Pada akhir tahun 2013 hingga 2014 saya sering menemani bude Fathimah Usman kemoterapi di salah satu Rumah Sakit (RS) di bilangan kota Semarang. Beliau didiagnosis menderita kanker paru-paru sehingga setiap Minggu harus pulang pergi dari rumah ke rumah sakit untuk menjalani kemoterapi lewat infus. Suatu ketika, saya mendapat giliran untuk jaga beliau di RS, beliau berkata sekaligus bertanya kepada saya,
“Ada orang sakit kanker malah gak mau dikemo, maunya herbal. Ada juga yang belum dikemo sudah lemes. Kenapa ada orang dengan penyakit yang sama tapi yang satu terlihat lebih sehat dan yang lain kelihatan tak berdaya?”
Saya hanya membatin kenapa ada orang dengan penyakit yang sama tetapi responnya berbeda adalah karena dari pola pikir dan kebiasaan penderita saja. Lalu beliau melanjutkan perkataannya,
“Kuncinya itu adalah pikiran yang positif atau Husnudzon”.
Baca Juga: Masrur: Bu Fat Sosok yang Inspiratif
Alhamdulillah bude termasuk dalam kategori orang yang berpikir positif, meskipun sakit kanker, beliau masih bisa cengengesan dan guyon. Penyakit tidak dijadikannya suatu masalah besar, yang penting tetap ikhtiar dan berdoa. Sehingga, dulu meskipun sedang sakit beliau sering jalan sendiri ke ruang kemoterapi, tanpa kursi roda atau bangsal pasien, bahkan dikira perawat beliau mau jenguk pasien kemo padahal beliau adalah pasien yang mau kemoterapi.
Nah, apakah Anda sudah tahu bahwa pikiran bisa menjadikan diri Anda sebagai seorang yang berjiwa sehat atau sakit? Apakah Anda tahu kalau dengan pikiran seseorang juga bisa menjadikan kehidupannya berbunga-bunga bahkan berduri-duri? Ya, jawabannya adalah sangat bisa.
Herbert Spencer pernah mengatakan bahwa akal dan tubuh itu saling mempengaruhi. Selain itu pikiran juga memungkinkan untuk mempengaruhi potensi dan semangat. Jadi kalau pikiran kita negatif, maka seringkali kita menjadi pesimis. Ujung-ujungnya lemas dan tidak mau berusaha lebih keras lagi. Berbeda jika pikiran selalu positif. Hidup bagaikan selalu ada harapan baru, menatap hari esok dengan optimis dan bersemangat dalam berusaha mencapai apa yang diinginkan.
Ternyata, ketika seseorang sakit dan ia bisa berpikir positif, tertawa, optimis, dan senang maka kadar endorfin dalam tubuhnya akan meningkat. Endorfin inilah yang membantu seseorang itu sembuh. Pikiran yang positif itu sangat membantu kita untuk mencapai kesembuhan, kebahagiaan, kesuksesan dan keindahan-keindahan yang lain. Pikiran yang positif juga harus ditujukan kepada Sang Pemberi yakni Allah SWT.
Baca Juga: Seratus Kata, Seratus Do'a untuk Fatimah Usman
Kita harus sadar bahwa apapun yang diberikan Allah merupakan kebaikan untuk diri kita (termasuk penyakit). Meskipun manifestasi wujud “baik” itu terkesan “tidak baik” tetapi hal yang pasti dan sangat pasti, bahwa Allah tidak pernah menginginkan hal buruk bagi hamba-Nya. Kalau dalam bahasanya pak Mario Teguh, “Tidak ada niat Tuhan kecuali untuk membahagiakan kita”.
Apakah cukup hanya dengan berpikiran baik, kita akan sembuh dari penyakit? Kita akan mudah lulus ujian? Kita menjadi cepat kaya? Tidak!
“Manusia itu ibarat kabel listrik”. Begitu kata bude.
Kabel listrik punya dua sisi, positif dan negatif. Bagi manusia, kabel positif itu artinya usaha “aktif”. Misalnya jika mau pintar ya harus belajar, jika ingin kaya ya bekerja, nabung, sedekah, dan lain-lain. Ini namanya hukum alam atau Sunnatullah. Sedangkan kabel negatifnya adalah sikap pasrah kepada Allah, nrimo, tidak mengeluh, disyukuri. Lho kok disyukuri? Iya dong, sakit pun mengundang banyak hikmah seperti dosa-dosanya akan terampuni.
Begitulah, positif-negatif, aktif-pasif. Jangan negatif-negatif, magnet aja yang tidak memiliki akal kalau negatif-negatif saling tolak menolak. Jaga pikiran kita agar tetap terhubung dengan sinyal yang baik, sebab Allah selalu sesuai dengan prasangka hamba-Nya.
“Terima saja apapun pemberian Allah dan tetap positif-negatif. Semoga Allah senantiasa melindungi kita, meridhoi pilihan hidup kita, dan selalu membimbing kita menuju Jannah-Nya. Apapun yang terjadi dalam hidup kita, kita berhak untuk bahagia,” kata beliau.
[Erlina Anggraini, Mahasiswa Developmental and Educational Psysichology di Northeast Normal University Tiongkok]
*Tulisan ini diterbitkan dalam rangka memperingati wafatnya almh. bu Fatimah Usman, dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora dan istri dari Prof. Dr. H. M. Amin Syukur M.A . Tulisan ini bagian pembukaan untuk tulisan-tulisan berikutnya.
KOMENTAR