Prof. Amin Syukur dan almh. Fathimah UsmaN |
Fathimah Usman tumbuh dan berkembang dalam kehidupan pergerakan. Ia memang sudah bergerak dalam komitmen, bukan hanya sekadar aktifis, namun genuinely activis dan aktifis yang geneologis, bukan karbitan demi kepentingan politis maupun golongan. Dalam filsafat, Descartes menggambarkan perempuan sebagai sumber kesadaran yang tidak berhenti pada logika debatable. Aktivis seperti Bunda Fathimah Usman tumbuh dan berjalan dalam pemikiran yang riil, lain dengan perempuan a la Naturalisme spinoza yang jelas-jelas berpotensi kepada persepsi belaka, namun pemikiran itu sekaligus mengawininya dalam kehidupan sehari-hari serta kepribadian yang indah.
Saya pernah melihatnya sendiri, beliau dan komitmentnya mendidik buah hatinya sendiri. Ia juga melayani suaminya Prof. Amin Syukur dengan kasih sayang dan dari kedua tangannya tanpa campur tangan orang lain.
Fathimah Usman muda tidak hanya mengikuti kegiatan dalam konteks gender saja, namun juga
sosial, di luar aktifitas formal mengajar. Rasa empatinya terhadap perempuan sangat tinggi. Beliau bisa tanpa segan terjun langsung dan mencambangi jika hal itu menyangkut persoalan perempuan. Beberapa orang menginspirasikan semangatnya. Beliau pernah bercerita terkadang hal sepele saja bisa menjadi pelajaran hidup yang berharga tentang perjuangan, kejujuran dan kehidupan.
Baca Juga: Masrur: Bu Fat Sosok yang Inspiratif
Pada suatu hari, beliau pernah membeli semua gerabah seorang penjual yang berjalan dan melewati rumahnya. Bukan karena kasihan, namun hanya sekadar ingin belajar kehidupan dan mendengarkan semua cerita dan pengalaman hidup yang dibawa oleh pedagang tua gerabah tersebut. Sama halnya beliau gemar menyambangi beberapa perempuan -- yang tidak akan saya sebut di sini -- hanya untuk mengunjungi rumahnya dan memberi semangat.
Problem perempuan dan kesataraannya memang bukan hanya secara tekstual yang dipelajari dan diterima dalam bacaan buku-buku dan seminar-seminar. Problem perempuan adalah riil, dan ini sangat dipahami oleh Fathimah Usman. Perempuan antara fisik dan keselamatan spiritual, perempuan antara rasional dan keterpenjaraan tubuhnya. Lebih-lebih intelektual seperti Fathimah Usman mencoba berhadap-hadapan dengan pemikiran Islam tradisional di Indonesia yang terkadang beliau bahasakan dalam tindak-tanduk ketaatan dan komitmen yang tidak menjatuhkan kewibawaan agama (spiritual salvation), terutama kecerdasan beliau dalam menjelaskan isi dan ayat-ayat al-Qur'an melalui kacamata sosiologi dan fenomenologi. Lebih dari itu, apabila menyangkut tentang Etika perempuan Islam, sudut pandang beliau tentang hukum sosial menjadi tajam.
Baca Juga: Manusia Kabel Listrik
Pemahaman saya tentang sosok Fathimah Usman bertambah berkembang ketika adik saya menikah dengan putri beliau Ratih Rizki Nirwana atau biasa dipanggil Kiki. Memang saya belum pernah menjadi mahasiswa beliau secara formal, karena saya tidak pernah kuliah di UIN Walisongo Semarang. Saya kuliah di Yogyakarta dan Undip Semarang. Pertemuan pertama kali kami justru saat saya mengikuti seminar gender bersama beliau di Semarang. Saat itu saya sudah tertarik dengan kecantikan wajahnya. Wajahnya cantik dari dalam dan saya mulai mengaguminya saat beliau berbicara. Gaya bicaranya luwes, humoris dan memang terlihat memang beliau adalah perempuan yang cerdas dan simpatik.
Suatu hari saya mencoba untuk mendatangkan beliau ke Universitas di mana dulu saya pernah bekerja di Pekalongan. Maksud saya ingin melihat beliau lebih intens lagi tentang pemikiran-pemikirannya dan pemahamannya terhadap kesetaraan gender. Saya tau, bahwa ibu Fathimah Usman adalah perempuan yang tahu betul bagaimana menerapkan makna kesetaraan itu di tengah-tengah kehidupan pribadinya.
Baca Juga: Sebait Cerita dari UKSW untuk Fatimah Usman
Dari beberapa tulisan beliau, beliau tahu betul bahwa agama tidak ditransformasikan pada pemahaman yang merugikan kedudukan perempuan. Dengan pemahaman dan penguasaan beliau tentang Islam, justru menjadi sebuah pondasi dasar di mana kesataraan perempuan dan hak-haknya memang patut diperjuangkan. Pemahaman saya tentang perempuan yang terinspirasi dari pemikiran-pemikiran beliau yang kental adalah komitmen dan kesetiaan.
Kesetiaan adalah komitmen yang harus diperjuangkan. Bukti kesetiaan ibu Fathimah yang teruji adalah ketika dengan setia merawat suaminya, Professor Amin ( survivor cancer ) hingga sembuh. Ini sejalan pula dengan kesetiaan beliau di ranah publik. Ibu Fathimah yang saya tahu adalah pribadi yang setia, konsisten dan komitmen pada perjuangan sampai akhir hayatnya. Beliau selalu menyebarkan energi positif di manapun ia berada.
Hasti Nahdiana
Phd Candidate Tor Vergata Univ Dan Ludwig Maximilian Of
Munich Univ Germany, Mantan Psw Pekalongan
*Tulisan ini diterbitkan dalam rangka mengenang wafatnya almh. bu Fatimah Usman, dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora dan istri dari Prof. Dr. H. M. Amin Syukur M.A .
KOMENTAR