CEO Tesla, Elon Musk telah sukses meluncurkan mobil tesla dengan teknologi self driving. Kini ia kembali menjadi perbincangan setelah mempresentasikan Tesla Bot, robot berbentuk manusia yang dioperasikan menggunakan Artificial Intelegence (AI) pada perhelatan Tesla AI Day pada Agustus 2021 lalu.
Sebagaimana dilansir dari forbes.com, Elon Musk mengumumkan robot humanoid atau tesla bot miliknya dirancang untuk mengotomatisasi tugas yang berulang, menciptakan masa depan di mana pekerjaan fisik akan menjadi pilihan, bukan keharusan.
Hal ini menjadi salah satu tanda bahwasanya dunia saat ini, sudah berada dalam masa transisi dari revolusi industri 4.0 menuju society 5.0. Era AI dan robotik semakin di depan mata. Bayangan dunia dengan segala kecanggihan dan efisiensinya semakin tidak hanya berada dalam bayangan.
Perusahaan-perusahaan digital juga sudah mulai menanam sahamnya untuk operasi dunia yang serba AI. Tidak hanya itu, beberapa perusahaan juga sudah beralih menggunakan sistem AI untuk menjalankan laju bisnisnya.
Ketika di masa depan manusia hidup dengan teknologi tinggi seperti AI dan robotik, nampaknya masyarakat akan semakin terbiasa hidup berdampingan dengan robot seperti yang sudah terjadi di Jepang kini. Perusahaan Blue Frog Robotics yang berbasis di Paris, berhasil menciptakan robot Buddy yang didesain untuk mendampingi dan membantu pekerjaan rumah. Robot Buddy juga didesain untuk mampu menjadi asisten pribadi dan membantu mengawasi keadaan rumah saat ditinggal pemiliknya.
Melihat hal tersebut, nampaknya hidup manusia akan semakin mudah. Namun di sisi yang lain, hal ini juga bisa menjadi boomerang. Saat pekerjaan manusia diambil alih oleh AI ataupun bobot, manusia akan semakin sulit mendapatkan pekerjaan, karena mereka bersaing dengan robot bukan tenaga profesional.
Berkat kemajuan sistem kecerdasan buatan, robot sudah mulai dibekali teknologi canggih. Seperti upgrade kecepatan chipset dalam kurun waktu belakangan ini. Kemudian sistem machine learning yang membuat cara kerja AI lebih sempurna dan humanis. Robot yang dapat bekerja 24 jam dengan cepat, tepat dan minim kesalahan seperti human eror dengan sistem dan program yang canggih. Sehingga hal tersebut menjadi saingan terberat bagi tenaga manusia yang terbatas.
Namun di sisi lain, mulai eksisnya AI juga memunculkan kecemasan tersendiri bagi sebagian orang maupun kelompok masyarakat. Salah satunya ketakutan akan wacana bahwa sistem AI akan mampu melampaui manusia dalam hal berpengetahuan dan eksistensinya di dalam peradaban. Selain itu, di setiap transisi perubahan selalu ada dilematisasi terhadap situasi perubahan itu sendiri.
Seperti yang pernah terjadi ketika revolusi 4.0 mulai digunakan dalam sistem pekerjaan. Tahun 2017 lalu kita disuguhi perseteruan antara ojek konvensional dengan ojek online. Orang-orang dengan bidang pekerjaan yang sama ini saling berseteru karena berebut pelanggan dalam medium yang berbeda. Bukan tidak mungkin jika masa peralihan menuju society 5.0 ini juga akan menimbulkan dampak dilema yang sama.
Bukan hanya itu, kemunculan AI juga menimbulkan dilema dalam hal kesenjangan sosial. Melihat sistem dan program robot yang begitu canggih, sudah tentu ada harga yang tidak sedikit untuk mampu memiliki mesin-mesin tersebut. Sehingga sangat mungkin jika fasilitas AI hanya akan diakses oleh orang-orang kaya. Ketika orang-orang kaya memilih menggunakan tenaga robot untuk membantu pekerjaanya, orang-orang yang bekerja di bidang teknikal ini, berpotensi kehilangan pekerjaanya. Dan tentunya, kesenjangan terhadap starata sosial pun akan semakin kentara.
Benarkah AI Akan Menggantikan Pekerjaan Manusia?
Jika melihat proses berjalannya revolusi sebelumnya, sepertinya tidak pernah ada pekerjaan yang benar-benar hilang, melainkan hanya mengalami pergeseran. Sebagaimana yang terjadi dalam kasus tukang ojek di atas. Pekerjaan ini tidak hilang, hanya berubah medium dari konvensional menjadi digital. Begitupun dengan bidang pekerjaan lainnya.
Perubahan akan membuka peluang yang semakin banyak dalam hal pekerjaan. Dimana revolusi 5.0 nantinya akan menjadi dunia yang serba virtual. Berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data. Bahkan kita sudah akrab dengan bentuk perubahan ini. Kita mengenal Internet of Things (IoT) serta pengaplikasian AI yang semakin marak digunakan oleh perusahaan-perusahaan.
Kita juga semakin terbiasa dengan model pekerjaan yang digawangi oleh perusahaan-perusahaan startup. Masa revolusi industri 4.0 yang sempat ditakutkan mengambil alih ladang penghasilan, justru kini semakin banyak memberikan peluang pekerjaan dalam bentuk baru. Meskipun perusahaan pemberi lapangan pekerjaan tidak bisa ditemui secara fisik bagaimana bentuk kerjanya.
Seperti perusahaan belanja online misalnya. Kita tidak pernah benar-benar bisa melihat bagaimana perusahaan ini bekerja. Kita hanya mengetahui bahwa perusahaan ini menghubungkan satu pihak dengan pihak lain serta satu tempat dengan tempat lain.
Selain itu, semakin berkembangnya media digital dan informasi juga memberikan kita peluang akses untuk melakukan eksplorasi lebih terhadap minat kita. Sebagai contoh, industri kreatif di media digital. Pekerjaan sebagai fotografer, videografer, conten creator, dan lain-lain yang sebelumnya tabu kini menjadi pekerjaan yang banyak menghasilkan peluang penghasilan.
Ketakutan akan kehilangan pekerjaan seakan hanya menjadi ilusi ketakutan akan masa depan. Dimana ketakutan ini menjadi bentuk lain dari ketidaksiapan, karena tidak adanya bekal dalam menghadapai perubahan. Sedangkan seperti yang kita tahu, kita tidak bisa menghentikan proses revolusi yang terjadi di dunia ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh filsuf Yunani Kuno di masa Pra Sokratik, Heraclitus bahwasanya "Segala sesuatu berubah, tidak ada yang tinggal tetap. Satu-satunya yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri".
Ketika dunia terus dihadapkan dengan sebuah perubahan dan kita sulit menghentikannya, pilihan jalan yang bisa menyelamatkan kita dari krisis eksistensi ialah kita mampu adaptif terhadap perubahan. Manusia juga perlu terus berkembang mengikuti perkembangan zaman, baik dari pengetahuan, soft skill maupun hard skill. Bagaimana pun juga, manusia tetap menjadi entitas yang penting di dunia, ketika manusia itu mampu mengendalikannya. [Gita Fajriyani]
KOMENTAR