"Dar al mafasid muqoddam 'ala jalb al masholih", kaidah fiqih tersebut menjelaskan bahwa menolak kerusakan atau bahaya lebih didahulukan ketimbang mengambil manfaat. Hal itu menjadi salah satu alasan ditetapkannya pembelajaran online di masa pandemi, agar dapat memutus rantai penyebaran virus corona.
Meski begitu, tetap ada banyak kendala yang dialami peserta didik selama belajar online. Mulai tidak dimilikinya perangkat teknologi hingga masalah teknis lainnya. Biasanya akan muncul setelah murid selesai menjalani kegiatan pembelajaran. Selain fasilitas yang menjadi hal terpenting selama sekolah online, ada satu hal yang tak luput dari sorotan publik adalah bagaimana peran guru dan murid untuk mencapai tujuan yang sama.
Persamaan tujuan yaitu diselenggarakannya pendidikan sebagaimana Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, misalnya untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya. Potensi tersebutlah yang selanjutnya dikembangkan untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Baca Juga: Ironi Pendidikan di Indonesia
Orientasi pendidikan jika melulu soal pencapaian peserta didik dalam penguasaan materi pembelajaran tertentu, maka mesin pencari (search engine) seperti Google jauh lebih kaffah ketimbang buku-buku pelajaran di sekolah formal. Tapi, nyatanya bukan hanya sebatas itu, melainkan tujuan pendidikan juga harus dibarengi dengan karakter dan kepribadian (ahlak) yang mulia. Oleh karena itu, untuk bisa mencapai tujuan pendidikan harusnya diusahakan oleh kedua belah pihak, yaitu antara guru dan juga murid.
Merujuk pada literatur pesantren, ada beberapa kitab yang membahas tentang etika seseoarang murid kepada guru, dan begitupun sebaliknya. Antara lain Taysir al-Khalaq karya Hafidz Hasan al-Mas'udi, Ta'lim al-Muta'alim karya Syaikh al-Zarnuji, dan Adab al-'Alim wa al-Muta'alim karya Syaikh Hasyim Asy'ari. Dari beberapa kitab tersebut, dapat dimengerti bahwa guru menjadi seseorang yang memiliki derajat mulia, menunjukkan tentang etika pengetahuan, dan ahlak mulia (akhlak al-karimah).
Baca Juga: Pendidikan Kita dan Belajar dari Ki Hajar Dewantara
Menjadi seorang guru hendaknya mempunyai sifat muraqabah (dekat dengan Allah), tawadhu (rendah hati), zuhud (tidak tamak kepada dunia), dan memiliki kasih sayang kepada muridnya. Ketiga sifat itu yang bisa digunakan untuk membimbing muridnya menempuh ke jalan yang benar. Karena seorang murid, jiwa dan rohaninya yang masih sangatlah lemah, sehingga dibutuhkan seorang yang berahlak lebih ketimbang dirinya.
Ungkapan orang Jawa yang mengartikan guru sebagai orang yang digugu lan ditiru (dipercaya dan diikuti). Lantas, sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang guru, demi menjadi seorang yang dapat menjadi panutan peserta didiknya?
Sifat lemah lembut, bijak, wira'i (menjaga harga diri), dan selalu memberikan nasihat kepada anak-anaknya, yang harus dimiliki seorang pendidik. Dan tentunya, seorang guru haruslah orang 'alim (pandai/profesional di bidang keilmuannya).
Di samping itu, seorang guru dituntut tidak melakukan hal yang dapat merendahkannya dan menjauhkan diri dari hal yang maksiat. Dan ketika mengajar, seorang guru seyogianya bersungguh-sungguh dalam penyampaian pemateri dan sabar menghadapi murid-muridnya. Lalu dengan sifat-sifat tersebut, dapatkah terinternalisasi pada peserta didik yang saat ini menggunakan daring (online)?
Baca Juga: Pendidikan, Tenaga Kerja, dan Era Ekonomi Kreatif
Ada sebuah kaidah fiqih yang mengatakan maa laa yudroku kulluhu laa yudroku kulluhu. Apa-apa yang tidak dapat dipenuhi sepenuhnya tidak harus ditinggalkan sepenuhnya. Jika berpegang pada kaidah tersebut, maka orientasi atau tujuan dari pendidikan bukan hanya soal akademiknya, tapi juga diimbangi dengan terciptanya ahlak yang baik dalam diri setiap murid.
Seorang guru tugasnya tidak hanya menyampaikan materi dan memberikan pekerjaan rumah, tapi juga harus memberikan nasihat atau pesan untuk membangun budi pekerti yang baik bagi murid. Dengan demikian, tujuan mulia pendidikan dapat tercapai. Di lingkungan pesantren, hal ini sudah menjadi hal paling utama yang harus dipelajari. Menciptakan pendidikan yang juga mementingkan ahlak yang baik termasuk tanggung jawab peserta didik. Literatur yang dikaji di pondok pesantren menerangkan bahwa seorang murid juga harus memperhatikan etika-etika dalam mencari ilmu yang mencakup etika terhadap ilmu, ahli, dan dirinya sendiri.
Salah satu etika terhadap ilmu adalah memuliakan buku (kitab). Misalnya, mengambil buku dalam keadaan suci, tidak sembarangan menaruh buku. Kemudian jika hendak membeli buku, lihatlah dengan teliti jangan sampai buku tersebut menyebabkan kalian kecewa. Alhasil kalian bisa saja memaki-maki buku tersebut. Jika ada temen yang mau meminjam, pastikan dia bisa menjaga bukumu dengan baik.
Baca Juga: Nadiem Makarim dan Nasib Pendidikan Indonesia
Selanjutnya, untuk etika seorang murid dengan ahli (guru) salah satunya adalah dengan bersikap rendah hati, duduk dengan sopan ketika diajarkannya, dan mendengarkannya dengan seksama apa disampaikan. Selain itu, murid juga harus siap menerima nasihat yang diberikan oleh guru dan meyakini itu sebagai didikan terhadap rohaninya. Memposisikan diri lebih rendah, bertutur kata dengan baik, dan terus mendo'akannya juga perlu dilakukan oleh seorang peserta didik.
Sedangkan etika kepada diri sendiri bagi seorang murid adalah tidak merasa jumawa, harus berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk (iri, dengki, dendam, dan keduniawian), dituntut untuk berusungguh-sungguh dalam mencari ilmu, dan juga harus bertawakkal (berpasrah diri kepada Yang Maha Kuasa). Memiliki teman tidak akan menjadi masalah jika kita bisa membagi waktu antara kewajiban menuntut ilmu dan bersenang-senang. Karena tujuan murid mencari ilmu bukanlah untuk bersenang-senang saja, tapi seorang murid harus mempunyai cita-cita yang hendak ia raih.
[Fine Jannati]
KOMENTAR