dok. Farid |
Puluhan tahun ia hidup, sendirian. Di dalam rumahnya menyendiri, tak ada kawan. Orang-orang kadang datang, sekadar memberi beras atau teh. Tanaman-tanamannya tumbuh subur, di pekarangan. Ia tak pernah melewatkan barang sehari untuk menyirami pekarangannya. Hingga suatu ketika, datanglah saya.
**
Saat itu hujan deras dan angin ribut sedang terjadi. Di luar udara dingin menusuk-nusuk. Sekitar pukul satu dini hari pintu rumah Ibuk saya ketuk. Sudah tiga kali ketukan tapi tidak ada jawaban. Tubuh saya menggigil tak kuat menahan dingin. Tiba-tiba pintu terbuka, tanpa Ibuk. Saya segera masuk karena udara dingin tak tertahankan. Saya melihat Ibuk keluar kamar membawa selimut, didekapnya saya lalu ia menangis. Tersedu-sedu ia ciumi pipi saya.
Tak ada satu kata keluar dari Ibuk, ia hanya mengangguk lalu kembali ke kamarnya. Saya terdiam lama hingga jatuh tertidur di sofa. Bangun-bangun sudah di atas kasur empuk. Baju yang kukenakan semalam sudah berganti.
"Ibuk," panggilku saat di dapur, ia sedang memasak.
Ia hanya menunjuk meja makan, karena sudah tersedia begitu banyak lauk akhirnya saya manut. Saya mengambil banyak sekali. Sampai saya sadar bahwa Ibuk tak ikut makan bersama saya. Saya panggil-panggil ia namun tak ada jawaban. Ya sudah mungkin ia akan makan nanti.
**
Dua hari ini Ibuk tak pernah mengajak saya berbincang-bincang. Hingga hari berikutnya, minggu berikutnya, bulan berikutnya, tahun demi tahun. Tepat di tahun ke-20 saya, ia mengatakan sesuatu. Ia terbaring lemah di ranjang, tak berkasur hanya karpet bambu. Sambil terpejam ia menghela napas, menggenggam tangan saya. Saya tahu, Ibuk sudah menemui kehidupannya kini. Saya tahu, Ibuk sedang berbicara pada saya melalui gerak dan isyarat. Saya tahu, Ibuk sangan kesepian. Saya tahu, Ibuk menyayangi saya lebih dari siapa pun.
Tanaman-tanamannya berduka, melebihi duka para tetangga. Tembok-tembok rumahnya menangisi kepergian jasad Ibuk. Semua elemen yang pernah Ibuk sentuh termasuk angin dan udara menjenguk Ibuk di patok kuburan.
Kasih dan sayang Ibuk selalu menyertai mereka semua. Mereka tersenyum sembari menyekar agar kuburannya harum, seperti perilakunya. Ibuk tak pernah memaki, marah saja ia tak jua. Ibuk banyak senyum kepada apa pun, kepada siapa pun.
**
Ia berbisik di telinga saya, pelan sangat pelan.
"Tuhan ada di mana-mana, Nak. Kekuasaan-Nya di mana-mana. Dia yang hanya dapat kau mintai tolong. Dia yang hanya dapat kau mintai jalan. Mintalah yang banyak, Nak. Mintalah hanya pada-Nya. Jika kau mencari-Nya, ia sangat dekat, nak. Lebih dekat dari urat lehermu maka minta apa saja pada-Nya. Selagi kau masih di alam fana ini, mohon dan minta segala ampun pada-Nya."
La ilaha illallah
La ilaha illallah
La ilaha illallah
Ibuk tersenyum damai.
*Cerpen ini dibuat khusus untuk Ibunda Siti Atmamiah
[Zela]
KOMENTAR