gambar: www.facebook.com/amin.syukur.96/photos_all |
Menurut pak John, keputusan bu Fat untuk kuliah di UKSW merupakan pilihan yang tidak mudah. Tentu karena alasan bahwa bu Fat seorang muslimah. Tidak bermaksud membawa identitas. Tetapi sebagaimana yang diketahui, bahwa UKSW adalah Universitas Kristen. Sudah pasti terdapat perbedaan yang signifikan, terlebih bu Fat ketika itu menjadi satu-satunya mahasiswi yang berhijab di sana.
Di UKSW bu Fat mengambil program magister Teologi. Kebetulan program ini diselenggarakan secara interdisipliner, jadi tidak hanya calon mahasiswa Teologi saja yang bisa masuk. Pak John begitu menghargai bu Fat dengan keberaniannya mengambil langkah. Menurutnya, bukan urusan kecil ketika seorang muslim memutuskan hidup di tengah lingkungan Kristen yang mendominasi.
Baca Juga: Masrur: Bu Fat Sosok yang Inspiratif
Seingat pak John, bu Fat merupakan muslim ke Tiga yang kuliah di UKSW. Pada Masa itu, masih teramat langka muslim yang mendapat label sebagai mahasiswa UKSW. Berbeda dengan saat ini, yang sudah bukan lagi menjadi pemandangan tabu ketika ada muslim yang kuliah di sana.
Kesempatan yang bu Fat dapatkan, benar-benar tidak disia-siakan. Bu Fat melakukan proses pendidikan dengan baik.
Di dalam salah satu mata kuliahnya, yakni al-Kitab, bu Fat mendapat nilai plus dari pak John. Kajian tersebut disoroti dari segi ilmu sosial. Ketika itu, bu Fat mengambil pembahsan tentang 'Sunah' dalam tradisi Yahudi, sebagai pembekalan akhir perkuliahan tersebut.
Menurut penjelasan pak John, bu Fat dalam tulisannya menemukan bahwa Sunah dalam tradisi Yahudi tersebut juga dikatakan dalam Islam. Sunah dalam tradisi Yahudi ada di masa 500 tahun SM, sedangkan Islam di masa 500 M. Kemudian bu Fat mengatakan bahwa Sunah merupakan fenomena yang ada di mana-mana.
Baca Juga: Manusia Kabel Listrik
Pak John menuturkan, kecerdasan yang dimiliki bu Fat membuatnya merasa canggung ketika berada di kelas yang diikuti bu Fat. Selain itu, bu Fat juga baik dalam pergaulan. Beliau memakai hijab, tetapi tidak menjadikan alasan untuk membuatnya memendam gagasan-gagasan yang ada di kepala. Pak John juga memuji kecerdasan bu Fat dalam mengaplikasikan informasi yang didapat untuk melakukan pemahaman terkait kajian Islam.
"Wahdah al Adyan Menurut al Hallaj," juga menjadi bukti buah pikir Bu Fat yang dianggap matang oleh Pak John. Memang untuk pembuatan Tesis, pak John tidak membatasi pembahasan dari lingkup agama apa. Selagi kepentingannya masih dalam koridor apakah suatu hal dikatakan doktrin atau terdapat unsur sosialnya. Bahwa segala sesuatu yang ada di dalam Agama mempunyai akar-akar sosial, tidak muncul begitu saja dan bisa ditelurusi.
Bu Fat tidak menyia-nyiakan kesempatan. Beliau menyelesaikan Tesisnya dibimbing langsung oleh pak John dan pak Sugeng. Sedangkan pengujinya, bu Fat mendapatkan pak Qodri Azizi. Beliau mendapat penguji seorang muslim karena kajian yang diangkat, pembahasannya tentang Islam. Sehingga bisa dicek keabsahannya.
Pribadi Bu Fat di Mata Rekan-Rekannya
Bu Fat di mata pak John merupakan pribadi yang mudah bergaul. Tidak sulit bagi bu Fat untuk berteman dengan banyak orang. Baik perempuan maupun laki-laki, baik muslim maupun non muslim.
"Saya melihat bu Fat sebagai muslim yang taat. Tetapi ia selalu bisa bergaul dengan siapa saja," pak John menjelaskan.
Bu Fat tidak membatasi relasi pergaulannya. Pak John menceritakan sepengal kisah tentang kepedulian Bu Fat yang tidak pandang bulu.
Ketika itu, ibu dari istrinya Pak John meninggal dunia. Setelah dirawat di salah satu Rumah Sakit (RS) di Jakarta, jenazah dibawa ke Surabaya untuk dikebumikan di sana. Meskipun prosesi pemakaman tidak berlangsung di Salatiga, bu Fat tetap menyempatkan untuk menemui istri Pak John di Salatiga. Sebagai ucapan bela sungkawa dan bentuk rasa kepeduliannya.
Kisah lain tentang bu Fat juga dibawa oleh salah satu rekan bu Fat saat di UKSW, pak Parmudi, yang juga menjadi dosen di UIN Walisongo Semarang.
Pak Parmudi pertama kali bertemu bu Fat pada tahun 1993 ketika mengikuti kuliah perdana di UKSW. Waktu itu bu Fat datang diantar oleh sang suami, Pak Amin Syukur. Masa itu, hanya ada Dua mahasiswa Islam yang kuliah di sana. Satu muslin dan Satu muslimah. Senebjak dari pertemuan pertama, bu Fat sudah memberikan kesan yang begitu baik.
"Waktu saya bilang apa-apa, selalu dibantu. Bahkan mesin ketik saja saya dipinjami," kata pak Parmudi.
Pak Parmudi juga mengatakan bahwa bu Fat adalah orang yang smart. Pandai bergaul dengan siapa pun, suka guyon dan menjadi sosok yang menarik.
Di mata pak Parmudi, kebaikan bu Fat sudah tidak terhitung. Mulai dari dipinjami buku, dipinjami mesin ketik, dukungan moril, bahkan masalah pribadi. Saking mengenangnya, pak Parmudi khusus memberikan Satu paragaraf penuh untuk bu Fat dalam lembar pengantar, sebuah ucapan terimakasih dalam buku yang berjudul "Sejarah dan Doktrin Bank Islam", yang diangkat dari Tesisnya dulu.
Baca Juga: Seratus Kata, Seratus Do'a untuk Fatimah Usman
Pada masa pak Parmudi sedang melakukan penelitian dan ketika itu bu Fat sudah berhasil menyelesaikan Tesis, pak Parmudi mengaku pernah dijodohkan oleh bu Fat dengan salah seorang temannya di Semarang. Meskipun perjodohan tersebut gagal, karena teman bu Fat pergi ke Sulawesi untuk bekerja.
Bahkan jalan pak Parmudi menjadi dosen di UIN Walisongo Semarang tidak lepas dari sosok bu Fat. Ia diberitahukan oleh bu Fat, ada lowongan dosen dan meyuruhnya untuk mendaftar. Waktu itu masih IAIN Walisongo.
Terakhir komunikasi pak Parmudi dengan bu Fat, ketika bu Fat sudah jatuh sakit. Mereka berhubungan melalui FaceBook. Pak Parmudi sempat menjenguk bu Fat di RS. Katanya, bu Fat terlihat senang ketika ia datang dan seperti tidak sedang merasakan sakit.
"Itulah luar biasanya bu Fat. Kami menjalin persahabatan selayaknya saudara," pungkas pak Parmudi.
Selain pak Parmudi, ada juga bu Judith Lim. Salah seorang teman bu Fat ketika kuliah di UKSW. Penulis mendapatkan kontak bu Lim dari pak John. Karena tidak bisa bertemu secara langsung, bu Lim menyampaikan kesannya terhadap bu Fat melalui E-Mail.
Di dalam pesannya, bu Lim menuliskan, "Saya langsung merasa muda lagi ketika dimintai kesan tentang kawan yang pernah kuliah bareng 20-an tahun yang lalu. Fatimah yang terbesit dalam serpih ingatan, ialah senyumnya. Ia selalu sumringah dan begitu rajin belajar. Berbeda dengan saya yang sering absen ketika kuliah. Hanya itu yang muncul dalam memori saya, yang mungkin kapasitasnya terbatas".
(Penulis: Gigih Firmansyah)
*Tulisan ini diterbitkan dalam rangka mengenang wafatnya almh. bu Fatimah Usman, dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora dan istri dari Prof. Dr. H. M. Amin Syukur M.A .
KOMENTAR