Sepasang sahabat yang telah lama bersama. Berbagi suka dan duka, saling menguatkan, saling menyemangati, mengisi waktu satu sama lain dan kegiatan bersama lainnya. Banyak yang mengatakan kalau sepasang sahabat yang berbeda jenis tidak akan selamanya menjadi sahabat. Bisa dipastikan akan berlanjut pada status yang lebih. Entah, definisi lebih itu seperti apa, beberapa hal memang dibiarkan begitu adanya. Tidak sedikit yang telah membenarkan fakta tersebut dengan yang tidak mempercayainya, seimbang.
Namun,
tak seimbang jika Nara tanpa Arki. Sama halnya Romeo tanpa Juliet serta Rama
tanpa Shinta, yang dikemas dalam model berbeda. Kisah Nara dan Arki bergerilya
selama kurang lebih enam tahun.
Bahagia itulah yang diciptakan mereka berdua. Banyak yang tidak mengerti
hubungan jenis apa yang mereka jalani. Baik Nara maupun Arki memberi jawaban
yang tidak terbantahkan, sahabat. Bagi Nara sendiri, selama kita enjoy dan bahagia kenapa harus
mendengarkan omong kosong yang mereka katakan.
“Toh bukan mereka yang ngejalanin. Udah deh enggak usah dipikirin. Orang kurang kerjaan
ya begitu,” tutur Nara sambil memakan
keripik kentang saat bersama Arki usai jam pelajaran.
“Tapi
kamu masih ingat janji yang kemarin, kan?” Arki menghembuskan napasnya.
“Iya ingat. Nyantai aja lagi,” Nara menjawabnya dengan santai.
“Udah ah, balik yuk. Panas, pengen mandi,” Nara bangkit sambil menepuk rok biru tua selututnya yang terkena
bumbu keripik kentang. Arki mengikuti Nara dalam diam, menatapnya dengan
berjuta perasaan.
Saat itu
mereka baru saja menamatkan seragam putih birunya. Arki memang sengaja
mengikuti Nara ingin berlanjut ke mana.
Nara juga tidak ingin berpisah dari Arki. Akan ada kesalahpahaman ketika mengenal mereka dalam sekali
kedipan. Lagi-lagi, bagi Nara, itu bukan masalah besar,
***
Seperti
biasanya, Arki akan menjemput Nara berangkat sekolah. Kegiatan tersebut sudah
menjadi ritual wajib bagi Arki. Arki pun tidak keberatan, dilakukannya dengan
senang hati. Kenapa tidak? untuk sahabat. Arki mengakui memang dirinya
bukan cowok yang baik, tapi setidaknya dia akan berusaha menjadi baik saat bersama Nara. Tidak
perlu alasan, cukup dijalani.
“Ki, kok
kamu diam aja dari tadi,” Nara berteriak mengalahkan kebisingan jalan raya dari belakang
Arki saat mereka sedang dalam perjalanan ke sekolah.
“Masa aku
harus konser di sini sih, Ra!” Arki berteriak tak kalah lantang dari balik helmnya.
“Apa kamu
bilang? Korset?” Nara menimpalinya.
“Konser,
Ra. KONSER!” Arki mengulang lebih jelas
salah satu kata dari kalimatnya.
“Ampun,
bintang kamu ternyata cancer,” Nara semakin
histeris.
“Tobat gue, Ra. Nih anak telinganya
belum juga direparasi kayaknya,” batin Arki
merutuki telinga Nara yang tidak ada perkembangan dari dulu. Arki memilih diam
sedangkan Nara mengoceh sendiri tentang bintang Arki yang berubah cancer. Di balik helm Arki, terukir sebuah senyuman di bibirnya. Suara berisik Nara baginya setara dengan
melodi indah karangan komposer dunia –yang sebenarnya- belum pernah dia
dengarkan.
“Ntar keluar kayak biasanya, Ndut,” kata Arki setelah memarkir motor dan melepas helmnya.”Ndut”
adalah panggilan Arki kepada Nara yang artinya “gendut”. Panggilan itu muncul
setelah Arki melihat foto Nara saat kecil yang memang gendut.
“Enggak
bisa. Aku mau nyelesein tugas akhir. Nunggu bentar ya, Kung,” Nara menyerahkan helm kepada Arki. “Kung” juga panggilan Nara
pada Arki yaitu “jangkung”. Itu menurut Nara melihat tubuh Arki yang tinggi .
“Hmmmmm.” Arki bergumam sambil berjalan mengikuti Nara yang sudah lebih
dulu.
Nara
langsung menuju ke kelasnya sementara Arki menuju ke kantin. Memang sudah tidak
ada lagi jam pelajaran karena mereka baru saja menyelesaikan ujian nasional
SMA. Namun beberapa siswa masih memiliki beban tanggungan dengan guru. Entah
masalah nilai ulangan yang masih kosong, remidial, bahkan tugas wajib akhir.
Ada juga yang hanya main-main seperti Arki. Yah, daripada menganggur mending
berangkat sekolah, dapat uang
jajan juga. Kalau bukan karena Nara, Arki juga sudah malas ke sekolah.
Lagi-lagi, tentang Nara.
“Oi, Ki. Diajakin nge-band, mau enggak lo?” salah satu teman Arki
berseru dari seberang meja. Arki yang sedang bermain game di gadget miliknya mendongak mencari sumber
suara.
“Ogah, No. mager gue,” kata Arki saat menemukan sosok yang memanggilnya, Rino.
“Ayolah,
Sob. Sekali-kali, terakhir buat kita-kita. Ya enggak?” Rino mencari dukungan
dari teman-temannya yang segera disambut dengan kata persetujuan.
“Satu
lagu. Kapan?” kata Arki datar sambil kembali bermain game yang sempat diduakannya.
Berlanjutlah
percakapan serius mereka tawar menawar tentang jadwal latihan. Arki sebenarnya
tidak memusingkan soal waktu, secara setiap hari hampir tidak ada yang
dilakukannya. Pengecualian untuk waktu bersama Nara.
Sementara
berjarak beberapa meter dalam ruang yang berbeda, Nara
serius mendengarkan koreksi dari guru pembimbingnya. Banyak sekali kesalahan
yang dilakukannya, bahkan yang menurutnya sudah rapi ternyata masih saja
kurang. Dalam hati, Nara sudah bersumpah serapah betapa perfecksionis guru pembimbingnya ini. Beberapa kali
Nara menghela napas untuk menetralkan kegugupannya. Bagaimana tidak? Dia sangat
membenci segala hal tentang pemrograman. Mata pelajaran TIK merupakan musuh
bebuyutannya. Sekarang, dia mungkin sedang terkena karma harus membuat bahan
tulis yang berhubungan dengan pemrograman.
Nara juga
harus mencari jawaban acak dari pertanyaan-pertanyaan yang dia tidak tahu. Jari
tangan dan kaki Nara sudah berubah sedingin es sejak tadi. waktu serasa
berjalan seperti siput dan Nara merutuki kecerobohannya dengan tidak
mempersiapkan strategi berperang yang baik. Lebih nekatnya, semalaman Nara membaca novel bukannya mempelajari bahan kajiannya.
“This
is not the end of your story, Ra. Sabar, badai
pasti berlalu,” Batin Nara menyemangati diri
sendiri. Ingin rasanya Nara bisa cepat lepas rantai tugas ini dari lehernya.
“Hayati
sudah enggak kuat, Bang.” Nara meraung dalam hati setelah dua jam bersama guru pembimbingnya.
“Itu tadi
yang saya tandai segera diperbaiki. Besok ke sini
lagi. Kalau bisa sekalian kamu print dulu,” kata
Guru tersebut menutup pertemuan kala itu. Angin segar segera menerpa seluruh
sel dalam tubuh Nara. Secepat kilat Nara keluar dari ruangan yang menghimpit
rongga dadanya.
“Gila,
ruang guru jadi penuh karbon dioksida.
Perputaran bumi melambat, musim dingin berjalan lebih lama,” Nara menggerutu selama perjalanan kembali ke kelasnya.
Tidak
banyak teman seangkatan Nara yang berangkat ke sekolah. Mentang-mentang sudah
ujian nasional jadi alasannya macam-macam. Ada yang bilang liburan lah, quality time sama keluarga lah, sampai istirahat
lahir batin. Nara menatap sekeliling kelas dan tidak lebih dari sepuluh anak
manusia menetap di sana termasuk
dirinya. Dia memilih bangku terdekat untuk duduk sambil meletakkan kepala
yang terasa mau pecah. Dia juga memejamkan matanya yang lelah menatap abjad
yang berbaris rapi.
“Nara!” Suara
berisik memanggilnya mengagetkan Nara, membuatnya refleks menegakkan tubuhnya.
“Nara!” Teman yang memanggil namanya sampai di depan mukanya dengan napas ngos-ngosan.
“Lo harus cepet, sebelum terlambat, Na.
Ini bener-bener gawat,” katanya dengan terburu-buru juga panik.
“Ada apaan sih. Kaget tauk,” Nara menatapnya tajam.
“Arki,
dia berantem di Kantin,” jelas teman Rana yang bingung
harus bagaimana.
Nara yang
tidak tahu apa-apa memasang wajah bingung, mencerna tiap kata yang
didengarnya. Dari bingung kini wajah Rana mulai kaget lalu panik. Sekejap, Nara
sudah melesat meninggalkan temannya yang masih mengatur napas.
Langkah
Nara cepat namun tidak berlari, mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap berpikir jernih. Memasang wajah yang biasa saja bahkan mendekati
tenang sengaja dilakukan Nara agar
tidak menarik perhatian. Salah satu hal yang sangat Nara hindari, cari
perhatian atau yang biasa disingkat caper. Banyak orang yang sudah berkerumun
mengelilingi kantin, tidak ada celah yang tidak dihinggapi para siswa. Nara
yang tidak tinggi mendekati pendek, harus berjinjit untuk melihat situasi yang
terasa memanas. Meskipun begitu, Nara beruntung karena tubuhnya kecil sehingga
bisa bergerak lincah mencari celah sekecil apapun.
Saat Nara
sudah berhasil berada di tengah
kerumunan, gesture tubuh Arki memunggunnginya. Nara tidak
bisa melihat wajah Arki. Nara berjalan ke depan
Arki, menengahi dirinya yang telah berhadapan langsung dengan Tara, murid yang
paling pintar juga paling nakal. Dua hal yang bertolak belakang, bukan?
“Ki,
pulang!” Kata Nara tenang tapi tegas.
Matanya manatap manik mata Arki yang sarat akan amarah. Arki hanya diam
tanpa menghiraukan Nara.
“Udah,
Ki. Pulang. Sekarang!” Nara
mengulangi, katanya
tak terbantahkan. Tangan Nara terulur mengurai kepalan tangan Arki. Lagi, Arki
tidak menghiraukan Nara.
“Kita selesaikan di luar. Cuma lo dan gue,” Arki menunjuk Tara lalu dirinya. Tatapan matanya tak
terbantahkan.
“Kenapa? Lo enggak berani di sini. Banci lo, enggak sinkron sama nama lo. Anarki!” Tara menyiramkan bensin pada bara yang menyala. Tatapannya tidak
jauh beda dengan Arki.
“Arki, please,” Sekali lagi, Nara membujuk Arki, bukan jawaban yang diinginkan
Nara. Arki mendorong Nara untuk menyingkir dari hadapan Arki.
Nara
hanya menatap punggung Arki yang perlahan menghilang dari jangkauannya. Tidak
ada air mata dari Nara. Tidak ada sebaris kalimat marah. Tidak ada.
Yang ada hanya ketenangan dan perasaan Nara, tersimpan di balik kedua mata yang terpejam.
Tidak, Nara tidak mengejar Arki. Nara memilih langkah yang berlawanan arah.
Mereka memilih bergulat dengan kekecewaan masing-masing.
***
Sudah
sepanjang sore Nara duduk di rumah Arki. Rumah yang besar ini memang sudah
sering dikunjungi Nara. Pekerja di rumah
Arki pun sudah akrab dengan Nara. Bisa dibilang ini adalah rumah kedua Nara.
Nara
memutuskan berkeliling rumah untuk menghilangkan kejemuannya. Nara menuju ruang
keluarga yang seharusnya terasa hangat kasih sayang, tapi hal itu hanya tinggal
kenangan. Nara berhenti pada sebuah bingkai foto berukuran 20R. Tercetak jelas
sepasang orangtua yang tersenyum bahagia dengan bayi laki-laki dalam gendongan
mereka. Nara tidak pernah tahu kenapa pemandangan seperti itu tidak pernah
terlihat lagi. Rumah besar yang dulunya hangat, kini tak lagi mampu menghalau
angin malam.
Suara
motor Arki mengusik lamunan Nara. Dirinya langsung menuju pintu depan
untuk memastikan apakah
itu Arki atau bukan. saat Nara hendak menyentuh handle pintu, tiba-tiba pintu sudah terbuka
dengan pemandangan Arki yang penuh luka lebam. Bagian baju putihnya
ternoda darah yang telah mengering.
Nara terdiam, tatapan matanya terkunci oleh tatapan Arki.
“Pulang,
Ra,” Arki memberi jalan pada Nara.
Nara mengerutkan keningnya mencerna yang dimaksudkan Arki.
“Aku
enggak bisa nganter. Lain
kali aja,” Arki masih belum bergeming.
Nadanya sangat datar saat berbicara dengan Nara, tidak seperti biasanya.
“Menang atau kalah? Berasa jadi jagoan? Dapet apa?” Nara menantang Arki. Sudah tidak
ada lagi ketenangan yang sedari tadi ditampakkan Nara.
“Kamu
yang ngelanggar janji. Kamu yang enggak bisa menepati
kata-katamu. Kamu bilang biarkan semua itu jadi rahasia kita. Kamu yang
memulai, Ra.” Teriak Arki penuh emosi. Dadanya naik turun menahan gejolak yang
ada dalam dirinya.
“Aku?
Maksud kamu apa?” Nara bertanya tidak mau kalah dengan Arki.
“Tiga tahun
lalu. Aku ungkapkan semua sama kamu. Kenapa, Ra? Kamu yang melanggar segalanya,” Arki memperjelas maksudnya.
“Soal itu? Kita dulu kan sudah pernah membahas yang semacam ini, kenapa kamu permasalahin lagi. Siapa yang bilang? Siapa yang ngasih tahu kamu?” Nara mendebat Arki.
“Enggak
penting, Ra. Udah, lupain aja!” Arki menghela napasnya.
“Kamu
malu? Jawab dong, Ki,” Nara mendesak Arki.
“Hati-hati kalau
pulang,” kalimat terakhir Arki sebelum
akhirnya melewati Nara yang mematung.
Senja
itu, Nara pulang tidak seperti biasanya. Ada sesak yang dia tidak mengerti
datang dari mana. Ada perasaan
yang mengambang mencari empunya. Dia menyesal, sempat
meremukkan hati dari seseorang yang
tidak bersalah. Nara mengakui kalau dirinya memang salah. Tidakkah Arki paham
bahwa Nara selamanya akan jadi Nara. Berulang kali
dirinya meyakinkan Arki bahwa semua itu hanya omong kosong. Mereka hanya
segerombolan manusia yang tidak punya kerjaan dan akhirnya mencari kesalahan
orang. Tidakkah Arki menyadari hal itu?
Semenjak
kejadian itu, Arki bungkam. Ia memang sering menjemput Nara. Saat itu juga
Nara menyadari, ada benteng yang telah dibangun Arki. Terdapat jurang pemisah tak kasat mata di antara mereka. Sikap Arki juga
berubah lebih tertutup dengan Nara. Beberapa kali bahkan menolak ajakan
jalan-jalan Nara yang sebelumnya tidak satu pun
dilewatkannya.
Pilihan
Nara jatuh pada kumpulan fotonya bersama Arki. Sesekali Nara tertawa mengingat
apa saja yang telah dilaluinya dengan Arki bersamaan dengan kenyataan yang
menampar Nara. Ia tidak
bisa mengulang waktu tapi setidaknya, dia tetap menyimpan semua kenangannya
rapi dalam berbagai bingkai foto di sebuah
ruangan dalam hatinya.
Nara
menyadari semua telah berubah. Nara meresmikan permusuhannya dengan senja.
Senja yang baginya dulu indah, kini mengantarkan dirinya pada kenangan yang
sebatas kenangan. Dia menemukan definisi baru mengenai senja. Bahwa, di balik warna merah kekuningan miliknya,
di balik keindahan langit yang
senja suguhkan, di balik
kedamaian yang senja berikan, selalu ada hati yang dibawa pergi. Lalu, Nara
pada akhirnya menyimpulkan jika seorang laki-laki selalu terbiasa dengan
perempuan hanya ada dua kemungkinan: dia akan mencintainya dengan sebenarnya
atau dia hanya terbiasa ditemani olehnya. [Naila
Khanif]
KOMENTAR