gambar: voxpop.id |
Ada hadis yang berbunyi “Ketika masuk bulan Ramadan maka syaitan-syaitan dibelenggu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup,” (HR Bukhari dan Muslim).
Secara tekstual, hadis di atas memang memiliki makna bahwa setan-setan dibelenggu ketika ramadan. Hal itu berarti, setan tidak bisa menggoda manusia selama bulan ramadan. Tidak mungkin setan yang dibelenggu bisa memberi pengaruh kepada manusia untuk berbuat maksiat. Ibnu Baththal dalam kitab Syarh Sahih Bukhari menjelaskan maksud dari hadis di atas, intensitas godaan setan berkurang dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Lantas, bagaimana bisa maksiat masih merajalela jika setan sudah dibelenggu?
Rupanya bulan Ramadan pun masih banyak setan berkeliaran. Di rumah, di pasar, di mall, bahkan di toilet sekalipun. Ya, setan itu berbentuk manusia, atau manusia yang berhati setan. Bahkan kesetanan manusia bisa jadi melebihi setan itu sendiri. Keburukan-keburukan yang dilakukan manusia seringkali berlebihan dan melewati batas.
Baca Juga: Kenapa Kita Lebih Islami di Waktu Ramadan?
Setan tidak hanya berbentuk fisik. Setan juga bisa berupa makna sifat. Setan itu tertanam kuat dalam diri manusia. Seperti kisah Romeo kepada Juliet, cinta sehidup semati. Hanya waktu yang memisahkan.
Al-Raghib al-Asfahaniy, seorang pakar bahasa, mengutip hadis Nabi saw yang menyatakan bahwa: ”Dengki adalah setan, marah adalah setan.” Sehingga pada akhirnya ia berpendapat bahwa setan merupakan nama bagi segala yang buruk dari sifat manusia. Setan tidak hanya sebatas makhluk, tetapi sifat buruk yang mengakar dalam diri manusia pun juga dapat dikatakan sebagai setan.
Sering kita menjumpai berita-berita kasus pencurian, pembunuhan sampai pemerkosaan di televisi maupun media informasi lainnya. Bahkan di bulan Ramadan sekalipun, berita-berita itu masih ramai menghiasi layar televisi dan kanal media sosial. Sifat setan yang tertanam dalam diri seseorang mengajaknya untuk berbuat sesuai keinginannya. Alhasil, maksiat pun marak terjadi.
Sifat setan yang telah mengakar dalam diri manusia akan menghantui kehidupan seseorang. Di bulan Ramadan sekalipun. Itulah sebabnya maksiat bisa terjadi kapanpun dan di manapun.
Baca Juga: Ramadan Bulan Bercermin
Tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya. Ujaran kebencian atau hatespeech terus menghiasi dinding media sosial. Terlebih pasca pilpres April kemarin. Saling klaim kemenangan, menyudutkan pihak lain, menyalahkan lembaga survei, dan 1001 kisah lainnya. Media sosial menjadi tempat ternyaman untuk menuntaskan hasrat birahinya. Ya, birahi untuk memperkosa kebenaran dan kemenangan.
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab "Fathul Bari" mengutip sebuah keterangan dari Imam al-Qurtubi, menanggapi hadis di atas beliau berkata, “Maksudnya adalah perbuatan maksiat akan sedikit terjadi pada orang yang menjaga syarat-syarat dan adab dalam berpuasa. Atau makna lain bisa juga yang dibelenggu adalah sebagian syaitan yang membangkang bukan semuanya”.
Melihat hal itu, maka tidak heran bila maksiat masih terjadi di bulan ramadan sekalipun. Orang-orang yang tidak menjaga syarat serta adab berpuasa akan dengan mudah jatuh dalam kemaksiatan. Jika tidak, orang itu akan menjelma menjadi setan yang berbentuk manusia. Nilai-nilai kemanusiaan yang malah terbelenggu, sedang nilai kesetanan bebas berkeliaran. [Zain]
Artikel Lain:
Serukan Pesan Damai di Bulan Ramadhan
Ngabuburit; Dari Budaya Hingga Gengsi Sosial
Mendadak Alim di Bulan Ramadan?
KOMENTAR