![]() |
Tirto.id |
Sebelumnya, Fachrul Razi juga pernah menyampaikan pemaparan di kantor Kemenko PMK terkait pelarangan penggunaan cadar dan celana cingkrang dalam instansi pemerintahan (detiknews.com, 31/10/19).
"Kemudian masalah celana cingkrang itu tidak bisa dilarang dari aspek agama karena memang agama pun tidak melarang. Tapi dari aturan pegawai bisa, misalnya di tentara, 'celana kamu kok tinggi begitu? Kamu lihat kan aturan pimpinan di tentara gimana? Kalau kamu tidak bisa mengikuti, keluar kamu!," ujar Fachrul Razi.
Statmen Menag tersebut menuai pro dan kontra. Berbagai elemen masyarakat banyak yang memberi tanggapan. Salah satu pemuka agama, Yusuf Mansur mengatakan wacana peraturan tersebut dapat mengancam ketunggal-ikaan. Menurutnya, menggunakan cadar dan celana cingkrang merupakan pilihan individu dan berkaitan dengan keyakinan masing-masing.
Sebaliknya, Wakil Menteri Agama menanggapi wacana ini secara positif. Ia berpendapat bahwa apa yang disampaikan Fachrul Razi bukanlah suatu hal yang perlu ditanggapi serius. Larangan tersebut hanya sebagai bagian dari tugas pembinaan terhadap Aparat Sipil Negara (ASN) agar mematuhi aturan yang berlaku.
Baca Juga: Agamaku "Kolot dan Mesum"?
Terlepas dari perbedaan perspektif di atas, perlu dipertanyakan siapa yang dimaksud golongan pengguna cadar dan celana cingkrang ini? Melihat di Indonesia ada banyak Ormas Islam yang menggunakan cadar dan celana cingkrang sebagai indentitas bagi alirannya.
Cadar dan celana cingkrang awalnya bukan bentuk identitas asli dari radikalisme itu sendiri. Pelabelan ini bermula ketika banyak kasus terorisme yang tertangkap menggunakan atribut cadar dan celana cingkrang. Kasus yang sama terjadi berulang kali sehingga memunculkan stigma di tengah masyarakat bahwa cadar dan celana cingkrang merupakan identitas dari kelompok radikal.
Fenomena radikalisme sebenarnya bukan lagi isu yang terbarukan. Radikalisme sudah menjadi pembahasan di Indonesia sejak beberapa tahun lalu. Terutama ketika kasus anggapan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok muncul ke permukaan. Bahkan, aksi yang menuntut untuk mengadili Ahok sampai melibatkan banyak masyarakat. Kita akrab menyapanya dengan aksi 212.
Selain kasus Ahok, fenomena bom bunuh diri yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia juga semakin memperkeruh kisruh radikalisme. Salah satunya kasus bom bunuh di Surabaya pada 13-14 Mei 2018 yang melibatkan satu keluarga sebagai pelaku. Selain menewaskan banyak korban (85 orang), kasus ini ramai menjadi perbincangan karena adanya keterlibatan anak-anak dalam menjalankan aksi.
Kasus bom bunuh diri yang paling baru terjadi belum lama ini, yakni pada 13 November 2019 di Palembang. Dalam rekaman CCTV, memperlihatkan seorang pria dengan atribut jaket ojek online mengeksekusi bom bunuh diri di sekitaran kantin Polrestabes Medan. Enam orang dilarikan ke rumah sakit akibat peristiwa ini.
Kasus penyerangan dengan bom pun pernah terjadi di Jakarta pada tahun 2016. Kala itu, sebuah Organisasi Negara Islam Irak dan Syam meledakkan setidaknya enam bom dan penembakan di sekitar Plaza Sarinah, Jakarta Pusat. Kasus ini mengakibatkan depalan orang (empat pelaku dan empat warga sipil) tewas, sedangkan 24 lainnya luka-luka.
Baca Juga: Lebih dari 50 Persen Paham Radikal di Indonesia Tersebar Melalui Internet
Semakin hari, kasus radikalisme semakin menggelora. Sampai-sampai, Jokowi memasukkan upaya derasikalisasi sebagai salah satu program yang darurat untuk diselesaikan. Bahkan, ketika pelantikan menteri dan rapat perdana kabinet periode II, kata "radikalisasi" menjadi poin utama pembahasan.

Apa Makna Radikalisme?
Kata radikalisme yang dipahami di tengah masyarakat nampaknya mengalami reduksi makna. Radikal memiliki kata dasar "radiks" yang bernakna "akar". Dalam kajian kefilsafatan, penggunaan kata radiks sering digunakan untuk merepresentasikan seseorang yang mampu berpikir secara mendalam dan kritis terhadap suatu fenomena.
Sayangnya, kata ini tidak lagi dipahami sebagaimana maknanya. Radikalisme dalam makna baru menurut seorang penulis buku, Hasanudin Abdurakhman, emiliki dua perspektif dalam memandang kelompok yang dianggap berseberangan. Pertama, menganggap kelompok lain sebagai musuh namun cenderung memilih menghindar, tidak mau bergaul, tetapi enggan untuk menyakiti. Ke-dua, perspektif yang menganggap penganut aliran lain sebagai umat yang harus disingkirkan, boleh disakiti, bahkan dibunuh. Makna yang ke-dua inilah yang condok melakukan aksi terorisme.
Baca Juga: Mengejawantahkan Islam yang Islami
Akan tetapi, dalam rapat terbatas dengan Menko Polhukam, Mahfud M.D, Jokowi menolak penggunaan kata radikalisme untuk menamakan tindakan terorisme. Jokowi mendesak untuk menggantinya dengan sebutan "manipulator agama". Menurutnya, manipulator agama lebih tepat untuk merepresentasikan sebuah tindakan kekerasan yang membahayakan kedaulatan negara.
Penggunaan istilah "manipulator agama" nampaknya Jokowi memaknainya dari banyak kasus yang bernuansa religius. Agama seharusnya membawa kedamaian hidup bermasyarakat dan bernegara, bukan sebagai medium perebutan kuasa. Hampir semua kasus terorisme, diagendakan sebagai bentuk suara untuk merealisasikan bentuk negara baru. Sebuah negara Khilafah Islamiyah yang "kaffah".
Polemik yang masih terus memanas terkait peralihan bentuk negara baru ini ialah kasus pembubaran Ormas HTI. Organisasi ini dinilai menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban serta membahayakan keutuhan NKRI. HTI juga dianggap sudah menyalahi kesepakatan dalam usaha untuk mengesahkan organisasinya. Berkas yang diajukan menyebutkan visi misi yang tidak menyekat ideologi negara, akan tetapi berbeda dengan realisasi pelaksanaannya yang justru seperti memporak-porandakan kesatuan negara.
Baca Juga: Jika Pesantren Tidak Ikut Andil dalam Dakwah Virtual
Mengkampanyekan negara khilafah yang diyakini bagian dari menjalankan ajaran syariat Islam. Padahal sudah jelas bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi, berideologi Pancasila, dan berlandaskan UUD 1945. Dalam setiap silanya, Pancasila juga dengan santun menuturkan kepada warga negaranya untuk hidup damai dalam naungan kebhinekaan dan nilai humanistik.
Dalam hal ini, pemaknaan cadar dan celana cingkrang semakin meluas. Lalu, Siapa "Cadar" dan "Celana Cingkrang" yang Dilarang?
Tanpa disadari, munculnya aksi dan pelabelan terhadap kelompok aliran masyarakat muslim memaksa kita untuk saling melabeli satu sama lain. Menghakimi antara yang baik dan buruk, antara yang beriman dan yang kafir. Terlebih mengelompokkan "baik" dan "buruk" hanya dari simbol-simbol yang dikenakan.
Penyebutan "cadar" dan "celana cingkrang" yang ramai diperdebatkan, nampaknya perlu ada penjelasan lebih lanjut. Mengingat tidak hanya satu atau dua saja Ormas Islam yang menggunakan atribut tersebut. Dan tidak semua pengguna atribut tersebut melakukan tindakan-tindakan yang mengancam kedaulatan negara.
Bisa jadi, akan muncul perang antar saudara sekeyakinan karena kasus salah paham dan salah tunjuk. Isu intoleransi akan semakin menyerbak dan persatuan semakin tersekat. Apakah yang bercadar dan bercelan cingkrang? [Agung R]
KOMENTAR