tiada henti melanda Afrika Tengah. Konflik yang dipicu persaingan antar etnis dan agama yang terus berkembang. Sekertaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Antonio Guterres mengecam seribu pasukan yang membunuh enam pasukan penjaga perdamaian di Bangassou. Senada dengan itu, Perdana Menteri Afrika Tengah Simplice Sarandji mengutuk pelaku penyerangan ini dan memboyong ke ranah hukum.
Afrika tengah memang negara yang lama dilanda konflik sipil. Terutama kekerasan antar umat beragama yang mencuat sejak tahun 2013 lalu. Konflik sipil itu terjadi bermula saat pejuang Muslim Selaka berhasil mengguligkam Presiden Francois Bozize. Dari ini memicu pembunuh balasan oleh kelompok milis Anti-Balaka terhadap umat muslim di negara itu.
Akibat konflik agama, 30 nyawa melayang. Dari kejadian ini, ratusan warga sipil mengungsi ke sebuah masjid di kota Bangassou. Konflik ini terjadi akibat persaingan antar etnis dan agama yang terus meningkat. (CNN Indonesia 11/02/2019)
Konflik Agama Murni atau Konflik atas Nama Agama?
Sejak kapan konflik atas nama agama pertama kali mencuat? Serta kapankah konflik ini akan berakhir? Jauh mundur ke belakang, konflik agama juga pernah terjadi dalam peradaban masyarakat Eropa kuno. Seorang filsuf, Galileo Galilei melalui pengamatan dan penalarannya menyimpulkan bahwa agama dan sains tidak pernah selaras. Akibatnya, selama berabad-abad ia mengasingkan diri dari pergaulan agama. Ia meyakini bahwa agama hanyalah ancaman atas eksistensi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Inilah salah satu tonggak awal dari konflik yang terjadi antara agama dan pengetahuan.
Konflik ini menimbulkan masyarakat terpecah ke dalam kedua kubu. Kelompok pemuja agama serta kelompok yang memuja pengetahuan. Konflik ini memiliki rekam jejak yang panjang. Bahkan menimbulkan adu fisik untuk mempertahankan argumentasi masing-masing. Dalam konteks inilah konflik agama dimaknai sebagai konflik murni antara agama dan pengetahuan. Tidak ternodai oleh kepentingan lain.
Bagaimanakah dengan konflik atas nama agama? Konflik atas nama agama terjadi ketika kelompok yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan agama sebagai kedok untuk mencapai kepentingan kelompok tertentu. Konflik atas nama agama lebih banyak ditunggangi oleh kepentingan ekonomi hingga politik. Masyarakat Indonesia sering terkecoh dan sulit membedakan antara konflik agama murni dengan konflik atas nama agama.
Sosiolog, Max Weber melihat fenomena konflik agama sebagai bagian dari dinamika kehidupan manusia. Ia menawarkan beberapa etika dalam pendekatan konflik. Salah satunya etika ekonomi. Agama akan semakin jelas ditujukan implus-implus aksi praktis yang bersifat psikologis dan pragmatis. Bukan etika ekonomi bila pernah ditentukan semata-mata oleh agama. Determinasi agama juga dipengaruhi oleh faktor-fakor ekonomi. Sehingga konflik atas nama agama tidak bisa dilepaskan dari faktor ekonomi maupun politik.
Selama masih banyak manusia yang berorientasi pada uang dan kekuasaan, konflik atas nama agama akan tetap ada. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rusyd, "Jika kamu ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala sesuatu yang bathil dengan kemasan agama". Analogi inilah yang digunakan oleh kelompok yang tidak bertanggung jawab untuk senantiasa menciptakan konflik baru yang mengatasnamakan agama. Sehingga konflik ini tidak akan pernah berakhir. [Firda]
KOMENTAR