"Dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan."
Begitu kiranya sahabat Ali bin Abi Thalib mengonsep toleransi dalam wadah besar bernama pluralisme. Terlebih di Indonesia yang mengakui enam agama di bawah sebuah kanopi. Tidak ayal, konsep yang erat hubungannya dengan Presiden Ketiga RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini santer diperbincangkan sebagai konsep ideal bagi kehidupan multikultur. Sebab, perbedaan yang ada tidak lebih penting dari kemanusiaan untuk menyongsong peradaban.
Manifestasi konsep tersebut, Gus Dur praktikkan sendiri dalam kehidupan beragama. Dalam perayaan Natal misalnya, diantara banyak orang muslim yang meributkan hitam putih hukum merayakan hari natal, atau sekedar mengucapkan selamat, alih-alih meluruskan, Gus Dur mendatangi perayaan Natal untuk membangun kemesraan dengan umat Nasrani. Hal ini ia lakukan pada malam perayaan Natal tingkat nasional yang digelar di Balai Sidang Senayan pada Senin, 27 Desember 1999 pasca resmi dilantik menjadi presiden.
“Saya adalah seorang yang menyakini kebenaran agama saya. Tetapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat manusia. Sejak kecil itu saya rasakan, walaupun saya tinggal di lingkungan pondok pesantren, hidup di kalangan keluarga kiai. Tetapi tidak pernah sedetik pun saya merasa berbeda dengan yang lain," kata Gus Dur (Kompas, 28/12/1999).
Gus Dur tidak ambil pusing atas pengharaman mengikuti perayaan Natal bagi umat Islam. Baginya, kemerdekaan merayakan atau tidak sepenuhnya diserahkan kepada mereka. Bahkan kalau perlu umat Islam turut bersama merayakan Natal.
Tanpa bermaksud melanggar hukum fikih, keikutsertaan merayakan Natal ini dalam rangka menghormati kelahiran Isa al-Masih (sebutan umat Kristiani) sebagai seorang Nabi Allah. Terlepas dari pengkultusan Isa sebagai Anak Tuhan oleh umat Kristiani, menjadi persoalan lain lagi. Bahwa, hari kelahiran itu memang tetap dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda.
Hal tersebut ia lakukan untuk menjaga kerukunan antar umat beragama. Mengingat pentingnya elemen ini demi terwujudnya persatuan Indonesia. Ia ingin mengajarkan bahwa keimanan bukanlah batas untuk tetap berkemanusiaan. Rasa welas asih selayaknya dilibatkan untuk membangun persaudaraan tanpa memandang "apa agamamu". Seperti halnya keraketan KH. Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus) dan Romo Aloysius Budi Purnomo.
Agustus tahun 2015 beredar foto Romo Aloysius Budi Purnomo tengah memeluk dan mencium tangan Gus Mus. Romo Budi yang tak lain Ketua Hubungan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang tanpa sungkan memeluk dan mencium tangan Gus Mus dalam acara Mata Najwa. Kejadian ini menjadi simbol kerukunan dan persahabatan sejati. Lagi-lagi, perbedaan keimanan tidak menjadi penghambat persaudaraan.
Jauh di atas semua perbedaan, Tuhan tidak pernah memerintahkan hamba-Nya untuk saling menghinakan, apapun agamanya. Sebab untuk mendapatkan angka 100 tidak terbatas pada perkalian 50 dengan 2. Bahwa, untuk mencapai keridhaan Tuhan dapat dilakukan dengan banyak cara tanpa penghakiman.
Lantas, saat ini sejauh manakah kemanusiaan melingkupi ranah keimanan? [Adha]
KOMENTAR