Datuk Sutan Malaka atau yang sering dikenal Tan Malaka (Doc: idepers.com/WD) |
"Lapar tak berarti kenyang buat si miskin. Si lapar yang kurus kering tak akan bisa kita kenyangkan dengan kata kenyang saja, walaupun kita ulangi 1001 kali,"
Kutipan tersebut ditulis oleh Ibrahim yang merupakan gelar Datuk Sutan Malaka atau yang kita kenal Tan Malaka. Tepatnya, dalam Magnum Opus yang ia tulis selama di penjara berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Madilog, menjadi salah satu buku yang dinobatkan dalam '100 buku yang berpengaruh dan berkontribusi terhadap gagasan kebangsaan' versi Majalah Tempo.
Meskipun dikenal sebagai aktivis kiri indonesia yang namanya tidak disebutkan dalam buku sejarah sekolah formal. Faktanya, Tan Malaka telah dinobatkan Pahlawan Nasional setelah Keputusan Presiden Republik Indonesia, Sukarno, Nomor 53 sejak tahun 1963.
Lahir 2 Juni 1897 di Desa Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Untuk sampai pada cita-cita perjuangan kemedekaan Tan Malaka, ia mengeyam pendidikan dengan peningkatan prestasi akademik nan ambisius. Dengan status bangsawannya, Tan Malaka mendapat kesempatan menempuh pendidikan di Inlandsche Kweekschool voor Onderwijzers, satu-satunya Sekolah Guru Pribumi di Sumatera yang bertempat di Bukittinggi. Setelah lulus pada tahun 1913, Tan Malaka melanjutkan pendidikannya di Rijkskweekschool di Haarlem, Belanda.
Baca Juga : Menelusuri Jejak Sang Revolusioner yang Disembunyikan
Setelah terjadinya Revolusi Rusia pada bulan Oktober 1917, Tan Malaka mempelajari tentang Sosialisme dan Komunisme dengan membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Atas bacaannya itu, Tan Malaka mengalami perubahan drastis dalam pemikirannya tentang dunia luar dan dinamikanya.
"Bapak Republik" begitu sebutan yang diberikan Muhammad Yamin kepada pribumi Hindia Belanda pertama yang memberikan gagasan Indonesia Merdeka, dalam tulisannya yang berjudul "Naar de Republiek Indonesia" atau Menuju Republik Indonesia.
Dalam Madilog, Tan Malaka menyoroti banyaknya masyarakat Indonesia yang mengalami ketertinggalan dan ketertindasan karena kepercayaan terhadap logika mistika. Dalam berpikir, menurut Septian Chandra Susanto masyarakat Indonesia masih dipengaruhi hal-hal serba tidak masuk akal seperti mengultuskan takhayul, mantra, roh, ramalan, dan sebagainya.
Menurut Tan Malaka, masyarakat digambarkan sebagai penganut logika mistika yang mempercayai jika Maha Dewa Rah menciptakan alam semesta dan seluruh isinya dengan firman-Nya hanya dalam sekejap mata.
Kritik Tan Malaka Soal Kemerdekaan Berfikir Masyarakat Semasanya
Selama perjalanan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka menyadari akan satu hal mendasar yang membuat masyarakat Indonesia sulit untuk merdeka dalam berpikir. Tan Malaka merasa masyarakat Indonesia masih mendasarkan pemahamannya pada hal-hal yang bersifat gaib atau takhayul, yang ia sebut sebagai logika Mistika.
Paradigma yang melanggengkan kepercayaan terhadap hal-hal gaib ini, alih-alih membuat masyarakat memercayai diagnosa seorang dokter, tapi lebih memilih diagnosa "orang pintar" dan menggunakan cara-cara pengobatan yang tidak bisa dibuktikan keilmiahannya.
Ketika orang-orang Barat berlomba-lomba dalam menciptakan teknologi yang mampu mengatur cuaca, masyarakat Indonesia justru lebih mempercayai kekuatan gaib yang mampu mendatangkan hujan hanya dengan mantra atau ritual tertentu.
Tan Malaka yang hidup di masa perjuangan kemerdekaan, tentunya merasakan betapa logika mistika ini menghambat proses mendapatkan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dalam buku lainnya, Aksi Massa, Tan Malaka menyebut bahwa tak mungkin langkah-langkah besar dilakukan di dalam masyarakat yang masih percaya pada takhayul atau kekuatan magis alih-alih pengetahuan. Yang pada gilirannya logika mistika dijadikan alat penindasan bagi golongan tertentu.
Baca Juga : Tan Malaka dan Jebakan Kepentingan Global
Bagaimana bisa bangsa Indonesia mampu merubah nasibnya sendiri jika tidak mau bangkit dari pola pikir terhadap hal-hal gaib atau takhayul. Menurut Martin Sitompul, untuk mencapai sesuatu, cara bernalar mesti dibenarkan terlebih dahulu. Dengan cara merubah pemikiran yang irasional menuju pemikiran yang rasional.
Dengan demikian, buku Madilog menjadi tawaran dari masyarakat Indonesia sendiri yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk menuju masyarakat baru, masyarakat yang terbebas dari Logika Mistika. [Rifky]
KOMENTAR