Matahari tak pernah salah, tak pernah keliru, tak pernah rindu. Teriknya meyampaikan pada seluruh jembatan agar ketika malam tiba warna harus berubah menjadi hitam. Hitam legam. Agar tak ada mata yang bisa melihat. Jembatan merah protes,
"Ada bocah yang hanya dengan malam hari ia bisa bertemu dengan keluarganya."
Bak raja, matahari tak memperkenankan. Hanya saja ia memberi syarat ketika bocah itu telah menjadi besar pertemukanlah pada gulita dengan keluarganya. Jembatan merah bertanya,
"Dengan apa aku mengetahui apakah bocah itu masih kecil atau telah besar?" Berilah pertanyaan agungmu wahai Jembatan Merah.
Jembatan Merah bertanya kembali,
"Apakah ia tidak akan berbohong?" Tidak, karenanya aku hanya memberikan waktu pertemuan bocah itu ketika sudah mulai tumbuh besar. Sekali lagi Jembatan Merah bertanya,
"Tapi, apakah ia akan melewati jembatan lagi ketika mulai tumbuh besar?" Seketika senja mulai terbenam, tak ada jawaban.
**
Bocah kecil itu sangat suka main petak umpet. Bapaknya saja kewalahan ketika mencari-carinya. Akhirnya mereka akan ketemu di sebuah kandang milik tetangga. Bocah itu belum punya banyak teman karena orangtuanya yang merantau ke pulau lain. Padahal banyak anak-anak kecil di sekitarnya. Entahlah mungkin ia harus menyesuaikan lebih lama lagi.
Baca Juga: Definisi Kebahagiaan
Pernah suatu hari ia bermain dengan teman-temannya, ketika pulang di depan pintu ia menangis sesenggukan. Seperti kehilangan permen, ibunya pun datang memeluk dan mendekap sambil mengusap air matanya.
Ibunya bertanya ada apa gerangan pulang ke rumah membawa kesedihan, ia menjawab tapi tak jelas. Bajunya basah, belepotan lumpur sepertinya habis main di sawah. Beberapa menit kemudian ia sodorkan tangan kirinya, dilihatkannya jari-jari mungilnya. Ibunya melihat dengan seksama, terlihat mengulum senyum memperhatikan jagoannya.
Akhirnya ibu paham mengapa ia menangis, penyebabnya adalah ada duri di jempol kecilnya. Ibunya segera mengambil minyak lalu mengoleskan pada jemarinya agar duri yang menancap mudah dikeluarkan.
Tidak seperti teman-temannya, mudah saja menghilangkan duri ketika sedang bermain. Mereka tidak akan menangis karena malu terlihat teman yang lain. Katanya, teman-temannya sudah sering terkena duri bahkan pernah digigit ular. Bocah kecil terus berceloteh setelah diambil duri oleh ibunya. Ketika malam tiba ia langsung terlelap di ruang tamu lalu digendong bapaknya masuk kamar, itu kebiasaannya setelah seharian bermain.
**
Sepulang bapak dari sawah, bocah kecil langsung memanggilnya. Bertanya apakah bapak membawa oleh-oleh untuknya, dan seperti biasa bapak hanya menggendong bocah itu di pundaknya lalu menyanyi bersama.
"Bapak, bapak sayang ibu?".
Pertanyaan kedua sederhana untuk bapak yang dilontarkan bocah itu setiap hari. Bapak hanya mengangguk kecil seraya menjawab iya dengan sungguh.
Detik berganti menit, menit berganti jam, mulai petang menjelang bocah kecil diajak jalan-jalan bersama ibunya ke pasar malam. Katanya ia akan dibelikan gulali berbentuk balon, mainan mobil-mobilan, dan topi bergambar.
Baca Juga: Ibuk
Ibu tersenyum senang melihat ia kegirangan, ibu hanya berharap agar sang bocah tumbuh dengan sempurna. Bapak di rumah tak ikut menemaninya. Ia memakai baju terbagusnya, dan digandengnya tangan ibu penuh semangat.
Belum sampai di pasar malam, ketika hampir melewati jembatan merah, ia tertegun, tiba-tiba hatinya pilu. Pura-pura kedinginan, ia langsung memeluk ibunya. Semenit, dua menit, lima menit baru dilepas dan mereka berjalan menyusuri waktu sepanjang malam. Hari-hari berlalu tanpa ia sadari -- jembatan merah telah usang. Ia tersenyum.
**
Bocah itu sudah tumbuh besar, dengan teramat sempurna. Di kota besar ia tumbuh menjadi seorang pengusaha, ibu bapaknya tetap tinggal di rumah dekat sawah. Mereka tidak ingin mengganggu kinerja sang bocah.
Bocah, tetap menjadi bocah bagi ibu bapaknya, dan mereka bahagia walau bocah itu tak pernah pulang selama 10 tahun silam. Ia sudah menjadi mandiri berkat otaknya yang encer. Ia tetap ingat kepada ibu bapak makanya ia selalu mengirim beberapa uang untuk mereka.
Bocah itu juga sudah menawari ibunya untuk tinggal bersamanya, ia tentu menawari bapaknya juga. Hasilnya, mereka menolak secara halus tawaran sang bocah.
Tidak terasa, ibu telah sangat uzur karena umurnya. Selang beberapa bulan, ia berpulang ke pangkuanNya. Bapak menyusul setahun kemudian -- tak kuat ditinggal ibu karena saking rindu ingin bertemu.
**
Bocah itu diam sejenak, menghirup napas panjangnya lalu menghela dengan segera. Ia hampir tersesat menuju rumah ibu bapak. Ia tak hafal sampai ada sebuah jembatan merah menawarinya petunjuk. Sebelumya ia mendapat pertanyaan aneh dari sang jembatan,
"Jika kuncup bunga tidak pernah mekar, apakah batang, daun, akar akan tetap mencintainya, Wahai Bocah Malang?"
[Zela]
KOMENTAR