Gambar: Istimewa |
Tiga bulan lalu seorang mahasiswa resmi dinyatakan lulus dari fakultas hukum. Prosesi wisuda virtual di depan gawai bukan alasan ia murung dan galau sampai hari ini. Status baru sebagai sarjana justru mengusiknya, menghadapkannya dengan masalah baru yang belum terselesaikan hingga sekarang.
Seperti ribuan sarjana lainnya, teman saya baru memulai kehidupan yang sebenarnya. Menyelami dunia di luar kampus atau di tengah-tengah masyarakat, berbekal pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh selama kuliah. Salah satu tuntutannya yaitu mencari pekerjaan yang ‘layak’ dan dapat mendatangkan kesuksesan. Namun sulitnya mencari pekerjaan di masa kini menjadikan hal itu sebagai momok yang menghantui hari-harinya.
Hampir lima tahun belajar ilmu hukum, sang sarjana mendamba profesi hakim atau jaksa. Iktikad itu muncul setelah mengamati beberapa kasus penegakan hukum di tanah air yang katanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Alih-alih ingin memperbaiki kondisi negara, ia justru merasa pesimis setelah sadar bahwa lulus dari kampus terakreditasi A dengan predikat cumlaude tidak menjamin meraih profesi impian. Belum lagi harus bersaing dengan ratusan sarjana hukum dari kampus lain yang lebih favorit.
Baca Juga: Apa yang Kamu Harapkan dari Nilai 4.0?
Tuntutan mencari pekerjaan ‘layak’ membuat si sarjana harus jeli dalam mencari informasi dan membaca peluang. Hanya menunggu dan berdiam bukan solusi terbaik. Maka ketika mendapatkan informasi pendaftaran calon pegawai negeri di awal bulan kemarin, ia langsung menyahutnya. Segala persyaratan telah dipersiapkan, namun belum beruntung, teman saya gugur di seleksi administrasi.
Semasa kuliah, ia lebih memilih menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Mempelajari dan mendalami materi atau teori perkuliahan itu nomor satu, aktivitas organisasi dan kegiatan sosial di luar kampus bukan prioritas. Ini juga menjadi pilihan kebanyakan mahasiswa di kampus saya. Hanya berfokus pada kuliah memang dapat menjadikan mahasiswa pandai secara akademik, lulus tepat waktu dengan nilai sempurna. Tetapi di satu sisi, mahasiswa minim pengalaman serta kemampuan dan keterampilan terbatas, sehingga gagap menghadapi masalah.
Padahal masalah inilah yang cukup menjadi belenggu para sarjana di Indonesia. Bingung mencari pekerjaan karena hanya mengusai satu bidang keterampilan atau pengetahuan saja, yaitu sesuai jurusan. Terlebih orientasi pendidikan di era industri ini sudah bergeser menjadi jembatan meraih pekerjaan. Bahkan para orang tua rela mengeluarkan berpuluh-puluh juta setiap semester agar anaknya dapat kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang ‘layak’. Sementara kita meyakini masa depan seseorang tidak dapat ditentukan dari selembar ijazah.
Baca Juga: Kamu Masih Yakin Ingin Jadi Guru?
Era teknologi dan industri seperti saat ini menuntut hidup manusia menuju peradaban modern. Wilayah kota dengan segala ornamennya menjadi kiblat kemajuan, kesuksesan, dan kesejahteraan. Tuntutan finansial-material yang menjadi kebutuhan zaman telah mengundang para sarjana kita memilih mengadu nasib di kota-kota. Terobsesi bekerja di gedung-gedung megah penjilat langit, perusahan dengan ruangan ber-AC, kantor yang dilengkapi seperangkat alat komputer. Memilih pekerjaan yang wajib berangkat pagi sampai sore kecuali akhir pekan, selalu mengenakan kemeja, dasi, dan sepatu rapi, serta menerima gaji tetap setiap sebulan sekali.
Dosa Sarjana
Majalah IDEA bertajuk Sarjana untuk Desa (2015) menelaah secara filosofis relasi sistem pendidikan dan kehidupan sosial. Paradigma pendidikan di era kapitalisme industri ini membuat sarjana di Indonesia melupakan tujuannya untuk belajar dan perannya sebagai agen sosial. Dosa besar sarjana saat ini adalah lebih mementingkan kesuksesan pribadi dan meninggalkan kampung halamannya untuk bekerja di kota. Karena desa dianggap sebagai ikon terbelakang, kemunduran, dan tidak menawarkan kesejahteraan material.
Dalam kehidupan sosial, sarjana menjadi tumpuan tangan masyarakat. Dipandang sebagai kaum terpelajar atau intelektual yang menguasai berbagai teori dengan harapan dapat diaplikasikan di kehidupan nyata. Filsuf asal Perancis, Julian Benda menyebut, intelektual sejati berkomitmen menerapkan ilmu pengetahuan yang dimiliki serta mampu melawan godaan berupa tuntutan materi dan strata sosial. Maka sudah semestinya para sarjana lebih mementingkan lingkungan sekitarnya, membangun peradaban dan kesejahteraan masyarakat.
Baca Juga: Ketika Mahasiswa (Merasa) Salah Jurusan
Beberapa hari lalu, saya sempat terkejut membaca berita tentang pernyataan Presiden Jokowi. Ia mendambakan petani menjadi profesi yang menjanjikan dan menyejahterakan di masa depan. "Kita harus membuat generasi muda lebih berminat menjadi petani," kata Jokowi dengan percaya diri, (Kompas.com, 06/08/21). Saya melihatnya sebagai sambutan pembukaan acara yang utopis. Dalam godaan kemajuan teknologi dan pola kerja industrial, di tengah mewabahnya virus narsisme dan gengsi, berapakah generasi muda yang memiliki minat bekerja sebagai petani? Entahlah.
Sementara di masa pandemi ini, kita saksikan orang-orang kehilangan pekerjaan. Perusahan bangkrut mengakibatkan para pegawai kena PHK dan pembatasan sosial menyebabkan pekerja lapangan menutup usahanya. Dan para sarjana kita masih berego tinggi dengan memilih-milih pekerjaan yang ‘layak’. Dengan bekal nilai sempurna dalam selembar ijazah, tanpa diimbangi keterampilan, pengalaman, dan pengetahuan, bukankah justru menambah jumlah pengangguran di Indonesia?
Pada tanggal 24 Agustus ini kampus saya yang berjuluk “Kampus Kemanusiaan dan Peradaban” akan meluluskan ribuan sarjana. Meskipun saya belum bisa menjadi sarjana, tetapi saya selalu bahagia menyaksikan wajah teman-teman tersenyum saat memakai toga wisuda. Saya berharap sarjana angkatan corona ini menjadi intelektual sejati --sebagaimana doktrin Benda, yang mengamalkan ilmunya untuk kemaslahatan masyarakat. Dan juga tidak perlu terlalu gengsi ketika mendapatkan pekerjaan yang ‘biasa-biasa saja’.
Baca Juga: Sambat dan Problematika Pendidikan Indonesia
Saya tidak tahu apakah teman-teman saya nanti akan melakukan hal sama seperti yang dilakukan kebanyakan sarjana ketika lulus kuliah. Sebagai mahasiswa akhir, terkadang hal itu pula yang membuat saya bimbang luar biasa. Pikiran seketika terusik terlebih ketika mengingat sepenggal bait puisi WS Rendra:
Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibukota kikuk pulang ke daerahnya? Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja, bila pada akhirnya, ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata: “Di sini aku merasa asing dan sepi!” (Sajak Seonggok Jagung, 1975).
[Mahfud]
KOMENTAR