BELUM lama ini, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno mengajak masyarakat berperan aktif dalam menghidupkan kewirausahaan sosial di tengah pandemi corona (Covid-19). Menurutnya, kewirausahaan sosial dapat membantu menggerakkan sektor informal yang saat ini terdampak Covid-19.
"Saya dan rekan-rekan membicarakan bagaimana mengembangkan kewirausahaan sosial. Artinya saling membantu dalam membeli produk-produk masyarakat. Jadi bukan hanya untuk masyarakat yang membutuhkan barang saja, tetapi juga bisa membantu produsen yang butuh dibantu supaya mereka bisa terus berproduksi," ujar Pratikno dalam acara "Santai Sore Bersama Mensesneg dan Najwa Shihab" yang digelar secara daring (02/05/20).
Pernyataan Pratikno seolah menjadi angin segar di tengah kelesuhan ekonomi seperti sekarang ini. Namun, jika dicermati secara lebih mendalam terdapat banyak paradoks dari ungkapannya itu.
Dalam menghadapi pandemi corona sikap masyarakat memang beragam. Hal itu sesuai dengan tingkat ekonomi yang dimiliki. Bagi masyarakat kalangan atas (kaya), pandemi ini tak terlalu berpengaruh terhadap mereka dari sisi ekonomi. Justru, yang dipertontonkan yakni, menimbun kebutuhan pokok untuk tetap di rumah. Ini terjadi tak hanya di Indonesia, namun juga di banyak negara yang terjangkit corona.
Baca Juga: [In Depth] Kuliah Online Mahasiswa Korban Corona
Lalu, bagaimana dengan nasib masyarakat miskin? Pandemi ini nyatanya tidak hanya menghilangkan sumber penghasilan. Di sejumlah kasus, masyarakat mati bukan karena terkena virus, melainkan karena kelaparan.
Seperti yang terjadi dua minggu lalu, dunia maya digemparkan dengan seorang ibu rumah tangga asal Serang, Banten, yang meninggal karena kelaparan. Ia menghembuskan napas terkhir pada (20/04) sekitar pukul 15.09 WIB, setelah menahan lapar dengan hanya minum air galon isi ulang selama dua hari.
Ibu rumah tangga tadi menahan lapar dua hari karena tak ada pemasukan akibat wabah virus corona (Cnnindonesia.com, 21/04). Ia pun meninggal dunia dengan meninggalkan empat orang anaknya, salah satunya masih bayi dan suaminya hanya bekerja sebagai pencari barang rongsokan.
Baca Juga: Ini Cara Pakai Masker yang Benar untuk Cegah Penyebaran Corona
Sejak muncul wabah corona, lapak yang bisa menampung barang rongsokan dari suaminya tutup, sehingga tak ada lagi pendapatan bagi keluarganya. Dengan penghasilan terhenti, suaminya yang sejak wabah corona mengaku belum mendapatkan bantuan sosial dari Pemprov Banten maupun Pemkot Serang, terpaksa harus menahan lapar.
Tak hanya kematian, kasus kelaparan juga menjadi konsumsi informasi yang semakin sering kita dengar saat ini. Sebagai contoh kasus di Polewali Mandar, Sulawesi Barat baru-baru ini. Satu keluarga yang terdiri dari tujuh orang ditemukan dalam kondisi lemas dan kelaparan di rumah kosong di tengah kebun. Dari tujuh orang itu, tiga di antaranya masih balita dan seorang ibu yang sedang hamil besar. (Kompas.com, 30/04).
Hal ini bermula dari seorang buruh di daerah Tolitoli yang kehilangan pekerjaannya karena wabah covid-19. Lantaran tak memiliki uang lagi untuk menyambung hidup, ia berinisiatif meminta bantuan kepada kawan di Polewali. Usahanya sia-sia, karena yang bersangkutan ternyata tidak ada.
Baca Juga: Survive Karantina Hingga Akhir Tahun, Mampukah?
Permasalahan ekonomi di indonesia masih menjadi hal yang belum terselesaikan hingga sekarang. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2019 mencapai 25,14 juta jiwa atau sekitar 9,82% dari total penduduk. Jumlah tersebut dimungkinkan melonjak drastis apalagi dalam kondisi sekarang. Ribuan, bahkan bisa sampai jutaan terancam mengganggur dikarenakan masyarakat Indonesia hari ini mengalami Pemutusan Hak Kerja (PHK) dan dirumahkan tanpa gaji dan pesangon.
Pratikno seperti tidak sadar akan kondisi yang ada. Prioritas masyarakat sekarang bukanlah membeli sovenir atau kebutuhan yang kurang penting dan mendesak. Di tengah pandemi, pemenuhan kebutuhan pokok menjadi hal yang utama ketimbang membeli baju atau oleh-oleh yang tak dibutuhkan.
Sementara itu, ajakan menghidupkan kewirausahaan memang terkesan baik, apalagi dalam hal ini masyarakat menjadi yang terbantu. Namun, problemnya adalah kurangnya pemahaman akan kondisi yang terjadi membuat anjuran ini terlihat kurang tepat.
Baca Juga: 5 Aktivitas Produktif yang Bisa kamu Lakukan Saat Physical Distancing
Lebih paradoks lagi jika pernyataan Pratikno ini dihubungan dengan fakta di lapangan. Ia mendorongan peningkatan kewirausahaan sosial hidup, namun di sisi lain sejumlah atauran baru yang kini terbentuk mengekang hal tersebut. Misalnya, dalam atuaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah, sektor perdagangan seperti toko , swalayan, pedagang kaki lima diminta tak buka lebih dari pukul 20.00 WIB. Jika nekat, ancaman penutupan usaha bisa dilakukan oleh pemerintah.
Di tengah pademi yang kian meluas tentu menjadi permasalahan yang tak bisa dianggap mudah. Tindakan seperti prevent, detect, dan respond nyata harus direlasasikan agar penyebaran bisa dihentikan.
Alih-alih meningkatkan kewirausahaan sosial, pemerintah harusnya lebih fokus dalam menentukan prioritas, mana yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Ada banyak PR yang perlu dikerjakan, seperti jaminan kesehatan yang luas, serta jaring bantuan sosial yang memadai serta tepat sasaran.
Sejujurnya, Indonesia sejak awal memang tak pernah siap menghadapi pandemi ini. Hal itu semakin diperparah dengan pernyataan elit pemerintah yang gagal memahami kondisi di tengah masyarakat.
[Agung Rahmat]
KOMENTAR