PRESIDEN Joko Widodo yakin wabah virus corona (Covid- 19) akan berakhir pada akhir tahun 2020. Ia juga yakin bahwa industri pariwisata akan bertumbuh pesat setelah itu, karena banyak masyarakat yang hanya berdiam diri di rumah selama pandemi Covid-19.
"Saya meyakini ini (Covid-19) hanya sampai akhir tahun. Tahun depan booming di pariwisata. Semua orang pengin keluar semua, orang ingin menikmati kembali keindahan pariwisata, sehingga optimisme itu yang harus terus diangkat," kata Jokowi.
Pernyataan presiden di bulan kedua setelah diumumkannya Indonesia darurat corona, tampaknya terlalu berpolemik. Pasalnya dalam keadaan genting, seolah hanya sektor ekonomi saja yang bermasalah. Padahal dampak dari pandemi corona ini begitu kompleks, mencakup segala aspek kehidupan masyarakat.
Kenapa Jokowi dengan cepat memberikan pernyataan itu, seakan yang terdampak pandemi ini hanya problem ekonomi semata? Jika memang hanya problem ekonomi, mampukah kita bertahan hingga akhir tahun? Sedangkan jika kita lihat realitanya, selain melonjaknya kasus virus, kasus lain seperti kejahatan PHK, dan kasus lainnya juga meningkat.
Jaminan sosial yang seharusnya menjadi penopang, masih belum mampu memberi kejelasan bahwa kita akan bisa survive di beberapa bulan yang berat ini. Kebijakan penanganan seperti physical distancing dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak terlalu berpengaruh dan kurang ampuh menekan kelonjakan kasus Covid-19.
Baca Juga: [In Depth] Kuliah Online Mahasiswa Korban Corona
Jokowi seakan sibuk membahas sektor ekonomi. Hanya dengan dalih semakin bosannya masyarakat mengurung diri di rumah dan mencoba mencari hiburan dengan pergi berwisata di akhir tahun nanti. Padahal, di masyarakat kondisi sudah genting karena sulitnya bertahan hidup.
Jika pun yang diyakini Jokowi benar, terhitung dari pernyataan tersebut dikeluarkan, maka penduduk Indonesia harus bertahan dengan pandemi ini kira-kira tujuh bulan lamanya. Mampukah kita?
Menengok Dunia Internasional
Pandemi menyebar dengan pesat. Beberapa negara dengan kasus sedikit, menyiapkan strategi terbaik untuk mencegah masuknya virus. Sedangkan bagi negara yang sudah terpapar, terus menekan dan tak henti bertahan menghadapi lonjakan kematian akibat corona. Tentu masing-masing negara memiliki strategi tersendiri dengan melihat dari segala aspek. Salah satunya dari segi geografis serta kondisi sosial di suatu negara tersebut.
China sebagai negara yang menjadi pusat awal munculnya pandemi menjadi negara yang melakukan karantina terbesar dalam sejarah penyelesaian virus corona. Sejak akhir Januari, China menutup 16 kota. Kebijakan yang ditetapkan yakni melakukan pembatasan kerumunan, membatai jarak sosial dan memberikan akses keluar hanya untuk membeli makanan dan ke apotik. Selain itu, otoritas keamanan pun dikerahkan untuk menertibkan masyarakat yang bandel.
Virus corona memang menjadi problematika negara secara global. Tidak peduli negara maju atau adidaya, semua terlihat kewalahan menangani virus tersebut. Strategi apa pun yang diterapkan, pada akhirnya hanya mampu menahan dan memperlambat penyebaran. Belum ada solusi terbaru untuk menumpas tuntas.
Baca Juga: 5 Aktivitas Produktif yang Bisa kamu Lakukan Saat Physical Distancing
Kembali ke pertanyaan awal, layak dan etiskah Jokowi mengatakan seperti di atas? Bahwa melihat fakta di lapangan, dalam waktu tiga bulan, kita begitu tidak mudah bertahan. Sedangkan prediksi virus ini akan berakhir hingga akhir tahun, masih delapan bulan lagi.
Setelah Corona
Dalam kurun waktu tiga bulan, virus corona telah menyebar hampir di seluruh belahan bumi. Dampak yang ditimbulkan pun sangat besar bagi umat manusia. Mulai dari resesi ekonomi, perubahan pola aktivitas sosial yang berdampak pada keberlanjutan generasi Indonesia.
Kenapa berbahaya? Dalam kebijakan #stayathome hingga akhir tahun, sesuai ungkapan Jokowi, generasi pada masa pandemi terus dihadapkan pada perubahan sosial-budaya yang drastis. Lebih banyak beraktivitas secara individu serta ketergantungan pada smartphone dan internet.
Baca Juga: Plus-Minus Kuliah Online
Generasi ini, dilansir dari Thinkwithgoogle, memperkenalkan generasi post-milenial yaitu generasi C. Generasi C adalah generasi yang selalu "connecting'' dengan gadget, media sosial, dan teknologi nirkabel yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun tanpa disadari mereka telah terjebak di dalamnya.
Menurut peneliti William Strauss dan Neil Howe yang menulis buku tentang Tren Generasi, istilah "connecting" sebenarnya akan menempatkan generasi C memiliki interaksi yang jauh lebih intens. Sehingga generasi ini bisa dikatakan sebagai penduduk asli dunia maya. Kemudian yang ditakutkan, mereka akan menjadi nihil dalam dunia nyata.
Jebakan Ilusi Virtual
Di tengah pandemi yang menuntut pembatasan sosial, hingga memporak-porandakan dunia nyata, masyakarat, khususnya generasi muda kini terjebak dalam dunia virtual. Di sini, apakah realitas sesungguhnya orang dapat benar-benar menyentuh kenyataan, serta mendapatkan pengalamman yang mampu diketahui serta dipertanggungjawabkan kebenarannya? Ini sangat berbahaya bagi kehidupan selanjutnya.
Jean Baudrillard dalam buku Simulation; Semiotext menjelaskan bahwa manusia modern ini terjebak dalam dunia fantasi, di mana seseorang yang terlalu keasyikan berselancar di dunia maya akan mengabaikan dunia realitas. Tentunya, hal ini berdampak buruk bagi lingkungan sosial.
Orang-orang terlalu sibuk dengan video games, media sosial, dan lain-lain, yang akhirnya mengabaikan pentingnya bersosial dengan manusia lain. Komunkasi tatap muka menjadi renggang, dan yang terburuk yakni hilangnya kesadaran akan realitas. Interaksi sosial tidak lagi menjadi penting pada kehidupan bermasyarakat, sebagaimana identitas kebudayaan kita.
Baca Juga: Ini Cara Pakai Masker yang Benar untuk Cegah Penyebaran Corona
Menyikapi hal ini, yang perlu dilakukan sekarang adalah penyadaran akan dunia hiperealitas yang sedang dijalani. Dalam hal ini, berlaku pula kesadaran akan peleburan realitas-fantasi, yakni saat kita memposisikan diri untuk melihat dari satu sisi lain, sehingga akan dapat mencermati dan memahami persoalan.
Wabah corona adalah ujian yang cukup berat bagi bangsa kita. Jurang realitas semu tersebut dapat mengancam generasi muda penerus bangsa Mampukah Indonesia bertahan menjaga jati diri? Atau justru, hanya menjadi konsumen bisnis dunia connecting? Ironis.
Jika kita tarik lagi melalui ungkapan Jokowi di awal, maka masa depan Indonesia masih hanya dipikirkan dari unsur materi saja. Sedangkan ancaman lain yang dapat tak terkendali seperti generasi penuh ilusi, justru jauh dari pertimbangan pemimpin Indonesia.
[Agung Rahmat]
"Saya meyakini ini (Covid-19) hanya sampai akhir tahun. Tahun depan booming di pariwisata. Semua orang pengin keluar semua, orang ingin menikmati kembali keindahan pariwisata, sehingga optimisme itu yang harus terus diangkat," kata Jokowi.
Pernyataan presiden di bulan kedua setelah diumumkannya Indonesia darurat corona, tampaknya terlalu berpolemik. Pasalnya dalam keadaan genting, seolah hanya sektor ekonomi saja yang bermasalah. Padahal dampak dari pandemi corona ini begitu kompleks, mencakup segala aspek kehidupan masyarakat.
Kenapa Jokowi dengan cepat memberikan pernyataan itu, seakan yang terdampak pandemi ini hanya problem ekonomi semata? Jika memang hanya problem ekonomi, mampukah kita bertahan hingga akhir tahun? Sedangkan jika kita lihat realitanya, selain melonjaknya kasus virus, kasus lain seperti kejahatan PHK, dan kasus lainnya juga meningkat.
Jaminan sosial yang seharusnya menjadi penopang, masih belum mampu memberi kejelasan bahwa kita akan bisa survive di beberapa bulan yang berat ini. Kebijakan penanganan seperti physical distancing dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak terlalu berpengaruh dan kurang ampuh menekan kelonjakan kasus Covid-19.
Baca Juga: [In Depth] Kuliah Online Mahasiswa Korban Corona
Jokowi seakan sibuk membahas sektor ekonomi. Hanya dengan dalih semakin bosannya masyarakat mengurung diri di rumah dan mencoba mencari hiburan dengan pergi berwisata di akhir tahun nanti. Padahal, di masyarakat kondisi sudah genting karena sulitnya bertahan hidup.
Jika pun yang diyakini Jokowi benar, terhitung dari pernyataan tersebut dikeluarkan, maka penduduk Indonesia harus bertahan dengan pandemi ini kira-kira tujuh bulan lamanya. Mampukah kita?
Menengok Dunia Internasional
Pandemi menyebar dengan pesat. Beberapa negara dengan kasus sedikit, menyiapkan strategi terbaik untuk mencegah masuknya virus. Sedangkan bagi negara yang sudah terpapar, terus menekan dan tak henti bertahan menghadapi lonjakan kematian akibat corona. Tentu masing-masing negara memiliki strategi tersendiri dengan melihat dari segala aspek. Salah satunya dari segi geografis serta kondisi sosial di suatu negara tersebut.
China sebagai negara yang menjadi pusat awal munculnya pandemi menjadi negara yang melakukan karantina terbesar dalam sejarah penyelesaian virus corona. Sejak akhir Januari, China menutup 16 kota. Kebijakan yang ditetapkan yakni melakukan pembatasan kerumunan, membatai jarak sosial dan memberikan akses keluar hanya untuk membeli makanan dan ke apotik. Selain itu, otoritas keamanan pun dikerahkan untuk menertibkan masyarakat yang bandel.
Virus corona memang menjadi problematika negara secara global. Tidak peduli negara maju atau adidaya, semua terlihat kewalahan menangani virus tersebut. Strategi apa pun yang diterapkan, pada akhirnya hanya mampu menahan dan memperlambat penyebaran. Belum ada solusi terbaru untuk menumpas tuntas.
Baca Juga: 5 Aktivitas Produktif yang Bisa kamu Lakukan Saat Physical Distancing
Kembali ke pertanyaan awal, layak dan etiskah Jokowi mengatakan seperti di atas? Bahwa melihat fakta di lapangan, dalam waktu tiga bulan, kita begitu tidak mudah bertahan. Sedangkan prediksi virus ini akan berakhir hingga akhir tahun, masih delapan bulan lagi.
Setelah Corona
Dalam kurun waktu tiga bulan, virus corona telah menyebar hampir di seluruh belahan bumi. Dampak yang ditimbulkan pun sangat besar bagi umat manusia. Mulai dari resesi ekonomi, perubahan pola aktivitas sosial yang berdampak pada keberlanjutan generasi Indonesia.
Kenapa berbahaya? Dalam kebijakan #stayathome hingga akhir tahun, sesuai ungkapan Jokowi, generasi pada masa pandemi terus dihadapkan pada perubahan sosial-budaya yang drastis. Lebih banyak beraktivitas secara individu serta ketergantungan pada smartphone dan internet.
Baca Juga: Plus-Minus Kuliah Online
Generasi ini, dilansir dari Thinkwithgoogle, memperkenalkan generasi post-milenial yaitu generasi C. Generasi C adalah generasi yang selalu "connecting'' dengan gadget, media sosial, dan teknologi nirkabel yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun tanpa disadari mereka telah terjebak di dalamnya.
Menurut peneliti William Strauss dan Neil Howe yang menulis buku tentang Tren Generasi, istilah "connecting" sebenarnya akan menempatkan generasi C memiliki interaksi yang jauh lebih intens. Sehingga generasi ini bisa dikatakan sebagai penduduk asli dunia maya. Kemudian yang ditakutkan, mereka akan menjadi nihil dalam dunia nyata.
Jebakan Ilusi Virtual
Di tengah pandemi yang menuntut pembatasan sosial, hingga memporak-porandakan dunia nyata, masyakarat, khususnya generasi muda kini terjebak dalam dunia virtual. Di sini, apakah realitas sesungguhnya orang dapat benar-benar menyentuh kenyataan, serta mendapatkan pengalamman yang mampu diketahui serta dipertanggungjawabkan kebenarannya? Ini sangat berbahaya bagi kehidupan selanjutnya.
Jean Baudrillard dalam buku Simulation; Semiotext menjelaskan bahwa manusia modern ini terjebak dalam dunia fantasi, di mana seseorang yang terlalu keasyikan berselancar di dunia maya akan mengabaikan dunia realitas. Tentunya, hal ini berdampak buruk bagi lingkungan sosial.
Orang-orang terlalu sibuk dengan video games, media sosial, dan lain-lain, yang akhirnya mengabaikan pentingnya bersosial dengan manusia lain. Komunkasi tatap muka menjadi renggang, dan yang terburuk yakni hilangnya kesadaran akan realitas. Interaksi sosial tidak lagi menjadi penting pada kehidupan bermasyarakat, sebagaimana identitas kebudayaan kita.
Baca Juga: Ini Cara Pakai Masker yang Benar untuk Cegah Penyebaran Corona
Menyikapi hal ini, yang perlu dilakukan sekarang adalah penyadaran akan dunia hiperealitas yang sedang dijalani. Dalam hal ini, berlaku pula kesadaran akan peleburan realitas-fantasi, yakni saat kita memposisikan diri untuk melihat dari satu sisi lain, sehingga akan dapat mencermati dan memahami persoalan.
Wabah corona adalah ujian yang cukup berat bagi bangsa kita. Jurang realitas semu tersebut dapat mengancam generasi muda penerus bangsa Mampukah Indonesia bertahan menjaga jati diri? Atau justru, hanya menjadi konsumen bisnis dunia connecting? Ironis.
Jika kita tarik lagi melalui ungkapan Jokowi di awal, maka masa depan Indonesia masih hanya dipikirkan dari unsur materi saja. Sedangkan ancaman lain yang dapat tak terkendali seperti generasi penuh ilusi, justru jauh dari pertimbangan pemimpin Indonesia.
[Agung Rahmat]
KOMENTAR