
Kenapa kamu mengeluh bahkan merengek ketika mendapatkan nilai mata kuliah yang tidak sesuai dengan ekspektasimu, dik? Bahkan kamu paksa orang lain untuk bersimpati terhadap ratapanmu dengan memasangnya menjadi story WhatsApp. Apakah kamu hendak memberitahukan betapa tidak dewasanya dirimu dalam menghadapi suatu permasalahan? Apakah kamu mencoba meniru bangsa Yahudi dengan menjadikan story WhatsApp sebagai dinding ratapan? Atau kamu masih belum bisa move on dari kenangan masa SMA, menganggap nilai 4.0 adalah harga mati dari proses kuliah kamu? Apa yang sebenarnya kamu harapkan dari nilai 4.0, dik?
Seandainya kamu mendapatkan nilai 4.0 dalam semua mata kuliah, apakah kamu lantas diakui sebagai mahasiswa paling pandai di kelas? Sehingga Bapak dan Ibu dosen langsung menceritakan pencapaianmu ke seluruh fakultas bahkan universitas bahwa mahasiswanya telah mendapatkan nilai sempurna, 4.0. Jika eksistensi diri yang kamu cari, maka menjadikan nilai 4.0 sebagai tujuan akhir proses kuliah sangatlah tidak relevan. Di kampus ini nilai 4.0 tidak melambangkan kesempurnaan dan kemewahan.
Seandainya kamu mendapatkan nilai 4.0, memang kamu bisa mendapatkan jumlah SKS maksimal, 24 SKS, di semester selanjutnya. Itu berarti mata kuliah kamu akan habis di semester enam, kemudian mengambil mata kuliah praktikum dan KKN di semester tujuh. Dengan program penelitian intensif metodologi penelitian yang kamu dapatkan di semester empat, kamu sudah didorong untuk mengajukan judul skripsi di semester lima. Jika kamu memiliki argumentasi kuat ditunjang dengan sedikit keberuntungan, di semester yang sama judul skripsi kamu bisa disetujui oleh kepala jurusan. Kemudian proses penggarapan di semester enam dan tujuh.
Kamu bisa meraih gelar sarjana di semester tujuh. Kalaupun sedikit terlambat, wisuda menjadi tertunda di semester delapan. Kamu memperoleh status sebagai wisudawan termuda dengan lulus di semester tujuh. Atau mahasiswa yang lulus tepat waktu di semester delapan. Apakah itu yang kamu harapkan dari nilai 4.0, dik?
Apakah kamu lupa bahwa proses dan dialektika selama perkuliahan tidak melulu tentang tugas dan nilai? Terlalu sempit jika kamu melihat hanya dari dua sisi itu. Belajar di perguruan tinggi berarti juga belajar mencari dan mengasah skill yang kamu miliki. Belajar membangun dan memperluas jaringan dengan orang lain dari berbagai macam latar belakang. Bangku kuliah menjadi momentum dan wadah untuk mencari dan mengembangkan jatidiri. Mengenali dirimu yang sesungguhnya. Tidakkah hal ini menjadi harapan kamu dari pencapaian nilai 4.0, dik?
Ikhlas atau Berdiplomasi
Semua mahasiswa pasti pernah mendapatkan materi perkuliahan di kelas selama enam semester, bahkan ada yang lebih. Tentunya mereka juga pernah mendapatkan nilai yang tidak sesuai ekspektasi. Jika sudah seperti ini maka dengan sendirinya mahasiswa akan terkelompok menjadi dua. Pertama, mahasiswa yang kekanakan dengan merengek soal nilai di story media sosial. Kedua, mahasiswa yang bisa bersikap dewasa dengan menempuh langkah nyata untuk memperbaiki nilainya. Tipe mahasiswa pertama akan terlalu panjang jika diuraikan, terlalu banyak emosi kemuakan jika membahasnya. Akan lebih menarik jika kita membahas langkah-langkah yang diambil mahasiswa tipe kedua.
Tipe mahasiswa yang lebih dewasa tidak lantas berdiam diri ketika mengetahui nilai mata kuliahnya tidak sesuai ekspektasi. Ia akan berupaya menemui dosen mata kuliah secara langsung, setidaknya dia mendapatkan penjelasan mengapa nilai yang dia dapatkan tidak sesuai ekspektasi. Dari pertemuan langsung tersebut, mahasiswa telah belajar berdiplomasi. Jika Bapak atau Ibu dosen berbaik hati serta kesalahan-kesalahan mahasiswa masih bisa ditolerir, nilai masih bisa diperbaiki. Pihak kampus juga menyediakan waktu khusus selama beberapa hari untuk memperbaiki nilai yang telah diberikan.
Pilihan untuk berdiplomasi dengan Bapak atau Ibu dosen ini tentunya lebih pantas dilakukan oleh seorang mahasiswa. Daripada mereka hanya merengek di rumah tanpa melakukan apapun kecuali satu hal, meratap di story media sosial. Haduuuuhhh, dik. Mbuk ya ojo ngono.
Langkah selanjutnya yang akan ditempuh oleh mahasiswa yang berpikiran dewasa ialah menerima nilai yang tidak sesuai ekspektasi tersebut dengan tulus ikhlas. Bukan berarti pasrah, namun memang tidak ada jalan lain. Bisa jadi dosen mata kuliah sudah terlanjur berangkat haji, atau memang susah ditemui. Penyebab lain karena jumlah absensi mahasiswa telah melampaui batas yang ditentukan sehingga otomatis terblokir oleh sistem. Dengan demikian tidak ada pilihan lain selain ikhlas menerimanya. Ikhlas mengulang mata kuliah di semester depan dan mendapatkan jumlah SKS yang lebih sedikit.
Setidaknya mahasiswa tipe kedua paham dan sadar bahwa tujuan akhir dari proses kuliah bukan sekadar nilai 4.0. Dia mau membuka pikiran dan mempertanyakan kembali, "apa yang saya harapkan dari nilai 4.0?" Jadi, dik, kamu tipe mahasiswa yang mana? Cobalah bercermin menggunakan kamera depanmu. [N]
KOMENTAR