
Jumat (13/12/19) ini menjadi hari terakhir pelaksanaan ujian akhir semester (UAS) gasal tahun akademik 2019/2020 UIN Walisongo. Para mahasiswa tampak lega. Pasalnya mereka terlepas dari tugas UAS yang dianggap sebagai masalah besar dalam perkuliahan.
Dua minggu terakhir sebelum itu, media sosial saya dipenuhi keluhan teman-teman satu kampus. Tiap hari di dalam grup maupun story WhatsApp, teman saya mahasiswa UIN Walisongo bercerita tentang beratnya mengerjakan tugas UAS. Tugas UAS mereka beragam. Di antaranya tulis tangan, membuat vidio, proposal penelitian, dan lain sebagainya.
Ternyata tidak hanya di WhatsApp saja, di instagram juga sama. Seperti di akun @uinws.story dan @pesanuinws yang menjadi media mahasiswa UIN Walisongo berinteraksi di dunia maya. Dua akun itu menjelma sebagai sumur yang menampung segala keluhan mahasiswa.
Di kolom komentar, mahasiswa tidak sungkan menceritakan beban yang dihadapi saat UAS. Bahkan di instagram story, akun @uinws.story sering memposting ulang keluhan mahasiswa. Salah satu yang saya tangkap yakni kalimat, “Aku ambyar di saat UAS. Ada yang bisa ngatasin?” Seperti itu.
Selain dua akun itu, @demauinsmg juga turut memberikan wadah bagi mahasiswa untuk menyalurkan pesan dan kesan selama UAS. Tetapi akun resmi DEMA UIN Walisongo itu lebih kreatif sedikit. Mereka membuka kuis, mahasiswa harus menuliskan pantun di kolom komentar yang disediakan. Pantun terbaik akan mendapatkan hadiah misterius dari DEMA UIN Walisongo.
Saat kuis itu dibuka pada (12/12/19), DEMA telah memberikan contoh pantun terlebih dahulu. Begini pantunnya“Boyolali-Maluku, tiwas disinauni malah pas ujian ora metu.” Kemudian kolom komentar ramai dengan curhatan-curhatan “kreatif” dari mahasiswa. Dalam waktu satu hari, akun dengan jumlah 10 ribu lebih pengikut itu menjadi wadah mahasiswa untuk saling curhat dan mengeluh tentang tugas dan UAS di kampus.
Saya tidak tahu apa motif kuis tersebut. Tetapi tidak adakah kuis lain yang bisa menunjang prestasi akadmik? Misalnya review materi perkuliahan atau diskusi tentang permasalahan sosial bangsa ini.
Saya jadi khawatir jika kuis itu dapat mengurangi nalar kritis mahasiswa. Padahal setiap PBAK, mahasiswa diajak meneriakkan sumpah mahasiswa. Di mana mahasiswa punya peran sebagai agen perubahan dan agen pengontrol sosial.
Baca Juga: Sistem Pendidikan 'Sang Pembunuh' Kreativitas
Beban Hidup?
Terlepas dari media sosial, masalah UAS menjadi topik pembicaraan di kehidupan sehari-hari. Di kelas, asrama, maupun tempat lain, telinga saya tidak pernah absen mendengar cerita mahasiswa dalam mengerjakan tugas ujian.
Tampaknya UAS memang menjadi momok. Dampaknya juga terlihat. Beberapa teman saya jadi mengurung diri di kamar kos. Pernah saya mengajak bertemu. Tetapi ia menolak dengan alasan sibuk mengerjakan ujian semester.
Saya jadi heran, seolah tugas ujian semester adalah masalah besar dalam hidup. Sampai-sampai setiap hari selalu menceritakan masalah itu di media sosial. Seolah 24 jam full tidak mengerjakan aktivitas lain selain UAS.
Sebenarnya, seberapa berat mahasiswa menghadapi ujian semester? Apakah menjadi masalah besar dalam hidup? Lalu bagaimana jika mahasiswa dihadapkan dengan ujian yang sebenarnya setelah lulus kuliah nanti?
Baca Juga: Nadiem Makarim dan Nasib Pendidikan Indonesia
Tahan Banting
Saya tidak tahu mengapa mahasiswa menjadikan tugas dan ujian sebagai beban. Padahal itu hal biasa. Bukanlah masalah besar yang harus dikeluhkan setiap hari. Karena memang UAS untuk menguji hasil pembelajaran yang dilakukan selama satu semester.
Jika kita nostalgia ke belakang, masalah yang dihadapi mahasiswa UIN Walisongo zaman dahulu berbeda dengan sekarang. Saya mendapatkan banyak cerita dari para alumni. Ia bercerita, beban yang dihadapi bukanlah hal receh seperti tugas kuliah. Melainkan lebih besar lagi.
Apalagi saat itu fasilitas masih minim. Teknologi tidak secanggih sekarang. Hanya segelintir mahasiswa yang punya handphone dan kendaraan motor.
Mahasiswa zaman dahulu harus berjalan kaki saat kuliah. Sulit berkomunikasi dengan keluarga. Untuk mencari referensi harus mengelilingi perputakaan lebih dari tiga kali. Belum lagi masalah ekonomi keluarga yang mengharuskan mahasiswa bekerja untuk membiayai kuliah sendiri.
Berbeda kini, zaman sudah canggih. Mahasiswa dimanjakan dengan fasilitas. Kebutuhan hidup terpenuhi. Pulsa dan kuota internet beres. Mengerjakan tugas tidak perlu datang ke perpustakaan. Makan pun tidak perlu berjalan kali, tinggal pesan, makanan bisa datang sendiri.
Namun inilah letak perbedaannya. Tingkatan masalah yang dihadapi membentuk karakter manusia berbeda-beda. Ketangguhan akan didapatkan bagi mereka yang sering ditempa kesulitan. Semakin besar dan kompleks masalah, semakin kuat pula daya tahan seseorang dalam menghadapi beban kehidupan.
Kondisi ini terdapat dalam penelitian Rutter dan Garmezy. Berawal dari penelitian tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Teori resiliensi itu terus dikembangkan beberapa psikolog. Seperti Reivich yang mengatakan bahwa kemampun untuk mengatasi masalah yang berat dalam kehidupan dan berhadapan dengan kesulitan menjadi kunci kesuksesan dan kepuasan hidup.
Contoh nyata adalah Nabi Muhammad. Ketika berdakwah, Nabi Muhammad selalu ditentang kaum Kafir-Qurais. Beliau sering mendapatkan perlakuan tidak manusiawi. Dilempari batu dan ditentang pamannya tidak membuatnya menyerah. Justru nabi bersabar dan semakin kuat.
Nabi tetap dengan misi utamanya. Yakni berdakwah, menyampaikan kebenaran. Meskpun pada awalnya mendapat banyak tentangan, nabi akhirnya bisa menyebarkan Islam ke berbagai wilayah. Maka tidak heran jika sejarawan Michael Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh nomor satu di dunia.
Baca Juga: Kampus dengan Segala Firmannya
"Hadiah"
Kita patut merenungkan pemaknaan kita terhadap sebuah masalah. Karena hal itu berpengaruh terhadap pola pikir dan tindakan kita.
Menurut Anthony Robbins, masalah diartikan sebagai sebuah hadiah. Rangkaian masalah menjadi proses penting dalam hidup. Seseorang akan semakin kuat kalau sering mendapatkan masalah. Kemudian ia tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Jika sudah terbiasa, ia akan lebih siap dalam menghadapi masalah berikutnya.
Namun perlu kita perhatikan adalah tingkatan masalah itu. Terkadang kita terlalu lebai dan berlebihan. Dalam artian hal-hal kecil dan biasa sering dianggap sebagai masalah besar. Seperti halnya tugas UAS dalam dunia akademik kampus. Entah mengapa sebagian mahasiswa UIN Walisongo menjadikannya seolah beban besar dalam hidup.
Tugas UAS yang dihadapi mahasiswa UIN Walisongo memang cukup membuat tertekan. Beberapa teman saya bahkan ada yang sampai stress. Setiap hari pun, mereka selalu mengeluhkan tentang itu. Padahal tugas sudah menjadi runinitas yang harus dijalankan dalam perkuliahan. Mengapa hal itu dijadikan beban?
Pertanyaan saya, bagaimana jika mahasiswa menghadapi masalah besar setelah lulus nanti? Bagaimana pula akan bertahan dalam ujian kehidupan yang sebenarnya? Sementara menghadapi tugas UAS saja sepaneng dan sambat-nya minta ampun.
[Mahfud a.m]
KOMENTAR