Rocky Gerung saat diwawancara usai mengisi acara Talkshow Kebangsaan di Audit 2 Kampus 3 UIN Walisongo Semarang pada, Jum'at (16/06/23). (Dok. Ideapers.com) |
Semarang, IDEAPERS.COM - Pada tahun 2045, Indonesia akan menghadapi bonus demografi di mana jumlah penduduk Indonesia 70 persennya dalam usia produktif (15-64 tahun). Sedangkan sisanya 30 persen merupakan penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun).
Melihat wacana tersebut, akademisi sekaligus pengamat politik Rocky Gerung mengatakan, untuk mencapai visi bonus demografi, selain kuantitas juga dibutuhkan kualitas dari Sumber Daya Manusia (SDM), dalam hal ini anak muda.
Namun menurut Rocky Gerung, problem yang dihadapi saat ini, pemerintah Indonesia lebih mementingkan pembangunan proyek infrastruktur dari pada peningkatan kualitas SDM. Sehingga, kata dia, kondisi ini akan menunjukkan gagalnya proyeksi bonus demografi yang justru akan menyebabkan devisit demografi.
"Kalo dilihat dari kecenderungannya, bukan pada SDM tapi pada infrastruktur, itu berarti hak bagi generasi baru di tahun 2030 terhalangi. Contohnya presiden Jokowi justru meminta orang asing untuk menjadi evaluator atau bagan penentu proyek," tuturnya saat diwawancara kru IDEAPERS.COM, pada Sabtu (17/06/23).
Baca Juga : Peluang Kerja dan Bayang- Bayang Kecemasan Dunia AI
Adanya wacana bonus demografi, membuat nama "anak muda atau milenials" begitu besar diperbincangkan baik dalam sektor politik, ekonomi, kreatif dan lain sebagainya. Milenials digadang akan memiliki peranan besar bagi kemajuan bangsa Indonesia ke depannya.
Namun dalam pandangan Rocky Gerung, milenials saat ini juga sedang mengalami kecemasan terhadap dua isu global, yakni keamanan lingkungan dan keamanan pertahanan negara.
Mereka cemas terhadap persaingan persenjataan yang dapat memicu kekerasan di belahan dunia. Kemudian generasi muda saat ini sedang mengalami keterikatan pada satu grammer baru yakni enviromental ethic lantaran adanya keterhubungan antar negara.
"Nah dua isu itu menjadi kecemasan bagi generasi muda baru. Anda di Semarang juga bergaul secara online dengan mereka yang ada di pusat-pusat metropolitan lain di Paris, anak muda di Eropa, anak muda di Amerika. Jadi anak muda terikat dengan satu grammer, tata bahasa baru yaitu enviromental ethic," jelasnya.
Menurutnya dua isu global di atas menjadi urgensi bagi generasi muda Indonesia. Dan, jika mampu memanfaatkan peluang dari keadaan tersebut, bangsa kita bisa menjadi semacam Messenger of Peace.
"Kalau kita bilang Pancasila itu damai, ya eksporkan itu. Artinya biarkan mahasiswa, anak muda itu berpikir tentang dua isu global yaitu enviromental ethis dan soal pertahanan," kata Rocky.
Namun menurut Rocky, pemerintah Indonesia tidak melihat wacana sebagai urgensi anak muda sekarang. Justru, kata dia, pemerintah lebih mengejar proyek infrastruktur yang tidak menjadi urgensi bagi kebutuhan masa depan generasi bangsa Indonesia.
"Pemerintah sudah sibuk mencari alasan supaya IKN itu jalan terus, ibu kota negara kita itu sangat nampak. Dalam lima tahun lagi itu orang tidak naik kereta api, orang mungkin naik drone. Dalam lima tahun lagi itu IKN kan sudah digunakan untuk di kantor tapi kita bisa berkantor di cyber space," tuturnya.
Melihat proyeksi bonus demografi di tahun 2050, kita juga sedang dihadapkan dengan tantangan era society 5.0 yang digagas Jepang pada 21 Januari 2019. Sebuah konsep masyarakat yang berbasis pada teknologi seperti Internet of Things, Big Data hingga Artificial Intellegence (AI).
Tantangan Era AI
Hadirnya revolusi teknologi era society 5.0 Rocky Gerung menyebutkan, saat ini sistem dunia sedang ada tiga riset besar yakni Human Genom, Big Data dan Artificial Intellegence.
"Untuk memetakan jenis-jenis penyakit kita berdasarkan keturunan, kecenderungan konsumsi kita, ketertarikan pada lawan jenis itu, pada studi DNA itu sudah selesai awal abad ini," tutur akademisi tersebut.
"Sekarang ada riset kedua tentang behavior melalui big data. Sekarang mereka yang paham tentang hubungan DNA dan senjata bisa mengkorelasikan itu untuk mengendalikan populasi, mengendalikan konsumsi, mengendalikan politik dengan apa? Dengan bantuan ketiga, namanya, Artificial Intelligent (AI)," sambung Rocky.
Baca Juga : Mantan Rektor UIN Walisongo Abdul Djamil Soal Budaya Akademik Mahasiswa dan Dosen Itu Setara
Rocky Gerung melihat, jika SDM bangsa Indonesia tidak memiliki pengetahuan tentang tiga hal tersebut, maka kualitas generasi akan tertinggal dengan negara lain dan perkembangan zaman.
"Nah kecemasan itu yang mestinya kita bayangkan supaya Indonesia punya riset tentang tiga wilayah ini," jelas Rocky Gerung.
Saat ini, kehidupan manusia juga sudah tidak bisa dilepaskan dari genggaman teknologi dan kita tidak bisa menghindari inovasi-inovasi dari kemajuan teknologi seperti adanya Big Data dan AI.
Tidak bisa dipungkiri, berkat adanya teknologi kehidupan manusia bisa menjadi lebih efektif dan efisien dalam berbagai hal. Bahkan teknologi dianggap sebagai problem solving segala permasalahan manusia seputar lingkungan, ekonomi dan sebagainya.
Di lain sisi, teknologi juga dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi manusia, di mana saat ini teknologi tidak hanya membantu pekerjaan secara fisik, namun juga secara kognisi.
Menghadapi paradokasial teknologi, menurut Rocky Gerung manusia perlu memiliki kemampuan adaptif sekaligus antagonis terhadap teknologi.
"Kita beradaptasi dengan teknologi. Sekarang ini separuh hidup kita teknologi. Kalo anda kehilangan handphone, anda kehilangan sebagian dari batin anda. Jadi anda gelisah kalau anda kehilangan barang yang teknologis ini," tuturnya.
Untuk mempertahankan eksistensi manusia di tengah hadirnya AI, perlu adanya dialektika. Menurutnya, manusia jauh memiliki kuasa untuk mengambil peranan terhadap keberadaan AI.
"Dialektika antara filologi dan teknologi berlangsung terus. Sekarang tinggal kita tentukan apakah kita cemburu pada AI atau AI yang akan cemburu pada kemampuan manusia seperti dialektika," tuturnya.
Lebih lanjut Rocky mengatakan, pola manusia terhadap penggunaan teknologi juga menjadi salah satu kontrol dalam keberhasilan proses dialektika.
"Dan perkembangan itu ditentukan oleh habbit kita. Kita mau apa, kita mau perlengkapi hidup 24 jam dengan teknologi. Atau teknologi diminta supaya dua jam aja deh. Supaya dia juga punya kesempatan berpikir sebagai manusia, jadi dialektis," tegasnya. [Rep. Gita Fajriyani]
KOMENTAR